Tidak sampai di situ, penemuan mayat lain kusaksikan tiga bulan setelahnya. Saat aku tengah mengerjakan tugas kuliahku, mungkin sekitar pukul 1 dini hari, tiba-tiba suara ledakkan terdengar dari jauh. Itu jelas membuatku terperanjat kaget. Namun tak terlalu kuhiraukan, lagi pula saat itu aku mengenakan earphone yang menyumbat telinga, menikmati alunan musik kesukaanku.
Barulah saat pagi hari pukul 5, terdengar kabar bahwa terjadi kebakaran di sebuah rumah di kampungku namun di RT yang berbeda. Kalau tidak salah RT 09. Awalnya aku tak ingin pergi ke sana, namun setelah salat subuh ibuku mengajakku untuk melihat TKP, akhirnya aku buru-buru mengenakan kardigan melar yang menggantung di pintu dan berangkat hanya berjalan kaki bersama ibu.
Sampai di tempat kejadian, orang-orang banyak berkerumun. Para petugas pemadam kebakaran hilir mudik berusaha memadamkan si jago merah, namun mereka kesulitan memasuki rumah karena api begitu besar, mereka hanya memberi peringatan jika ada korban yang masih hidup terjebak di dalam rumah itu, namun tidak pernah ada sahutan atau teriakan minta tolong. Kabarnya rumah itu dihuni oleh satu keluarga yang cukup banyak dan sudah 4 jam api belum juga padam, sumber air yang digunakan juga hampir habis.
Syukurlah, tanpa ada yang menyangka hujan turun dengan sangat deras. Begitu deras hingga tak lebih dari setengah jam api padam secara keseluruhan. Rumah yang sudah hangus itu hanya menyisakan dinding-dinding yang ikut menghitam. Saat para petugas keselamatan segera memasuki rumah itu, sekonyong-konyong saat menyusuri ruang yang ada, mereka terkesiap menyaksikan sesuatu di salah satu ruangan rumah yang hangus itu.
Karena aku dan beberapa warga sebelumnya sengaja mendekati rumah itu, aku melihatnya juga, dan orang-orang sama terkejutnya. Tetapi sesuatu terjadi padaku, jantungku berdebar, pikiranku kalang kabut. Aku mengajak ibuku untuk segera kembali ke rumah, namun ia menolak. Jadi kuputuskan pergi sendirian.
Saat di rumah kurasakan keringat dingin mulai bercucuran, namun aku masih bisa berbuat sesuatu. Aku buru-buru masuk ke kamarku bahkan refleks kubanting pintu kamar ketika berniat menutupnya. Kubaringkan tubuhku di ranjang meski tak henti gemetar, perlahan kutenangkan diri sendiri hingga beberapa saat kembali terkendali. Tetapi pikiranku masih melayang. Aku teringat kembali peristiwa itu.
Di rumah yang baru saja dilalap api itu, aku melihat sesuatu yang ditemukan para petugas pemadam. Sama persis seperti yang ada di ingatanku ketika usiaku sembilan tahun, salah satu ingatan janggal setelah aku jatuh dari pohon jambu.
Tumpukkan mayat yang hanya menyisakan tulang belulang dan sedikit daging yang sudah menghitam ditemukan di rumah itu. Entah mengapa bisa seperti itu, maksudku, mayat bertumpuk-tumpuk saat terjadi kebakaran. Apa mungkin mereka melakukan bunuh diri satu keluarga dengan meledakkan seisi rumah dan membiarkan tubuh mereka terbakar dengan menumpuk seperti itu, terdengar tidak masuk akal.
Setelah beberapa hari, terdengar kabar burung bahwa polisi sudah memublikasikan perkara tersebut. Mereka mengatakan bahwa tumpukkan mayat itu adalah satu keluarga penghuni rumah, terdiri dari suami dan istri, ibu mertua, serta lima anak mereka yang paling besar berusia dua puluh dua tahun dan yang paling kecil berusia dua belas.
Mayat-mayat yang langsung dilakukan pemeriksaan oleh ahli forensik tersebut dinyatakan merupakan korban dari pembunuhan terencana. Ada beberapa mayat yang di kedua tangan dan kakinya terikat tali yang hanya terbakar sedikit. Yang lainnya menyisakan abu namun dapat diketahui bahwa itu adalah sesuatu yang sebelumnya mengikat tangan dan kaki mereka juga. Pada mayat laki-laki yang diyakini adalah kepala keluarga di rumah itu terdapat bekas peluru di tengkorak bagian pelipis mata. Mujur, satu selongsong peluru yang tidak mempan terbakar api ditemukan tak jauh dari tempat tumpukan mayat-mayat itu. Untuk pelaku belum diketahui hingga saat ini.
