“Jangan pernah menjadi angin yang datang hanya untuk sesaat; menyejukkan untuk sekejap, kemudian meninggalkan pengharapan yang sebenarnya kamu sendiri tahu, kamu tidak mampu mewujudkannya.”
Rintik-rintik gerimis berjatuhan menumpahi tas yang menudungi kepalaku. Titik-titik airnya kian deras sampai aku harus mempercepat langkah lariku. Halte di seberang telah terlihat di ujung mata, tetapi rasa-rasanya ia semakin menjauh. Membuatku harus berlama-lama berada di tengah hujan deras.
Akhirnya aku tiba setelah melompati kubangan-kubangan air di jalanan yang tiada habisnya. Tas yang kugunakan tak berfungsi sama sekali. Bajuku telah basah kusup. Rambutku juga lepek. Aku mengusap beberapa kali lengan bajuku seperti ada harapan akan kering dengan mudahnya. Tapi sayang, tanganku yang basah akan semakin membuatnya tambah kuyup. Aku merutuki diriku sendiri, kenapa tak membawa payung tadi jika tahu bulan-bulan ini adalah musim penghujan. Sekarang siapa yang akan disalahkan saat telat pulang karena terjebak hujan di halte bus? Pastinya aku. Aku nanti yang akan kena omel karena menyuruh mereka, ah sudahlah.
Hujan akan terus mengguyur. Bahkan tidak mau berhenti sampai aku bosan menunggu kapan redanya. Beberapa saat menghela pasrah jika hujan akan berlangsung sampai malam menjelang. Atau bahkan hingga besok pagi? Ah tidak, aku bakalan mati kedinginan di sini. Tidak ada orang lain selain aku di halte bus ini, di sekeliling pun telah sepi. Maklum, halte yang kugunakan untuk tempat berteduh ini masih area kampus jadi sangat jarang sekali orang luar yang berlalu-lalang. Jikalau ada mahasiswa lain, mereka akan sangat enggan keluar gedung kampus. Mereka lebih suka menghabiskan waktu hujan untuk mengobrol di kantin atau membaca buku di perpus.
Halte ini sengaja dibangun untuk memfasilitasi para mahasiswa yang pulang-berangkat kampus dengan naik angkutan umum supaya bisa langsung transit di kampus. Kira-kira hanya berjarak seratus meter dari gedung utama kampus. Di sekelilingnya berdiri ruko-ruko jasa percetakan dan juga toko buku. Jadi, jikalau ada tugas dari dosen para mahasiswa tidak perlu repot pergi jauh dari kampus hanya untuk mencetak tugas.
Sayangnya, tidak ada tempat duduk di halte ini. Aku harus berdiri mengamati setiap titik-titik air yang turun dari atap halte. Dari celahnya yang nampak blur di kejauhan sana-di salah satu kios percetakan-ia berdiri tegap. Sebelah tangannya menggenggam buku-buku tebal. Tas selempang ia cangklong ke arah kiri. Ia sama menunggunya denganku. Kedua matanya samar-samar memandang ke arahku. Sontak, aku mengalihkan pandanganku ke segala penjuru halte, tidak ada orang lain selain diriku di sini. Berarti ia memandangku. Sudah semenjak tadi yang tak kuketahui dan pada hari-hari yang lalu.
—
Beberapa waktu yang lalu, kepengurusan kampus mengadakan senam bersama para mahasiswa baru. Tujuannya untuk merileksasikan pikiran para mahasiswa baru supaya tidak tegang nantinya ketika menerima pelajaran perdana dosen. Sekaligus sebagai penetral jiwa setelah mereka melakukan masa orientasi. Aku yang pada waktu itu senior semester 2 mendapat bagian tugas mengawasi mereka di bagian belakang. Aku ini bukan tipe cewek yang galak bila melihat mereka tidak mau ikut serta dalam kegiatan ini, sesekali mengingatkan mereka dan aku sangat bersyukur mereka tak sampai membantah. Jadi, darah tinggi tidak akan naik.
Mataku terus mengawasi gerak-gerik mereka. Tanpa sengaja aku melihat dari sudut lain ia memandangku. Aku tak peduli. Aku hanya terus bekerja sesuai tugasku. Lagipula ia hanya seorang laki-laki berstatus mahasiswa baru yang sama sekali tak kukenal.
Setelah kegiatan senam waktu itu, beberapa hari kemudian kepengurusan kampus kembali mengadakan lomba untuk merayakan hut-RI. Tema yang digunakan waktu itu ialah tentang lomba kedaerahan. Jadi, banyak lomba dari beberapa daerah yang diikutsertakan dalam kegiatan kali itu. Seperti lomba karung, makan kerupuk, balap kelereng, bahkan tarik tambang dipertontonkan di halaman kampus.
Seluruh mahasiswa diperkenankan ikut serta dalam kegiatan itu baik mahasiswa baru sampai mahasiswa yang sudah bergelar tinggi. Para dosen dan professor juga ikut serta yang semakin menambah kemeriahan kegiatan itu. Sedangkan aku duduk di tepian halaman sebagai supporter karena aku ini merupakan cewek yang pemalu. Yang hanya berani berteriak kencang di balik suuporter lain.
