Aku tak tahu Bang Ilham akan pergi ke mana. Yang pasti, petang itu aku melihat Bang Ilham mengemas semua pakaiannya. Wajahnya amat mendung, kusut. Aku tahu betul apa yang dirasakannya.
“Bang Ilham mau ke mana?” “Pergi sejauh mungkin dari kampung ini!” “Bang …” “Kau tahu, Nis, abah tak berhak sedikit pun menghalangi langkahku untuk menjadi sarjana!” Bang Ilham beranjak, menggendong tas besarnya yang usang, kemudian menatapku lamat-lamat. “Jaga dirimu. Mungkin suatu saat abang akan kembali.” Tangisku semakin menjadi. “Aku akan selalu menunggu Abang. Selalu.” Saat itu, berusaha tegar, sangat sulit kurasakan. Jujur, aku tak siap kehilangan. Sekuat tenaga, kuhentikan laju air mata.
“Eung … Bang Ilham punya uang?” Sejenak ia terdiam. “Tabunganku akan cukup. Aku juga akan mencari kerja.” Aku mengeluarkan sebuah bungkusan plastik. Di dalamnya ada beberapa uang lembaran dan receh, hasil celenganku selama dua tahun. “Ini buat Bang Ilham.” Bang Ilham terdiam, menatapku dengan senyum sendu, dan mata berkaca-kaca. “Terimalah, Bang! Aku mohon …” Aku senang Bang Ilham kemudian menerimanya. Meski aku sangat tahu ia terpaksa.
Itu terakhir kalinya aku melihat Bang Ilham, lelaki pujaanku. Tak pernah menyangka akan kehilangan dia jua. Itu adalah hal yang paling menyakitkan.
Awal kepergiannya, adalah masa-masa terberat bagiku. Aku bahkan puasa bicara pada abah dan umi. Aku benci! Ini gara-gara abah.
Pohon kecapi di belakang rumah sudah penuh dengan ukiran nama Bang Ilham. Padahal batangnya baru sebesar betis. Dulu, aku dan Bang Ilham yang menanamnya. Kutumpahkan kerinduanku pada pohon itu.
Tak pernah ada kabar dari Bang Ilham. Ia bagai ditelan bumi. Aku tahu, ia pasti tengah mengalami saat-saat tersulit. Setiap malam tak henti kupanjatkan doa, agar Tuhan selalu melindunginya.
Bertahun-tahun, tak pernah ada kabar, sampai suatu hari sebuah surat datang. Bang Ilham, kubuka surat itu dengan perasaan campur aduk. Ternyata, tak ada surat. Hanya sebuah foto. Bang Ilhamku begitu gagah dengan baju toga-nya. ‘Abang lulus dengan predikat cum laude, Nis’, begitu tulisan di belakang foto tersebut. Air mata haruku tak terbendung. Aku bahagia, ia berhasil menjemput mimipinya. Aku tahu Bang Ilham pasti mampu.
Tiba-tiba seseorang merebut foto itu. “Abah?” Abah tersenyum sarkas. “Hebat! Sudah berhasil jadi sarjana anak itu.” Aku merebut kembali foto itu. “Itu Bang Ilham yang kau selalu kau tangisi?! Bang Ilham yang penuh Ambisi! Bang Ilham yang membuatmu menolak semua lelaki yang hendak meminangmu?! Dengar Nisa! Dia tak akan pernah kembali ke kampung ini. Sudahlah, lupakan dia!” Aku hanya memejamkan mata mendengar racauan abah, seraya memeluk foto Bang Ilham. Aku yakin, Bang Ilham pasti pulang ke kampung ini. Meski, entah kapan …
Sejak saat itu, ia rajin mengirimiku surat. Ia menceritakan semua yang telah ia lalui demi mencapai impiannya. Aku bahagia. Sangat bahagia. Aku merasa Bang Ilhamku telah kembali, meski hanya lewat secarik kertas. Namun, itu tak berselang lama. Hanya satu tahun. Setelah itu, Ia menghilang … lagi. Ya, Bang Ilham tak pernah mengirim atau pun membalas surat-suratku. Hingga ku lelah, menyerah. Kupasrahkan cinta ini pada jalan yang tak kunjung pasti.
Aku tak mengerti, mengapa Bang Ilham tega mempermainkan perasaanku? Apakah dia tak pernah mengukur seberapa dalam cintaku untuknya? Atau bahkan mungkin, dia tak pernah tahu bahwa aku selalu mencintainya?
Pagi itu, aku melihat wajah abah memerah. Bahkan, terbatuk-batuk ia menelan kopi hitam gula arennya. “Lihat Nisa, dia sekarang sudah menjadi pengacara kondang dan membela pejabat koruptor! Ilham Zhein, SH.” Abah melemparkan koran yang tadi dibacanya ke arahku yang tengah memilah daun melinjo. Aku membaca berita yang menjadi headline koran tersebut. Ah, Bang Ilham, sekarang ia sudah menjadi pengacara.
“Kenapa kau malah senyum?!” “Abah, mestinya Abah jangan su’udzon. Yang Bang Ilham bela kan pejabat dari partai islam. Bisa saja orang itu difitnah. Iya, kan? Lagi pula, kasus ini menjadi pemberitaan karena melibatkan pejabat. Mungkin saja kasus yang ditangani Bang Ilham yang melibatkan orang kecil dan rakyat biasa lebih banyak namum tidak terpublikasi.” “Kau benar-benar sudah buta, Nisa!” Aku tak menggubris. Hatiku terlampau senang. Berita di koran tersebut sedikit menenangkanku. Setidaknya, aku jadi tahu keadaan Bang Ilham baik-baik saja.
Setelah itu, aku semakin sering mendengar nama Bang Ilham, dari radio butut di kamar abah. Mungkin nama Bang Ilham sudah sejajar, dengan pengacara-pengacara kondang negeri ini. Aku bahagia, meski abah semakin membencinya.
Seusai shalat isya aku tertidur di atas sajadah. Dan … aku bermimpi, Bang Ilham datang menjemputku. Kami berdua duduk di pelaminan. Semuanya tampak Indah. Benar-benar indah.
“Nis, Nis, Bangun! Ada Ilham di depan.” Tiba-tiba umi membangunkan. Kucubit lengan berkali-kali. Jangan-jangan ini masih mimpi. Ah, ternyata sakit. Ini bukan mimpi
Setelah umi pergi, bergegas kubuka mukena, memakai baju dan kerudung terbagus, lalu memoles wajah dengan bedak. Aku ingin buktikan, Nisa kecilnya dulu, sudah tumbuh menjadi gadis dewasa yang cantik.
Perlahan, aku berjalan ke ruang depan. Bang Ilham? Benar, aku tak mimipi. Tapi … siapa perempuan cantik di sebelahnya? Kulihat abah semakin tertunduk, menyadari kedatanganku. Entahlah, apa yang abah rasakan?
“Nisa? Itu kau?” Bang Ilham seketika bangkit. “Ehng … ini istriku, Eliana. Seorang muallaf, gadis Batak. Dia putri dari kawan satu profesiku. Doakan kami ya, Nisa …,” ucapnya kemudian seraya menggandeng perempuan itu. “Oo, jadi ini Nisa? Adik Bang Ilham yang hampir setiap malam Abang ceritakan itu. Cantik.” Perempuan itu menghampiri, kemudian memelukku dengan hangat. Tak terasa air mata menetes. Aku ingin saat itu juga waktu berhenti. Sakit.
JB, 11082016
Cerpen Karangan: Mutiara FK Blog / Facebook: Mutiara Fauzia