Beberapa warga yang julid meyakini bahwa yang membunuh seluruh anggota keluarga itu adalah si bapak sendiri, atau kepala keluarga di rumah terbakar tersebut. Mereka mengira-ngira mungkin setelah mengikat seluruh orang di rumah dan membunuh mereka entah dengan cara apa, kemudian tubuh mereka di tumpuk. Lalu setelah membakar seisi rumah ia merebahkan diri di antara tumpukan tubuh yang sudah meninggal itu dan menembakkan peluru ke kepalanya sendiri. Sinting! Kenapa warga bisa sampai berpikiran sejauh itu? Tetapi, apa yang dikatakan mereka cukup masuk akal karena posisi mayat lelaki kepala keluarga itu berada di tumpukkan paling atas.
Tak ada yang menjadi terdakwa atas peristiwa tersebut. Meskipun dicap sebagai kejadian pembunuhan terencana, polisi masih belum bisa menemukan siapa kira-kira pelakunya, bahkan sampai berbulan-bulan kemudian.
Setelah dua peristiwa yang selalu berkaitan dengan mayat itu, kondisi lahir maupun batinku berubah seiring waktu. Aku masih merasa ragu lebih ke takut untuk menceritakan pengalamanku itu pada orang keluargaku. Dan, aku mulai cemas berlebihan pada satu hal, jika dua dari ingatan-ingatan itu sudah terjadi, maka ingatan terakhir mungkin akan kutemui dan kembali mengguncang keadaanku.
Setelah bulan demi bulan berganti, aku sampai di ingatan yang terakhir, dan kumohon maafkan aku sebelumnya. Saat itu musim hujan di Bulan November. Aku berjalan berat menyusuri sungai yang berada jauh dari kampungku, jauh di dalam hutan. Bunyi kecipak beralun ketika botku menginjak air menggenang di cekungan tanah. Tanganku berayun lemas, membiarkan benda tajam di tanganku beradu dengan batuan di sungai dan membuatnya berdenting setiap kali keduanya saling bertubrukan.
Ingatan terakhir itu sudah terjadi. Beberapa saat lalu, di dalam sebuah gua gelap tak pernah tersentuh manusia lain, aku melihat cipratan darah di setiap dinding gua, di batu-batu sungai, dan darah lain yang masih menetes di tubuh seorang mayat gadis kecil yang kini mengalir bersamaan dengan aliran sungai. Membuat warna air sungai berubah merah sebagian.
Aku heran di mana seorang pria tak kukenal yang ada dalam ingatanku waktu itu. Aku hanya sendiri di sana, tadinya berdua dengan gadis kecil itu saat masih hidup. Kini dengan isi kepalaku yang rasanya ingin meledak, aku berusaha melanjutkan setiap langkahku agar segera sampai di rumah dan bisa beristirahat. Aku benar-benar lelah saat itu. Tubuhku, juga pikiranku, rasanya aku ingin memukul kepala ini dan menghentikan semua suara-suara di dalamnya.
Untuk sesaat ku hentikan kakiku. Aku duduk di sebuah batu cukup besar dan membersihkan noda-noda darah di pakaianku, kubasuh juga tanganku yang sudah terbalur penuh darah yang bahkan sudah hampir mengering, lengket sekali rasanya. Tak lupa darah yang melekat di golok yang sedari tadi kugenggam. Meskipun aku sudah selesai membersihkan diri, rasanya tubuhku masih kotor, akal budiku masih cemar dan kukira, akan selamanya coreng-moreng, akan selalu begitu.
Aku mengusap air mata yang tiba-tiba menetes tanpa kusuruh. Aku merasakan sebuah rintihan, pekikkan pilu di lubuk sana, penyesalan karena ketidakmampuan bertindak, namun bisikan-bisikan di kepalaku berkata lain, justru merasa puas.
Kutegakkan kembali tubuhku dan menjejakkan kaki dan melangkah keluar dari hutan menuju tujuanku, rumah. Sengaja kutinggalkan golok itu di tengah hutan sebelumnya.
Saat tiba di rumah, ibuku sedang berada di dapur tengah memasak makanan. Dia sempat menanyakan dari mana saja aku seharian tadi, aku hanya berdalih membohonginya. Ibuku tidak mengetahui bahwa aku baru saja pulang bermain-main dengan adik perempuanku. Ibu benar-benar tidak menyadari putri bungsunya itu tidak ada, mungkin karena adikku itu sudah terbiasa pulang sore dari bermain.
Saat hari mulai gelap, barulah seisi rumah mulai cekcok saling menyalahkan karena lalai mengawasi anggota keluarga paling kecil itu. Ibu yang gampang panik menelepon orangtua teman-teman adikku, ayah sudah lama pergi keluar mencari anak kesayangannya itu, kakak laki-lakiku menyusuri kampung dengan sepeda motornya, semuanya berharap dapat menemukan anak hilang tersebut.
Sementara aku, hanya melamun memandang keluar jendela di kamarku. Pura-pura menelepon guru ngaji dan guru sekolah adikku. Ingin sekali kuumumkan bahwa putri bungsu di rumah ini sudah tidak ada. Jika tidak percaya lihat saja ke sungai.
Cerpen Karangan: Rifdatur Rusdah Blog / Facebook: Yusri Rifda Si pengen jadi penulis tapi males nulis.