Nuke adalah alasan mengapa aku selalu melewati jalan ini. Jalan yang dimana Nuke sering mencubit perut buncitku ketika berboncengan di atas motor. Gemas katanya. aku pun melihat ekspresi wajahnya dari spion kiri yang menghadap ke arahnya. Dengan rambut yang tergerai, pipi gembil dan matanya yang melotot. Nuke, wangi parfumnya yang masih terpaku di pikiran.
Sore yang sedang berawan, aku berhenti di taman. Menyapu tatapan sekeliling tanaman, lalu berhenti di huruf G yang mengingatkan aku kepada pose saat Nuke berfoto. Saat aku tanya mengapa huruf G, ia menjawab G adalah Gift. Dengan sumringah ia menjawab itu, aku dengan bingungnya bertanya kembali. Gift sabun maksud kamu? Ia diam. Entah jokes yang tidak lucu atau ia merasa kesal atas ucapanku. Tapi aku setuju dengan alasan dia yang mengartikan huruf G untuk Gift. Iya. Nuke adalah hadiah. Hadiah dari Tuhan untukku. Semoga ia mengartikan hal yang sama.
Aku menghampiri huruf G tersebut, kemudian memfotonya. Bermaksud untuk mengunggahnya ke sosial media Instagram, dengan bertuliskan Gone. Karena itu yang sekarang terjadi. Sebuah hadiah yang sudah hilang dari dekapan. Nuke, apa kabar dan di mana kamu sekarang?
Langit hampir gelap. Aku melipir ke pedagang sate taichan. Tempat di mana terakhir kali aku bersama Nuke. Aku memesan sambil melihat ke arah tempat duduk kami yang dulu diduduki. Aku menghela nafas. Kenangan oh kenangan. Membekas enggan lepas.
—
Saat itu memang berpisah seperti pilihan yang tepat, pikirku. Gejolak pikiran negatif yang selalu bernaung di otak, terus menerus mencari pembenaran dari ketidakpastian insting terhadap Nuke. Kecurigaan akan perasaannya yang membuat aku selalu berpikir ada dan tidaknya rasa cinta untukku. Walaupun setiap kegelisahan pasti ia tenangkan, tetapi aku selalu hanyut pada terpaan ombak pikiran negatif. Ketakutan akan gerak gerik Nuke di belakangku, kecemasan pada sikap dia yang supel kepada laki-laki lain, posesif, overprotektif. Iya itulah aku. Kemudian matinya akal sehatku yang menghasilkan puluhan kata-kata umpatan terlontar, sampai menembus hati Nuke yang berujung perpisahan.
—
Pukul 23.05. aku merebah sambil mendengarkan lagu yang kuputar berkali-kali. Naif, senang bersamamu. Tetiba musik berhenti, panggilan telepon masuk. Nuke. Tertegun aku melihat layar handphone. Selama ini ia membatasi aku untuk menghubunginya, bahkan sampai memblokir semua akses yang menuju ke dirinya.
“Halo!” Ucapku perlahan, bibirku gemetaran. “Halo!” Jawabnya.
101 hari yang tidak pernah aku dengar kembali, malam itu suara Nuke memecah hening.
Ritme yang dikeluarkan Nuke di telepon membingungkan. Aku menebak ia mabuk. Betul saja saat ia mengaku sedang minum alkohol seorang diri di kamar hotel. Seketika kecurigaanku mencuat. Aku mengenalnya, ia tidak mungkin melakukan itu. Apa yang sedang ia lakukan, dengan siapa ia di situ, apa tujuannya ia mabuk. Semua pertanyaan yang aku lontarkan itu membuat ia kesal dan menolak untuk menjawabnya.
“Kamu lagi di mana? Cepet kamu ke sini, aku tungguin” ucapnya. “Tunggu. Aku ke sana!” Jawab ku kemudian menutup telepon.
Aku bergegas pergi sambil melihat peta yang ia berikan. Tepat di depan taman Hang Tuah, sebuah mobil menabrakku dari samping. Hanya itu yang aku ingat sampai sekarang.
—
Hampir 1 bulan aku tidak sadarkan diri, semua kejadian diceritakan oleh kakekku. Aku dibawa ke rumah sakit oleh orang-orang yang menolongku. Tetapi semua yang aku punya, lenyap dibawa orang yang tidak bertanggung jawab. Handphone, motor dan dompet. Masih untung ada yang menghubungi keluargaku dan memberitahu kejadian tersebut.
Malam itu aku memikirkan Nuke yang pasti menungguku datang. 1 bulan berlalu aku mendapati kabar bahagia, ia mendatangi rumahku seorang diri, lalu bertanya perihal malam itu mengapa aku tidak datang. Ia pun susah menghubungiku saat itu.
