Namanya Fendy, orang pertama yang aku cintai. Tubuhnya yang ideal dan wajahnya yang tampan membuat siapa saja akan terkesima melihatnya. Namun Fendy hanyalah sosok lelaki yang selama ini menjadi bayang-bayang kesepianku.
Aku Fisya, seorang gadis bertubuh mungil dengan lesung pipit di kedua pipiku dan menjadi kebanggaanku tersendiri. Aku duduk di tepi teras rumah yang dekat dengan pantai. Aku pindah kesini tiga tahun silam tepatnya ketika Fendy tidak memilihku, selama itu pula aku tak pernah bertemu dengannya lagi.
Angin sore mendesir lembut, memainkan helaian rambutku. Perlahan mataku terpejam dan otakku memaksaku untuk memutar kenangan itu.
Kriiing!!! Handphoneku berdering. Fendy… dengan semangat aku membukan pesannya “Fisya, ntar malam kita dinner di tempat dan jam biasa ya. Ada hal penting yang ingin aku sampaikan.” Dengan senang aku menerima ajakan Fendy untung dinner di sebuah restoran dekat kampusku. Aku segera mandi dan mengenakan mini dress bewarna biru muda, memoles wajahku dengan sedikit makeup dan pita kecil di rambutku. Aku datang lima menit lebih awal dari jam yang telah ditentukan.
“Hi sya, sudah nunggu lama? Maaf ya.” Fendy memegang bahuku kemudian duduk tepat di hadapanku. Fendy terlihat tampan malam ini. Aku tersenyum lebar “Gak kenapa-napa kok Fend, baru aja setengah jam” apa? Setengah jam? Tapi tak apalah, namanya juga cinta. Aku tertawa kecil di hati Selang beberapa menit kami menikmati sajian yang telah dipesan fendy sebelumnya.
“Sya, ada sesuatu yang ingin aku katakan” Sesuatu? Apa ya? Apa mungkin Fendy mau nembak aku dan menjadikan aku sebagai pacarnya? Wahh, bahagianya jika itu benar terjadi. Tapi raut wajahnya tak menunjukkan ekspresi yang kumaksud. Ia tertunduk seperti orang yang telah melakukan kesalahan besar. Ah sudahlah, dengarkan saja “Sesuatu? Sesuatu apa Fend?” aku bertanya dengan penuh rasa penasaran “Sya, sudah enam bulan kita dekat, aku juga pernah bilang kalau aku suka sama kamu.” Fendy tak menatapku “Iya, tepat sekali. Enam bulan, meski tanpa status aku tetap sayang sama kamu.” Aku tersenyum dan menghabiskan satu suapan terakhir. “kamu kenapa? Kok kayak sedih gitu?” kepoku sambil mengaduk segelas cappucino “Maafin aku sya..” Dahiku mengkerut, maaf? Aku tak dapat menebak apa yang dimaksud Fendy. Kedua tangannya menutup mata dan seolah menghapus air mata. Fendy menangis? Tanyaku di hati “Maksudmu? Emangnya kamu ada salah apa sama aku? Selama ini kita baik-baik aja kan? Kamu kenapa?” tanyaku melebihi pertanyaan seorang wartawan.
Fendy memegang tanganku dan menatapku tajam. Jauh di bola matanya terlihat seperti ada hal yang sulit untuk ia katakan. Tapi apa? “Sya, aku sayang sama kamu. Tapi…” Jelasnya terbata “Tapi apa?” “Aku gak bisa sya.” Fendy menggeleng kepalanya. “Selama ini aku sudah mencoba untuk jatuh cinta sama kamu, tapi hasilnya nihil, aku hanya bisa sayang sama kamu sebagai sahabat aku sya.” Ucapnya pelan dengan penuh rasa bersalah Jantungku seperti diremas oleh kata-kata Fendy. Aku melipat kedua tanganku di dada, terasa begitu sakit. “Aku gak mau nyakitin kamu lagi. Selama ini kamu sudah memberikan yang terbaik meskipun aku bukan pacar kamu” tambahnya. “Maaf sya, aku harus jujur. Sebelum kamu, aku pernah mencintai seseorang. Aku putus karena LDR. Tapi sekarang dia sudah kembali sya. Dan aku masih sayang, aku masih cinta sama dia. Aku juga sudah balikan dengannya minggu lalu.” Gubrak, tubuhku semakin melemas, pengakuannya yang dahsyat menyambar dadaku mengalahkan dahsyatnya sambaran petir. “Maaf sya, maaf aku lebih memilih dia.” Air mataku tak terbendung, ia mengalir dengan derasnya, begitu los, terasa sesak hampir tak bernyawa.
Aku mencoba menyelamatkan nyawaku sendiri dengan meenarik nafas panjang. “Kamu cinta pertama aku Fend, aku tak pernah merasakan bahagia seperti yang telah kita lalui enam bulan lalu. Dan sekarang kamu juga orang pertama yang menggoreskan luka begitu dalam di hatiku. Teganya kamu menjadikan aku sebagai pelampiasan cintamu. Kenapa Fend? Aku salah apa sama kamu?” aku tersedu Fendy hanya terdiam “Baiklah Fend, aku tak bisa memaksamu untuk mencintaiku. Terimakasih atas cinta ini, terimakasih atas luka ini. Aku lebih baik kehilangan kamu dari pada aku menjadi pelampiasanmu.”
“Sya, aku gak bermaksud untuk melukaimu.” Fendy menggamit tanganku, kutepis keras dan memandangnya dengan rasa sakit dan kecewa “Kalau aku tau kamu hanya menjadikan aku pelampiasanmu, aku gak bakalan repot-repot membuka gembok di hatiku Cuma buat kamu! Tapi nasi sudah menjadi bubur. Aku bisa apa?” aku menangis dan pergi meninggalkan Fendy.
Aku membuka mata dan seperti biasa tetesan kristal bening menyusul setelahnya. Saat ini aku hanya ingin sendiri. Dan terus mencoba untuk mengubur nama dan kenangan tentang Fendy. Aku tidak menyimpan dendam. Hanya saja rasa sakit itu masih teramat membekas. Sebenarnya aku sudah lama memaafkan Fendy. Tetapi memaafkan bukan berarti melupakan.
Cerpen karangan: Fitri Sa’banniah Facebook: Fitri Sa’banniah Sekarang semester 3 jurusan Hukum Keluarga Islam. 😀