Saya terkenang akan seseorang, sebut saja Naura.
Kenalkan, Naura adalah teman baik saya sejak kami bertemu kali pertama pada ospek SMA, sekitar tiga tahun lalu. Dia adalah perempuan pilihan saya. Saya juga tidak tahu apa yang menarik darinya hingga membuat saya mati-matian menahan rasa suka karena takut Naura akan menjauhi saya. Yang saya tau, saya ingin selalu memberikan yang terbaik untuk Naura dalam hal apapun.
Naura adalah perempuan dambaan banyak laki-laki, saya tahu itu. Dan saya patut merasa bangga karena selangkah lebih dekat dengan Naura bertahun-tahun lamanya. Banyak yang mengira kami menjalin hubungan, padahal itu hanya harapan saya yang entah Naura semogakan juga atau tidak, saya tidak pernah berani bertanya pun tidak berani mengakuinya. Saya cukup nyaman dengan keadaan seperti ini; saya ada untuknya, dan dia selalu menganggap saya ada dengan segala perhatiannya
“Bulan depan aku pindah,” ucapnya suatu sore ketika kami tiduran di teras rumahnya, menatap langit yang hendak dikuasai senja. “Kok?” hanya itu yang bisa keluar dari mulut saya saking kagetnya. “Mendadak, ya,” dia tersenyum getir. “Kenapa pindah, Nau?” “Mau nerusin kuliah di luar negeri.” “Tapi waktu itu kamu bilang mau kuliah di sini aja? Biar kita bareng-bareng terus kan kata kamu?” saya mencari sinar kebohongan dari matanya, tapi tak jua saya temukan. “Eh, kamu nggak lagi bercanda, kan?” “Ternyata aku sadar, hidup merantau lebih menantang.” “Tapi… Kita jadi LDR, dong?” tanya saya kala itu dengan suara yang sengaja dibuat manja. “Empat tahun, Rio. Syukur-syukur kalau bisa kurang dari itu, kan? Toh rumah kita tetap satu komplek. Setelah sama-sama lulus, nanti kita bisa main-main.”
Ada yang hilang. Ada yang ingin saya teteskan dari mata. Tapi saya laki-laki, saya tidak ingin dianggap cengeng, walaupun saya selalu lemah bila berhadapan dengan Naura. Ini berbeda. Naura akan pergi. Dan saya belum menyiapkan apapun.
“Rio, tungguin aku, ya,” entah apa makna dari kata-kata ini, tapi yang pasti sejak saat itu, saya berjanji akan menepati permintaan Naura.
Selepas Naura meninggalkan tanah air, saya mulai menyibukkan diri. Mengikuti segala kepanitiaan hingga menghadiri seminar-seminar. Lalu malamnya rela menahan kantuk demi bertukar kabar dengan Nau. Itu berlangsung sekitar enam bulan, sampai akhirnya dia menghilang selama hampir satu bulan. Apa yang saya lakukan? Merutuki diri sendiri. Karena saya takut membuat kesalahan walaupun saya tidak yakin dimana letak salah saya.
Saya semakin getol beraktivitas. Apapun. Olahraga, akademik, non akademik, semua saya lakukan yang penting saya tidak memiliki waktu untuk diam kecuali ketika saya hendak tidur. Saya harus menghapus Naura pelan-pelan walaupun saya tidak mau. Janji saya, saya akan menjauhinya kalau saya menyakiti Nau.
“Iya, ini saya. Dengan siapa saya bicara?” jawab saya ketika ada satu nomor yang tak dikenal masuk. Saya pikir saya menang undian, eh tahu-tahunya…, “Ini aku,” “Aku?” saya memastikan suaranya yang agak berat. Benarkah dalam waktu enam bulan Naura tiba-tiba memiliki suara yang tidak mirip panci jatuh lagi? “Iya, Naura. Apa kabar?” “Kok? Dikirain udah lupa.” “Nggak lah. Ngaco kamu.” “Ada apa, Nau?” sungguh, kamu harus tahu betapa susahnya mencoba bersikap biasa saja padahal saat itu saya senang bukan main dia memberi kabar lagi. Saya kira dia sudah tidak mau memiliki urusan dengan saya. “Besok aku pulang.” “Kok mendadak lagi?” “Iya, ada yang harus aku selesaikan, Rio. Jemput di bandara jam 7 malam, oke?” “Siap,” lalu saya matikan teleponnya. Saya akan bertemu Naura lagi, perempuan kesayangan saya.
