Namaku Arlyn. Aku ragil dari empat cewek bersaudara. Setiap pagi aku di rumah sendirian karena tiga kakakku belajar di pesantren dan ayah ibuku setiap subuh pergi ke pasar. Kami memiliki warung yang menjual semua kebutuhan sehari-hari termasuk keperluan dapur.
Sedari kecil, ibu memberikan kami tanggung jawab untuk mengerjakan tugas-tugas yang ada di rumah. Menyapu rumah adalah tanggung jawabku. Setiap pagi dan sore aku melakukan tugas ini. Suatu hari ketika menyapu kolong lemari di dekat pintu belakang, aku keheranan. Aku menemukan tumpukan koin berjajar rapi. Kalau saja uang itu aku temukan dalam sebuah kaleng atau kotak, aku tidak bakal kepikiran. Siapa yang meletakkan di sini? Kalau ibu, ngapain diletakkan di sini? Aneh! Aku melanjutkan menyapu tanpa menyenggol tumpukan koin yang berbaris rapi di bawah lemari. Aku mau bilang sama ibu sepulang sekolah.
Kulangkahkan kakiku dengan ringan. Aku pergi ke sekolah jalan kaki. Sekolahku hanya beda gang saja. Hujan semalam menyisakan becek di mana-mana. Aku harus melompat ke sana ke mari, memilih jalanan yang tidak berair. Aku bernafas lega. Sesampai di sekolah belum banyak teman yang datang. Kuletakkan tasku di meja tempatku duduk. Baru ada satu tas di kelasku, sepertinya tas Hasnah. Dia anak yang pandai, suka duduk di depan. Berbeda denganku yang suka duduk di belakang. Aku takut sama bapak ibu guru. Jadi, aku menjaga jarak agar aku merasa nyaman. Kalau Hasnah tidak rangking satu maka yang rangking satu adalah aku. Aku bersaing malu-malu.
Aku keluar kelas setelah meletakkan tas. Ada beberapa teman sedang membersihkan halaman. Aku membantu mereka mengumpulkan sampah dengan tusuk sampah karena tanah masih basah sehingga tidak mungkin menyapu dengan sapu lidi. Di halaman sekolahku ditanam pohon Mojo untuk perindangan. Menurut buku yang kubaca buah pohon ini yang dimakan oleh Raden Wijaya ketika membuka perkampungan di hutan Tarik sehingga perkampungan itu dinamakan Majapahit. Perkampungan yang berkembang menjadi sebuah kerajaan terbesar di tanah Jawa dan berhasil menyatukan nusantara.
Setiap pagi lingkungan sekolah harus dibersihkan. Kamilah yang membersihkannya. Ada yang menyapu teras, halaman sekolah, membersihkan kamar mandi, dan menyiapkan minuman untuk bapak ibu guru. Sekolah kami tidak menggaji tukang kebun seperti sekolah negeri. Siswa yang piket pasti datangnya lebih pagi dari yang lainnya. Kami melakukan dengan senang hati. Kata orang jaman sekarang semacam loyalitas tanpa batas.
Sepulang sekolah, ibuku masih memasak. Aku menunggunya dengan sabar sambil menjaga warung. Ayah baru saja pulang dari sawah. Kulihat ayah menurunkan rumput dari sepeda dan memanggulnya ke kandang. Kakinya masih belepotan lumpur. Kaos ayah basah oleh keringat. Ayah adalah seorang pekerja keras. Disamping bertani ayah suka beternak. Kami punya ayam, kambing dan sapi.
Aku keluar masuk dapur. Bukan karena cacing-cacing di perutku tak sabar untuk ikut andil menghabiskan masakan ibuku tetapi mencari kesempatan untuk menanyakan uang koin yang ada di kolong lemari. Ibu mengusirku. Pastinya beliau sangat terganggu. Beliau mengira kalau aku sudah sangat lapar dan memintaku makan roti terlebih dahulu untuk mengganjal perutku yang rata meskipun tidak pernah olahraga. “Kalau kamu mondar mandir begitu, masakan ibu nggak kelar-kelar, Lyn! Ibu pusing melihatmu! Lebih baik kamu tunggu di warung barangkali ada pembeli! Kalau lapar, kamu bisa makan roti dulu!” Untuk kesekian kalinya ibu mengusirku.