Zel-zel, tepuk tangan hingga teriakan histeris saling bersorak antar-fakultas. Menjelang siang suasana semakin ramai dan seru. Aku bersama teman sefakultas lain juga semakin gencar menyemangati para peserta lomba. Khususnya yang berasal dari fakultasku sendiri.
Masih dengan orang yang sama, ia berada tepat lurus dengan posisiku duduk. Matanya memandangiku lagi seakan aku ini hanya objek satu-satunya di suasana halaman seramai itu. Aku tak paham dengan itu. Aku berpindah tempat, naik ke lantai dua. Anehnya, ia juga berpindah tempat sehingga tepat di depan mataku. Ada apa sebenarnya dengan orang itu? Batinku. Tetapi aku tak terlalu memikirkannya. Mungkin ia hanya sebatas memandang. Aku tidak mau menerka-terka yang tidak pasti. Ujungnya nanti pasti tak sesuai. Aku yakin itu.
Hal yang paling memalukan dan akan selalu diingat ialah pada saat aku bersama dua temanku-Rina dan Priya-makan di kanting siang itu. Keadaan sangat ramai bertepatan dengan jam makan siang. Aku berhadapan dengan mereka duduk di sebuah bangku sedang. Kami tengah menunggu pesanan yang biasa kami santap setiap makan siang. Sambil menunggu tak jarang kita habiskan dengan mengobrol, sesekali tertawa jika ada bagian obrolan yang lucu. Perlu diketahui meski pemalu, aku itu termasuk cewek yang ceria dan mudah sekali tertawa.
Beberapa saat kemudian, pesanan kami datang. Mie ayam berlevel dengan sambalnya merah merona yang dihidangkan dengan kuah panas tampak menggoda di hadapan kami. Asapnya yang mengepul membuat kedua temanku itu tak sabar untuk menikmatinya. Mereka makan dengan lahap seolah tak menghiraukan aroma cabai yang menyeruak di hidung serta keadaan mie itu yang masih panas. Lain halnya dengan diriku yang makan dengan meniupnya pelan-pelan kemudian memasukkannya ke mulut secara hati-hati. Aku memang tidak suka pedas, jadi pesananku tergolong level yang paling rendah berbanding terbalik dengan kedua temanku yang memesan hingga level terpedas. Aku tidak mau menanggung resiko dengan makan banyak sambal. Yang terpenting perut terasa kenyang dan puas.
Pada saat aku makan, aku selalu terfokus kepada apa yang terhidang di depanku, tidak menghiraukan dengan yang lain. Tetapi saat itu, aku tak sengaja mendongakkan kedua mataku tepat ketika aku benar-benar berada di antara perasaan pedas dan panas. Bisa dibayangkan bagaimana bentuk wajahku saat itu. Mengkerut-kerut seperti cucian belum disetrika. Saat itu pula uluran mie ayam menggantung di ujung mulut. Kedua mataku tertegun. Ia, mahasiswa baru berkulit putih itu kembali memandangku dari dua bangku di seberang tempatku. Yang membuatku segera menunduk adalah ekspresi wajahnya yang seakan meniru bagaimana wajahku saat kepanasan bercampur ke-pedasan. Sungguh saat itu aku benar-benar merasa malu. Ketika melihatnya kembali di lain waktu, aku selalu teringat ekspresi wajahnya. Itu memalukan diriku sendiri.
Sejak saat itu aku baru menyadari dan mengetahuinya bahwa ia selalu menatapku di manapun aku berada. Sedikit demi sedikit waktu berlalu aku mulai peduli kepadanya. Aku menganggap ia memiliki suatu rasa kepadaku. Entah itu apa. Dan ia, kuakui sumber semangat yang semakin menggebu setiap saat melihatnya memandangiku. Entah ada rasa apa pada diriku. Aku belum bisa dan takut mengungkapkannya. Karena aku tahu, aku tak akan pantas bila memiliki rasa bernama cinta.
Awalnya aku tak mengetahui namanya. Tiba-tiba saja aku mengungkapkan bahwa aku mengaguminya lewat seorang temannya yang kukenal. Faza namanya. Ia malah menggodaku bahwa aku menyukai Dafta, benar nama lelaki yang selalu me-mandangiku itu Dafta. Faza yang memberitahunya. Aku mengelak. Aku hanya sebatas kagum kepadanya. Entah kagum dalam hal apa. Lagi pula yang kudengar ia adalah idola para mahasiswi sefakultasnya. Aku tidak ingin dibully hanya karena memiliki rasa yang lebih kepadanya. Aku mengaguminya dan ia kujadikan penyemangat dalam masa belajarku itu sudah cukup.
Kedua temanku itu, juga belum mengetahuinya. Kalau bukan mereka adalah teman dan sahabat, aku tak mungkin berbagi cerita kepada mereka. Aku menyadari, guna sahabat adalah sebagai pendengar dan penasihat dari cerita duka dan bahagia. Mereka kemudian kuberitahu. Mereka agak meragukan dengan perasaan kagumku itu, tetapi kemudian aku meyakinkan mereka. Aku tak akan memiliki rasa yang lebih dari kagum karena aku takut beresiko. Akhirnya mereka mendukung, tetapi mereka tetap mengingatkanku agar tidak melupakan belajar, sebab sebentar lagi akan menghadapi ulangan.
Cerpen Karangan: Sheila Zar Blog / Facebook: Sheila Zairoturaudloh