Bepp! Bepp! Aku terlonjak kaget. Lamunanku tersadarkan. Seseorang yang memakai jas hujan kelelawar mengerem motor bebeknya tepat di depanku. Kedua rodanya berdecit kencang hingga menimbulkan cipratan air hujan ke mana-mana. Aku mundur sambil geleng-geleng kepala melihat tingkahnya setelah ia membuka kaca helm berwarna merah muda. Ia salah satu teman sekaligus sahabat, Rina. Ia memang agak tomboy, jadi wajar saja bila cara mengendarai motornya ugal-ugalan seperti cowok.
“Ayok naeek!” ia berteriak di antara gemuruh hujan. Aku diam saja. Melihat wajahnya yang merah padam aku malas diboncengnya. Ia menghela, mungkin tahu maksudku. “Priya khawatir kamu kehujanan, makanya dia nyuruh aku jemput kamu. Lagian kamu juga tadi yang nyuruh kita duluan…”
Kali ini aku melebarkan senyumku. Menampilkan deretan gigiku yang tak putih-putih amat. “Hehe… iya deh, Rin, maaf…” “Ayok ah, naek! Keburu hujan angin nanti.” “Iya! Eh Rin, tuh!” “Apaan sih?!” ia tak mengerti saat aku menunjuk sesuatu dengan daguku. Tetapi kemudian ia menoleh ke sekelilingnya. Lalu sejenak kemudian ia tertawa kencang mengalahkan derasnya hujan. Aku yakin, ia telah mengetahui apa yang kumaksud. “Ciee… Alina…” Ia malah menggodaku yang semakin membuatku tak mampu menyebunyikan rona merah di wajahku. Ia tak tahu saja, dadaku sudah berdebar semenjak tadi. Sejak mengetahui bahwasanya Dafta memperhatikanku dari seberang jalan.
“Ayok, ah, jalan!” aku menepuk pundaknya setelah aku masuk ke mantel kelelawarnya. Aku sudah sangat malu dilihatnya dari tadi, tapi Rina malah tak kunjung menjalankan motornya. Sebenarnya ia ini mau menjemputku atau hanya mau memandangi Dafta? Cewek ini memang begitu, saat melihat Dafta memandangiku, ia yang akan membalas pandangannya. Jujur juga, aku agak cemburu. Eh!
“Nggak mau kiss bye atau dadah dulu gitu sama dia?” “Jangan menggoda mulu, ah!” aku menepuk sekali lagi pundaknya. Kali ini lebih keras. Bukannya kesakitan, ia malah tertawa kian kencang. Cukup lama, sampai akhirnya ia benar-benar menghentikan tawanya kemudian perlahan melajukan motornya. Dari balik mantel aku mengintip ke luar mantel, lamat-lamat aku melihat ia masih memandangiku. Dari celah derasnya hujan, entah mengapa tiba-tiba aku tertunduk dan tersipu, ia tersenyum manis ke arahku. Laju motor kian menjauh semakin tak terlihatnya ia dari pandanganku. Aku menghembuskan napas tenang, masih ada hari esok yang akan memperlihatkan tatapan meneduhkannya kembali.
Benar saja, ia hadir sebagai penyemangat di saat tugas-tugas menumpuk menjelang ulangan. Apalagi saat benar hari-H itu tiba, aku benar-benar berada pada sumur semangat yang semakin bergejolak bara. Hanya dipandangnya, semangat dalam diriku menambah. Meskipun berada pada jarak yang jauh tak membuatku bermasalah. Yang terpenting bagiku adalah ia memberikan semangat melalui matanya tanpa atau ada orang lain yang mengetahuinya, sudah cukup. Aku tak pernah bermimpi memilikinya. Mengetahui ia memiliki perasaan kepadaku saja itu sudah membuatku senang.
Tepat saat ulangan usai, aku keluar ruangan dengan perasaan lega. Panas dingin yang dirasakan akibat ketegangan menghadapi soal-soal sedikit longgar. Aku berjalan santai di koridor sambil memegang satu buku besar di tangan. Napasku masih memburu. Sesekali mengembuskannya lewat rongga mulut. Aku tak menyadari, bahwa di tengah perjalanan ia berdiri di ujung koridor. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celananya. Penampilannya sungguh lebih dewasa dari biasanya. Aku tidak tahu ia memandangku atau tidak, karena aku tak berani menoleh. Aku terus berjalan, sesekali menunduk menyembunyikan rona kebahagiaan bertemu dengannya. Dari samping, aku melihat siluetnya, ia berjalan mondar-mandir. Seakan menunggu sesuatu. Apa aku yang ditunggu? Eh!
“Cie… Salma gandengan. Sama siapa tuh?” Aku tidak terlalu mempedulikan candaan para mahasisiwi yang mungkin lagi dimabuk asmara saat aku melewati kelas mereka. Aku terlalu bersemangat hari ini karena aku sedang menunggu sesuatu. Tak sabar pula melihatnya kembali memandangiku. Aku tak pernah mempunyai keinginan apa-apa terhadapnya, tetapi semenjak dua hari yang lalu aku mempunyai suatu keinginan yang bergejolak. Antara ragu dan takut. Aku melawan keduanya dengan meyakinkan diri, tujuan keinginanku itu baik. Tidak sampai menjurus kepada yang negatif. Aku menitipkan sebuah salam untuk Dafta melalui temannya, Faza.