Aku mengiyakan meskipun dengan setengah hati. Kuambil buku cerita yang kupinjam dari sekolah daripada ibu makin marah. Sekolahku mempunyai perpustakaan. Banyak sekali buku cerita yang bisa dipinjam. Dengan sekeping koin seratus rupiah aku bisa meminjam lima buah buku. Kata bu guru uang itu untuk perawatan buku, misalnya menyampuli buku agar tidak rusak.
Tidak berapa lama, ibu memanggilku untuk makan siang. Cacing-cacing di perutku bersorak gembira tapi aku membuat mereka tak suka. Masakan ibu masih mengepulkan asap. Aku harus menunggunya sekejap sambil mengayunkan kipas dari bambu karena kalau tidak mulutku bisa berasap.
Di sela-sela makan aku bilang pada ibuku tentang temuanku tadi pagi. Ibu sedikit terkejut tapi kemudian mengalihkan pembicaraan. Tidak ada penjelasan yang memuaskan rasa penasaranku. Ibuku selalu begitu, mengira ku masih ingusan dan tak layak untuk tahu. Aku benar-benar tak suka itu.
Akhirnya, aku pun beralih menjadi juru kuping. Seharian aku mencuri dengar pembicaraan ibu dengan siapa saja termasuk dengan pembeli hingga suatu hari aku mendengar satu kalimat ibu, “mereka tidak bisa bawa uang keluar. Karena itu, uangnya ditinggal di kolong lemari.” Mereka siapa? Adakah orang lain selain aku, ayah, dan ibu? Bulu kudukku berdiri. Siapa yang dibicarakan ibu sebenarnya dengan pak tua itu? Apakah orang itu bisa memecahkan teka-teki tumpukan uang di kolong lemari?
Rasa penasaranku tidak mendapat jawaban yang jelas. Aku pun mengabaikannya. Apa lagi aku tak lagi menemukan tumpukan uang koin di kolong lemari hingga kudengar desas desus ada tetangga kami yang memelihara tuyul. Mereka adalah yang bila sore hari berjalan keliling kampung dengan kedua telapak tangan terkait satu sama lain di belakang seperti menggendong sesuatu.
Sore itu, setelah mandi aku duduk di teras sambil bermain congklak. Tanpa sengaja aku melihat pasangan suami istri yang berjalan beriringan. Deg… jantungku berdetak lebih cepat. Mereka menautkan telapak tangan di belakang punggung. Ingatanku tumpukan koin di kolong lemari, pembicaraan ibu dan pak tua, dan desas-desus tetangga berputar di otakku. Apa mereka yang memelihara tuyul? Rumah mereka hanya selisih dua rumah dari rumah kami. Aku merinding.
Sejak hari itu, aku mengamati mereka. Benar saja. Setiap sore mereka berjalan keliling kampung. Jadi, yang menata uang di kolong lemari itu tuyul? Buku kudukku berdiri tanpa kuperintah.
Bukankah memelihara tuyul itu dilarang? Begitu kata Pak Mamad guru agama di madrasahku. Bukannya mereka muslim? Berarti mereka musyrik. Astaghfirullahal adziim… Berulang kali aku nyebut dalam hati. Kusampaikan penasaranku pada ibuku. Bukannya menjawab melainkan memelototiku hingga aku lari terbirit-birit. Apa mungkin aku terlalu kecil untuk mengetahui hal besar itu? Pastinya ibu kesulitan menjelaskan padaku. Apalagi bibirku yang ember bisa bocor ke mana-mana.
(End)
Cerpen Karangan: Hanik Alina Blog / Facebook: Hanik Mardiyah Hanik Alina, ibu Trio Anas. Tinggal di kota pudak.