“Biarkan aku jadi yang terhebat, jadilah kamu kekasih yang kuat …” Pandanganku terpaku ke arah panggung. Tepat pada seorang cowok yang sedang bernyanyi. Suaranya begitu merdu, raut wajah yang menghayati setiap lirik pada lagu, dan petikan gitarnya, membuatku terhipnotis pada pesonanya. Entah sudah berapa menit yang kuhabiskan tanpa berkedip saat menatapnya.
Dia serupa bulan, bersinar di antara ribuan bintang. Dan aku bersyukur, berada di tempat yang dekat dengannya. Kembali, kuingat kerasnya perjuangan untuk membuatnya menyadari kehadiranku.
“Ini,” ucapku seraya meletakkan buku paket pada mejanya. Dia lalu mengambil buku itu tanpa bertanya, membuatku menghembuskan napas, kesal. “Kamu kerjain nomor 1 sampai 10 dan aku akan melanjutkan nomor 11 sampai 20, praktekan dulu setiap petunjuknya dan jawab sesuai dengan hasilnya. Aku nggak mau terima jawaban yang hanya sekadar ditebak saja,” jelasku panjang dan lebar. Dia mengangguk tanpa menoleh padaku. Yaa, sepertinya handphone yang berada dalam genggamannya begitu penting daripada kerja kelompok. Aku beranjak menjauh dari bangkunya, sambil mendengus keras sebab tingkahnya yang cuek.
“Ini,” ucapku sambil memberikan sebatang pensil padanya. Saat itu sedang berlangsung pelajaran biologi, dan tugas kami menggambar organ-organ pencernaan tubuh pada manusia. Tugas yang begitu rumit karena aku tak terlalu pandai menggambar. Namun disaat rumit seperti itu, aku masih sempat memperhatikan sekilas raut gelisah pada wajahnya. Sungguh miris, sebab setelah aku melakukan hal yang menurutku tepat, yang dibalas hanya anggukan dan menerima pensil yang kuberikan. Tanpa kata-kata lebay yang biasa diucapkan oleh teman-temanku saat aku memberikan sedikit bantuan. Bukan bermaksud mengharapkan ucapan lebay atau kata terima kasih, tapi respon mengangguk, menerima pemberianku, lalu segera terjun pada kesibukan yang ditugaskan guru sungguh membuat kesan seakan aku adalah tempat pensil. Sudah semestinya dia mendapatkan pensil dariku.
“Aku manusia yang membutuhkanmu, membutuhkanmu. Hatiku memainkan pandang hanya padamu, pada hatimu …”
Sungguh, tak masalah jika aku hanya menjadi sebuah sandaran di saat kau butuh beristirahat sejenak dari kepenatan hidupmu. Sungguh, aku tak apa-apa. Asal kau tetap di sisiku.
“Terima kasih Mrs. Ini,” ucapnya sambil terkekeh. Saat itu adalah kali pertama dia menyapaku, dari sekian banyak cara yang telah kucoba, untuk membuat dia memandangku. Mrs. Ini. Aku tersenyum mendengar julukannya padaku. Kuharap langkahku untuk menepati satu bagian dari hatinya, akan mulai berjalan lancar.
“Jangan lelah, menghadapiku. Biarkan aku jadi yang terhebat, jadilah kamu kekasih yang kuat. Genggam tanganku, bernyanyi bersama. Karena kamu kekasih terhebat …”
Bulan hanya bersinar untuk langit malam. Dan bintang ada hanya untuk memperindah langit malam dan menemani bulan di sepanjang ia bersinar.
Ia tersenyum setelah menyanyikan lirik terakhir. Dan aku hanya mampu terpaku pada senyumnya. Yaa, hanya itu yang dapat kulakukan, karena senyumannya dan setiap lirik yang ia nyanyikan bukan untukku. “Love you …” Kulirik gadis yang membalas senyumannya seraya mengguman sebuah kalimat pamungkas. Kalimat pamungkas yang membuatku tak berdaya, hingga melipat harapan yang telah kurajut hari demi hari. Harapan yang belum sempat kutunjukan padanya.
“Mita! Yuk kita ke belakang panggung,” ajak cewek tersebut, menggenggam tanganku, lalu menariknya agar aku mengikuti langkahnya. “Jadilah sahabat yang kuat, Mit,” gumanku dalam hati.
Bintang ada hanya untuk menjadi teman bagi bulan. Seharusnya kusadari makna di balik pengandaiannya, ketika dia menggambarkan aku serupa bintang. Karena bulan hanya bersinar untuk langit malam, sahabatku. Yaa, seharusnya aku menyadari alasan ia memandangku, karena langit malam, Vinny, adalah sahabatku. Dan sudah sepantasnya aku berada di antara mereka. Bulan dan langit malam.
“Mita. Brian memintaku mengirimkan foto. Dan aku mengirimkan foto kita berdua. Tidak apa-apa kan? Yaa, supaya ia juga mengetahui wajah sahabatku yang cantik ini.” Ucapan Vinny berulang kali berputar-putar dalam benakku. Kalimat yang ia ucapkan sehari sebelum rembulanku pertama kali memandangku. Menyadari kehadiranku.
Cerpen Karangan: Itin Lessy Facebook: Yosphina CL