—
“Enam bulan kerasa lama banget, Rio,” sambutnya ketika saya menunggu dia di kedai kopi di sisi kanan pintu kedatangan. “Kamu kok kurusan?” “Jarang makan.” “Eh? Kenapa?” “Kamu kenapa pulang, Nau? Mendadak lagi,” saya mengalihkan pembicaraan. “Tambah cantik. Di Australia nggak panas, ya? Di sini mah panas terus nggak ada ampun.” “Pantes jadi hitam!” “Kalo itu sih bawaan.” Ia tertawa. Astaga, saya rindu sekali rasanya.
“Rio, langsung aja nih. Ada yang mau aku bilang.” “Buru-buru banget? Nggak mau sambil ngopi gitu?” “Sekarang aja deh ya langsung,” saya iyakan. “Aku minta maaf buat semua, Rio. Tapi mulai sekarang jangan nunggu aku, ya.” “Kok? Ini tiga kalinya kamu bikin kaget. Pas kamu pergi, pas kamu pulang, sama pas kamu tiba-tiba berubah pikiran sekarang.” “Aku tahu kamu sibuk banget akhir-akhir ini, Rio. Kamu jarang makan, untung masih rajin mandi,” Naura mencoba tertawa, saya tidak turut serta. “Tapi tolong, kuralat kata-kataku waktu itu. Pahamin aku, ya.” “Kok jadi aku yang harus pahamin kamu? Aku nggak tahu apa maksudnya.” “Soal Danendra.” “Siapa lagi Danendra? Jangan muter-muter deh, Nau. Intinya apa?” saya sudah tidak sabar rasanya. Wajahnya panik, lalu tiba-tiba menangis. “Nau, kenapa? Aku salah omong, ya?” “Danendra, pacarku, Rio.”
Mau mati saya rasanya dengar itu. Seperti ada petir yang muncul di siang bolong lalu menerobos atap kedai kopi dan mengenai diri saya. Kaget sekaligus sedih. Campur aduk. Susah dijelaskan.
“Dia koma. Aku kuliah di Australia sekalian jagain dia, Rio,” saya hanya mengangguk. “Aku sama Danen pacaran udah tiga tahun ini, LDR. tiba-tiba delapan bulan lalu dia kecelakaan. Dan sampai sekarang masih koma. Aku nggak tahu harus ngapain selain jagain dia.” “Iya, Nau. Apa yang kamu lakuin bagus.” “Rio, aku minta maaf. Kamu nggak ada perasaan apa-apa ke aku, kan? Selama ini aku anggap kamu kakak. Kamu tahu aku luar dalam, aku juga gitu ke kamu. Aku cuma kepikiran, jadi aku balik.” “Iya, Nau. Nggak papa. Aku sekarang kan jadi tahu. Tapi Naura nggak pernah bilang, ya.” “Aku pikir buat apa juga aku kasih tahu? Toh hubungan itu aku sama Danen kan yang jalanin, Rio. Aku salah, ya?” “Nggak, Nau. Sama sekali nggak,” air liur saya telan susah payah. Tidak bisa saya deskripsikan lagi sakit hati saya.
“Sekarang kamu kan jagain Danen, kamu juga jangan lupa jaga diri sendiri.” “Pasti. Tolong bantu doa yang terbaik buat aku sama Danen, ya, Rio?” Saya mengangguk disertai senyum.
“Ya sudah. Aku cuma mau ngomong itu. Pesawatku jam setengah 9.” “Kamu langsung balik?” saya melongo. “Iya, urusan kita sudah selesai kan, Rio? Minggu depan giliran mama sama papa yang pindah, kebetulan papa ada kerjaan juga di Australia. Aku nggak akan sendiri, tenang aja.” “Kita nggak jadi satu komplek lagi?” Naura menghela napas berat. “Rio, terimakasih, ya.” “Iya, Naura. Aku ikhlas.”
—ndog Dia pergi lagi. Pantas saya tidak melihatnya membawa koper. Di satu sisi saya bahagia dia pulang hanya untuk menemui saya. Di sisi lain, saya hancur karena ternyata ini pertemuan terakhir kami. Naura. Saya telah menemukan apa yang menarik darinya; selalu memberi kejutan. Walau saya benci isi kejutannya.
Cerpen Karangan: Anadya Alyasavitri Blog: www.anadyaal.blogspot.com Saya sedang menempuh S1 di jurusan Sastra Indonesia.