Saat aku hendak menuju perpus, dari kejauhan Faza berlari-lari memanggilku. Aku menantinya dengan perasaan tak sabar. Apa yang akan dia katakan mengenai salamku itu?
“Gimana, udah, Za?” tanyaku tak sabaran. Ia masih mengatur napasnya yang hilang-timbul. “Belum…” Jawabnya singkat. Ia masih berusaha memperbaiki irama napasnya. Aku masih menunggunya. “Itu, dia…” ungkapannya tak ia selesaikan. Aku semakin cemas menunggu. “Dia kenapa?” ia memandangku sebentar. Seperti ragu akan mengungkapkan sesuatu.
“Ternyata dia sudah menyukai orang lain,” setelah sekian detik ia diam, akhirnya ia berbicara. Ia berbicara sangat pelan dan hati-hati sehingga bila saja ada angin yang meniup, perkataannya tak terdengar. Aku mendengarnya dengan sangat jelas. Bahkan hati yang tertutup kerangka ikut merasakan sesuatu yang tak dapat kumengerti.
“Ouh.. yaudah makasih kalau gitu. Lagian aku hanya sebatas kagum kepadanya, ya, kan?” “Emm… maaf, ya, Lin?” “Nggak papa kok, maaf juga udah sering ngrepotin kamu. Udah ya, aku duluan.” Aku tersenyum mengakhiri percakapan, kemudian melengang pergi membatalkan tujuan ke perpus. Aku berlari.
Aku bilang nggak papa, padahal kenyataannya dadaku sesak. Rongga di dalamnya menyempit seakan menghadang udara yang hendak masuk. Aku tak mengerti sebenarnya rasa apa yang kumiliki hingga sesesak ini! Aku tak bisa menangis karena tadi bukan berita duka. Aku hanya heran, mendengar itu sakitnya luar biasa di ulu hati. Rasa apa yang sedang kubawa ini! Tanyaku tak mengerti terhadap diriku sendiri.
Berulang kali kutekan dadaku agar tak sesak. Berulang kali kucoba mengerti tentang perasaan ini. Aku tak rela bila ia menyukai orang lain. Aku takut kehilangan tatapan matanya kepadaku. Aku takut, tak akan bersemangat lagi menjalani hari esok.
Kusudahi lariku, menepi saat tiba-tiba hujan turun. Tidak ada mendung, namun hujan turun begitu derasnya. Tiada cinta, tetapi terluka. Sakit sekali, apalagi melihatnya berdiri jauh di sana bersama gadis itu, Salma, mahasiswi sefakultasnya, ingin rasanya menjerit. Aku tak rela. Mereka saling pandang dan tersenyum. Sesekali ia memandang ke arahku. Aku memalingkan wajah, karena aku tak sanggup. Dalam hati, aku tertawa getir. Saat sudah ada seorang gadis di sisinya, kenapa harus melirik ke arah gadis lain seolah ia memberi harapan tanpa menyadari bahwa ia tak akan pernah bisa mewujudkannya?
Semangat yang biasanya muncul saat ditatapnya, berganti perih. Aku tidak kuat berlama-lama dipandangnya semenjak tadi. Aku belum bisa menerimanya. Tanpa menghiraukan hujan, aku menerobosnya. Membiarkan air mataku yang kemudian jatuh tersamarkan oleh air hujan. Aku menyadarinya sekarang, hari saat ia berdiri mondar-mandir di koridor, mungkinkah ia sedang dilanda bingung dan ingin menjelaskan kepadaku bahwasanya sudah ada gadis lain yang mengisi hatinya, begitu? Lalu, keesokan harinya, ketika aku bersemangat menunggu jawaban dari Faza, candaan di ruang kelas waktu itu membuktikan kebenaran dan diperuntukkan untuk Dafta? Mengapa baru sekarang kejelasannya, setelah sekian lamanya ia menjadi bunga dalam tidurku?
Risiko-risiko yang kutakutkan terjadi sekaligus. Bahkan aku belum sampai pada titik rasa di mana disebut cinta, tetapi yang terjadi telah menghujam jantung dengan beribu tombak! Hanya sebatas kagum, tetapi sakitnya luar biasa! Setidaknya bila tidak ingin mewujudkannya, jangan pernah menjadi angin yang hanya datang untuk sesaat!
—
Hanya duduk di depan kosan sambil memandang hampa. Tubuhku telah terbalut selimut yang tebal. Di tanganku, secangkir kopi masih utuh tak terminum. Di kedua sisiku dua sahabatku diam saja. Mereka hanya memegang lenganku dan memandangku.