“Waktu itu kamu kemana?” Tanya Nuke. “Maaf Nuke, waktu itu aku bohong, aku ngga berangkat, aku tidur”. “Terus kenapa nomor kamu ngga aktif, sampai sebulan lebih?” Tanyanya kembali. “Aku ganti nomor, maaf ya” “Bohong!” Ucapnya “Bener, Nuke. Aku ganti nomor” ucapku meyakinkan.
“Andrea. Maksud aku ke sini, aku mau ngasih ini ke kamu” sambil memberikan kertas berwarna bersampul plastik. “Undangan? Nuke, kamu mau nikah?” Tanyaku terkejut. “Iya, Andrea. Aku harap sih kamu bisa dateng ya”
Aku diam, menatap dalam bola matanya. Tatapan kami membuatku hanyut dalam kegetiran. Ia memegang pipiku sambil tersenyum. Aku meleleh, seketika aku menunduk. Aku membaca undangannya, nampak tertulis Nuke dan Wijaya, 22 Oktober 2019.
“Selamat ya, Nuke” ucapku tegar. “Iya makasih, Andrea. Aku do’ain kamu juga cepet nyusul aku, ya”. “Aamiin” jawabku sambil tersenyum memandang wajahnya kembali. “Yaudah aku pamit pulang, ya” ucapnya. Kemudian ia melenggang pergi dengan mengendarai motor Vespa matic putihnya.
—
Pukul 17.30 tanggal 21 Oktober 2019. Dalam kamar kosong. Aku sudah mengikat seseorang laki-laki di atas meja. Mulutnya tersumpal kain, tanpa busana. Ia menjerit dalam tenggorokannya. Aku membelai rambutnya dan tersenyum padanya. Ia menangis, aku ikut meratapi.
“Wijaya Putra, beruntung banget ya kamu bisa menikah dengan Nuke” ucapku.
Ia mencoba kembali berteriak, tubuhnya meronta. Makin keras teriakannya, tetapi untungnya diredam dengan bungkaman kain dari kemejanya.
Aku meraih pisau kecil yang tergeletak di ujung meja tersebut. Lihai jariku menyayat kulit dari ujung kaki sebelah kirinya dan berhenti di paha. Ia berteriak.
“Diam!” Ucapku lantang.
Dibalas dengan teriakannya kembali.
Aku berdiam diri menatapnya. Lalu aku mengambil kain yang berada di dalam mulutnya.
“Aaaarggghh bangsaaatttt. Lepasin gua anjiiiing” ucapnya sambil meronta melihat ke arah ku. “Ssstt. Jangan berisik” jawabku. “Andrea bangsaaatttt. Mati lu bajingan” ucapnya. “Ooohh kamu kenal sama aku?” Tanyaku Lalu ia tertawa.
“Hahaha gua sih kalo jadi lu sedih. Nuke itu benci sama lu, Dia sebenernya ngga mau sama lu, lu posesif, lu selalu curiga sama dia hahah kasian banget sih lu Andrea. Nuke selingkuh sama gua. Ngga tau kan lu? Hampir setahun gua jalanin sama dia. Haha dasar tolol” ucapnya.
Aku berteriak. Hampir 10 kali tikaman pisau ke perutnya yang membuat ia terdiam.
Nuke, aku tunggu di taman Hang Tuah ya sekarang.
Tulisku di pesan menggunakan handphone Wijaya.
—
Aku sudah bersiap pergi dengan ojek online. Dengan membawa plastik hitam besar. Aku menuju taman Hang Tuah. Sesampainya di sana, aku menggantungkan plastik tersebut di huruh G. Kemudian aku kembali ke kamar kosong tersebut untuk menyelesaikan tulisan ini di laptopku.
—
Nuke. Maafkan aku.
Terakhir kali kamu ke rumahku untuk memberikan surat undangan pernikahanmu, aku mengikutimu sampai kamu berhenti di sebuah rumah yang bukan rumahmu. Sampai akhirnya aku mengetahui itu adalah rumah Wijaya, Calon suamimu.
Hampir setiap hari aku mendatangi rumah tersebut. Memantau aktifitas Wijaya dari ia keluar rumah sampai masuk rumah kembali. Aku mengikutinya kemanapun. Kemanapun, Nuke.
Sampai di hari ini. 1 hari sebelum pernikahan kalian. Aku menunggu di dekat rumahnya dengan mobil yang aku sewa. Aku memukul belakang kepalanya sampai ia tidak sadarkan diri.
Nuke, semoga saat kamu datang ke taman Hang Tuah dan membuka plastik itu di huruf G, kamu tidak terkejut melihat wajah Wijaya di dalamnya. Itu adalah wajah laki-laki yang kamu cintai. Dan ketika kamu menemukan kami di kamar ini, percayalah. Aku yang tergantung lunglai ini membawa rasa cinta untukmu, Nuke.
Selesai
Cerpen Karangan: Krisna Oktaria Blog / Facebook: Krisna oktaria