Hari itu seperti biasa aku main dengan Adit sebelum bel masuk berbunyi. Wali kelasku masuk membawa seorang insan, sosok itu yang akan mengubah banyak hal di hidupku. “Hi semua, perkenalkan aku Reya Adila Putri, bisa dipanggil Reya,” perkenalan singkat dari Reya. Suaranya seakan menari-nari di telingaku, aku tidak dapat menahan senyumanku. Reya adalah anak pindahan dari sekolah lain, setelah kami mengobrol dan saling bertanya, ternyata alasan dia pindah kesini adalah karena orangtuanya ada urusan pekerjaan.
Waktu yang kutunggu telah tiba, saatnya istirahat. Tujuanku bukan istirahat tapi saat dimana aku bisa berbincang dengan Reya, aku mulai dengan basa basi, “Hi Reya, kenalin nama aku Pandu, yang duduk di kursi paling kanan nomer dua dari belakang.” Badanku terasa kaku, gemetar, dan keringat mulai mengalir di dahiku, aku tau itu adalah perkenalan tercanggung yang pernah ada, Reya hanya balas dengan “Hahaha.. iyaa salam kenal ya Pandu, kamu lucu deh.” Aku yang sudah kaku menjadi semakin grogi, keringat semakin banyak, “E… btw mau tukeran ig ga.” Momen itu seperti lembaran pertama dari kisah cerita kami.
Hari dari hari pun telah berlalu, kami mulai saling mengirim pesan lewat dm, kami saling mengenal lebih dalam. Mulai dari hobi, anak ke berapa, makanan dan minuman favorit, genre film kesukaan, sampai aku tahu ukuran baju dan sepatunya. Aku yang merasa hubungan ini telah mulai berubah mencoba meminta nomer handphonenya, untungnya rencana cadanganku yang dimana jika dia tak mau memberikan nomernya, aku akan pura-pura handphoneku dibajak adit tidak perlu aku lakukan. Dari situ aku mendapatkan nomernya dan obrolan kami meluas, kami jadi suka begadang bersama, telfonan, dan curhat tentang kejadian-kejadian konyol maupun miris.
Aku ingin membawa hubungan ini ke tahap selanjutnya, aku ingin mengajaknya jalan berdua atau lebih dikenal dengan sebutan kencan. Saat itu sedang tayang film animasi berjudul ‘The Book of Life’. Aku memberanikan diri untuk mengajak Reya. Aku mengirim pesan singkat, “Rey, hari sabtu ini kamu kosong ga?” Satu menit berlalu, Reya sedang mengetik, “Kosong, kenapa?” Tanganku mulai mengetik, jantungku berdetak, “Mau nonton film bareng ga? Kalo mau nanti aku jemput sekitar jam 2.” Seketika aku melempar handphoneku, “Dia mau ga ya?” Pertanyaan yang terus berputar di kepalaku. “TING!” Bunyi itu mempunyai dua arti, itu dapat menjadi awal atau akhir dari segalanya. Aku mencoba maraih handphoneku dengan tangan yang bergetar. “Boleh” Itu adalah 5 huruf terbaik yang pernah aku dapatkan.
Hari yang kutunggupun telah datang, aku langsung siap-siap. Mengenakan pakaian terbagus yang kupunya, menggunakan parfum terharum, dan memakai sepatu yang semalam sudah aku cuci. Aku ingin memberikan kesan yang baik dengan datang lebih cepat dari perjanjian.
Aku sudah sampai di rumahnya pada jam setengah dua, aku menunggu di depan rumahnya. 30 menit berlalu, Reya keluar bersama dengan ibunya. Aku terpukau melihatnya, ini berbeda dengan di sekolah, Reya sangat cantik dan manis. Aku dan Reya berpamitan pada ibunya, ia hanya berpesan “Hati-hati ya Panji, Reyanya tolong dijaga sama jangan pulang malem-malem.” Aku membalas dengan anggukan dan senyuman. “Udah siap Rey?” Kataku, “Panji, kita kan udah deket sekarang kamu boleh panggil aku Ara aja.” Aku sangat senang mendengar bahwa dia sudah percaya padaku, “Okee, jalan ya Ra.” Kencan pertama kami pun berjalan dengan lancar, Ara juga terlihat menikmati film yang aku pilih.