“Sudah jangan dipikirkan berlarut-larut… Kasihan dirimu nanti…” Priya mengelus-elus pundakku. “Gimana nggak dipikirkan? Setiap harinya dia memandangku seakan dia menyuruhku untuk menyukainya, tapi setelah aku memiliki sedikit rasa untuknya, dia seolah tak peduli dengan apa yang telah dia perbuat sendiri. Dia malah menyukai orang lain…” “Diminum dulu kopinya, hati kamu sedang tidak tenang,” Rina menyarankan. “Hatiku sudah tenang, cuman aku bingung. Sebenarnya arti tatapannya setiap hari itu apa? Kok tiba-tiba tiada angin tiada badai dia telah bersama gadis lain. Setidaknya berikan aku kejelasan, supaya aku tak berharap lebih.” “Aku sadar kok, bilapun aku berharap dan terwujud aku tahu resikonya. Aku akan dibully dan dianggap tak pantas oleh idola-idolanya. Untuk itu, aku hanya meng-aguminya, tapi kok, ya, sakitnya itu lho, yang tak mengerti dari mana. Sungguh perih!” lanjutku berkaca-kaca. “Aku juga berhak mendapatkan keadilan dari perasaanku ini. Aku tak butuh balasan, hanya butuh kejelasan, sebenarnya maksud dia memandangiku itu apa?” kuulangi lagi pertannyaan yang sama. “Ini yang kutakutkan setelah dia berhasil menjadi penyemangat dan aku mengaguminya, dia pergi membawa semangatku. Tanpa pamit tanpa kejelasan!” sudah, aku tak tahan untuk tidak menangis. “Tenangkan dirimu, Lin…” Rina mengusap-usap pundakku. “Jangan seperti itu. Kita ini penyemangatmu yang sesungguhnya, yang tidak akan pergi begitu saja seperti lelaki itu yang telah memberikan harapan kepadamu. Aku juga tidak mengerti kenapa dia berbuat demikian, tapi kamu harus percaya ada hikmah yang tersembunyi di balik luka.” Priya menerangkan. “Biarkan luka itu mengering dengan tertawa bersama kita. Kita selalu ada untukmu dalam suka maupun duka. Aku tidak menyuruhmu menghapus rasa yang kamu miliki, tapi pintaku, tolong jangan terlalu berharap lebih karena itu akan semakin menambah luka. Biarkan saja, suatu saat rasa itu akan hilang dengan sendirinya tertelan tawa bersama kita…” “Kemungkinan besar, kamu diciptakan untuk tidak berpacaran… Kamu ditakdirkan menunggu pangeran berkuda putih yang akan turun dari langit menjemput bidadari imut ini,” Priya mencolek daguku, tak kusangka aku sedikit tertawa. Kita tertawa bersama. Melupakan sejenak luka yang menguar lebar di dalam sana.
—
Duduk sendiri di bangku kampus sambil menunggu kedua sahabatku keluar kelas. Aku menikmati angin yang lewat berkali-kali. Tanganku berulang kali bergerak di atas kertas putih. Menuliskan sesuatu yang terbawa oleh angin.
Aku tak mempunyai nafsu untuk memiliki Aku tak memiliki hasrat untuk mempunyai Rasa ini tiba-tiba hadir Tertiup oleh angin dan membawanya ke mari Yang entah dari mana, aku sendiri tak mengetahui
Jangan pernah menjadi angin yang datang hanya untuk sesaat; menyejukkan untuk sekejap, kemudian meninggalkan pengharapan yang sebenarnya kamu sendiri tahu, kamu tidak mampu mewujudkannya ~ Alina
Aku meninggalkan kertas itu di bawah batu di ujung bangku. Kemudian meninggalkannya setelah kedua sahabatku muncul dari balik tumbuhan yang hidup di sepanjang koridor. Aku tak berharap ia akan membacanya. Aku hanya mengungkapkan apa yang ada di dalam hati.
Saat dua hari kemudian aku kembali duduk di bangku itu, kertas yang kuletakkan masih di sana. Batu yang sama juga masih ada, hanya saja warna kertas itu yang berbeda. Aku mengernyit, mungkinkah ada orang yang menemukannya kemudian membalasnya?
Angin itu dariku… Akulah yang telah membawamu ke angan Kemudian menjatuhkannya
Benar… Aku adalah angin yang menerbangkan dedaunan Seperti kalanya menerbangkanmu dan memberikanmu sebuah harapan Maafkan untuk aku yang tak mampu mewujudkannya Tetapi, tetaplah kamu menjadi daun yang tak akan pernah membenci angin Walau angin telah berkali-kali menjatuhkannya, ia masih akan selalu menjadi penyejuk untuk setiap apa ~ Dafta
Dari balik kertas itu, aku melihat bayangan ia bersama gadis itu. Saling bergandengan dan tersenyum bersama, meskipun beberapa kali ia masih melirik ke arahku. Aku sadar harapanku tak akan pernah terwujud. Seiring berjalannya waktu rasaku akan hilang tertiup angin, seperti kalanya angin yang telah membawanya padaku. Aku rela dan menerimanya.
Cerpen Karangan: Sheila Zar Blog / Facebook: Sheila Zairoturaudloh