Hari menuju hari, minggu bertemu minggu, tak terasa sudah 6 bulan berlalu sejak pertama kali aku melihatnya. Aku tau hubungan ini sudah sampai di puncaknya, kami sudah seperti sebuah pasangan. Tepat sekali, ‘seperti’ status kami masih sama seperti 6 bulan lalu, kami hanya sebatas dekat. Aku sudah berulang kali bertanya kepada Ara, “Kita tuh apasih?” Tapi dia selalu menjawab, “Kita tuh yaa.. deket,” dan segera mengarahkan topik ke tempat lain. Adit pun sangat khawatir denganku, “Ji, Reya tuh serius ga si sama lu,” “Lu bukan jadi pelampiasan dia doang kan?” Serta masih banyak kata kata dan pertanyaan semacam itu. Namun, aku masih tetap percaya kepada Ara, karena tidak mungkin dia melakukan hal seperti itu.
“TING!” Notif chat dari Ara, “Panji, nanti jalan yu ke taman.” Aku tak berfikir macam-macam. Karena kami memang biasa jalan ke taman di dekat rumah Ara. Kami bertemu hari Sabtu pukul 4 sore. Seperti biasa, kami membeli 2 minuman dan duduk, pemandangan kami adalah sekumpulan anak-anak yang sedang bermain.
Ara memulai memberitahu maksud sebenarnya, “Sebenernya aku ngajak kamu ketemu mau ngasih tau sesuatu, aku sebentar lagi bakal pindah..” Aku terdiam sesaat, “Kenapa baru bilang?” “Aku udah nyaman kaya gini, aku takut kalo aku kasih tau kamu nanti bakal ada yang berubah.” Jawab Ara. “Jadi ini alesannya kamu ga mau putusin apa hubungan kita sebenernya?” Lanjutan pertanyaanku. “Aku bingung, sebenernya aku mau serius sama kamu tapi aku tau aku bakal pindah. Jadi aku ga bisa ngelakuin apa yang aku mau, karena aku udah tau endingnya.” Jawabnya “Oke Ra, aku paham, tapi kenapa? kenapa Ra? Harus banget kamu buat aku kaya gini dulu baru kamu bilang. Tapi.. yaudahlah, gapapa udah telat juga kan.” Kata-kata penutup dariku “Maaf, aku tau kamu kesel sama aku. Tapi aku juga gamau kaya gini, aku mau kita bareng terus.” Air mata keluar dari kami berdua, kami berpelukan dan saling mengusap punggung seolah saling menenangkan, yang padahal tidak ada satupun diantara kami yang tenang.
Aku pun kembali ke rumah setelah mengantar Ara pulang. Orangtuaku sedang keluar kota, jadi suara yang dapat kudengar hanya dengungan dan isi hatiku. Akhir yang sama terulang kembali, walaupun dengan alur yang sangat berbeda. Mungkin kali ini masih benar, beberapa hal akan lebih menyenangkan saat masih berada di etalase bukan saat di genggaman, tapi kali ini aku sangat ingin memecahkan etalase itu dan menggenggamnya seerat mungkin.
Saatnya pun tiba, aku sudah berjanji untuk menemaninya sampai ia pergi. Ara akan pergi ke pontianak, lagi-lagi karena orangtuanya. Katanya, dia juga tidak tahu berapa lama akan tinggal di sana. Ara juga berkata bahwa kami pasti akan bertemu kembali suatu saat. Kami juga tidak akan lost contact, kami akan tetap aktif mengobrol dan curhat lewat whatsapp. Karena kami tetap akan menjadi sahabat.
Aku sudah berada di bandara bersama Ara dan keluarganya. Aku berpamitan kepada mereka semua. Sudah saatnya mereka masuk, aku memeluk Ara untuk yang terakhir kalinya sebelum dia pergi. Mereka berjalan masuk, mengambil langkah demi langkah, kami saling melambaikan tangan dengan senyuman dan air mata di pipi.
Setelah melihat mereka berangkat aku pun bergegas untuk pulang. Di jalan pulang aku hanya mencoba menjadi kuat dan tersenyum untuk menghibur diri sendiri. Sesampainya di rumah aku hanya dapat merenung dan mengingat kenangan. Setelah merenung beberapa lama aku menyadari sesuatu, kisah kami seperti sebuah film, yang dimana pada seri pertamanya bersisi kesenangan dan tawa bahagia. Namun, di seri keduanya kami sudah berada di judul yang berbeda.
Cerpen Karangan: Pandu Jatu Pradityo