Tuhan, Kumohon jangan ambil nyawaku saat ini.
Aku membuka mata dan tersadar saat berada di dalam ruangan serba putih, ICU sebuah Rumah Sakit yang sudah sangat familiar. Kutatap wajah teduh istriku yang sepertinya sudah terjaga dalam waktu sangat lama.
“Alhamdulillah. Ayah sudah sadar. Ibu panggilkan dokter, ya? ” Kupegang tangannya lebih erat. Diapun kembali duduk. Senyumnya mengembang dan matanya berbinar bahagia. “Ayah sempat pingsan saat kemarin sedang mengantri di depan ATM BRI,” lirih ucapannya Aku berusaha tersenyum sambil mengangkat kepala, sigap tangan istriku membenahi bantal sehingga aku bisa berbaring dengan nyaman dan kami bisa lebih leluasa bercengkerama.
Aku seorang pria berusia setengah abad yang betuntung, dikaruniai dua putra dan seorang putri dari pernikahanku dengan Syafitri. Putra pertamaku sudah bekerja, sebentar lagi akan berkeluarga, dia sudah memperkenalkan nama seorang gadis kepada kami. Saat kami berencana meminang gadis itu, aku kembali harus opname. Putri keduaku sebentar lagi akan lulus SMK dan putra terakhir kami masih SMP namun dia tinggal di asrama.
Sudah tiga tahun terakhir aku keluar masuk Rumah Sakit karena menderita hipertensi dan jantung koroner. Gangguan cardiovascular akibat tingginya kadar kolesterol dalam darah. Terakhir, bahkan aku harus dikonsultasikan dengan doker Internist karena hasil lab menunjukkan kadar kreatinine dalam darahku semakin tinggi.
Sekarang aku juga ditangani dua dokter specialis yang datang secara bergantian. Setelah dokter internist datang, istriku dipanggil untuk menghadap secara terpisah. Sebelum meninggalkanku seorang diri di kamar ini, Syafitri memberikan HPnya.. “Barangkali ayah ingin berbincang dengan seseorang, supaya tidak kesepian. Ibu tinggal sebentar, menghadap dr Ishaq..” sebuah kecupan mendarat di punggung tanganku. Masih dielusnya tanganku sebelum dia beranjak.
Saat aku sendiri, segala praduga memenuhi kepalaku. Jika dokter ingin berbicara secara terpisah dengan Syafitri, ini firasat buruk. Persis ketika dokter Tiyo memanggil Syafitri secara terpisah, selanjutnya aku ditangani oleh dua dokter spesialis. Dokter Tiyo dan Dr Ishaq menyambangiku secara bergantian. Kali ini, apa yang akan terjadi?
Yaa Rabb, Teringat kesalahan yang dulu pernah aku lakukan. Kebiasaan merokok, begadang atau bekerja sampai lupa makan. Juga kebiasaan mengkonsumsi jamu yang tidak dianjurkan. Akibatnya bukan hanya aku sendiri yang kini harus merasakan. Istri dan anak-anakku juga semua orang yang ada di sekitarku.
Panggilan dokter Ishaq sudah bisa kuprediksi. Saat kontrol terakhir di klinik, sempat aku dengar dokter berkulit putih itu berbincang dengan Syafitri. “Kadar kreatininnya sudah mencapai 9,3, Bu. Harus segera dilakukan tindakan hemodialisa.”
Aku pasrah waktu itu. Dan aku menerima ketika Syafitri melarangku makan di warung. Lalu dia tidak pernah memasak pepes jerohan, kesukaanku. Syafitri juga memberiku minuman herbal dari rebusan daun sukun, akar alang-alang dan daun binahong.
Aku juga pasrah dan menurut saja, setiap hari Syafitri menjemurku di bawah sinar matahari mulai jam 9 hingga jam 10 pagi. Tubuhku ada dalam balutan jas hujan sehingga keringatku bercucuran seperti air hujan. Meskipun ketika keringat mulai keluar, kurasakan gatal-gatal menjalar di seluruh tubuhku. Hal itu sungguh menyiksa. Tapi tetap kulakukan, karena Syafitri selalu ada disana mengajakku berbincang-bincang tentang kenangan masa lalu yang indah.
Bahkan aku rela ketika Syafitri berkata, “Mulai hari ini konsumsi air untuk ayah harus dibatasi, cukup diganti dengan ini saja” diletakkan sebotol air kemasan berwarna ungu yang harganya jauh diatas rata-rata, “Satu botol dalam sehari. Ikhtiar untuk kesembuhan Ayah tercinta. Dan supaya bengkak di kakinya berkurang”
Berangsur-angsur aku merasakan tubuhku kembali bugar sampai bisa kembali bekerja. Aku merasa sehat sepenuhnya. Sampai kemarin aku bertemu teman lama yang mengajakku ke warung langganan kami. Aku khilaf. Aku kalaf.
Segera kuhapus lapisan kaca yang mulai membendung di kedua mataku. Ada langkah kaki mendekati pintu. Ketika pintu terbuka, wajah istriku dengan senyumannya yang khas muncul disana. “Kata dokter kita akan segera pindah ke ruang observasi dan secepatnya bisa keluar dari rumah sakit ini.” diambilnya nampan berisi ransuman lalu duduk di hadapanku. Dia bersiap menyuapkan makanan ke mulutku. Tapi kemudian wajahnya menunduk. Tidak seperti biasanya dia menyuapi sambil terus mengajakku bicara. Pasti terjadi sesuatu. Dan kelebat kesalahan memenuhi ruang batinku. Kugenggam erat tangan Syafitri. Diletakkan nampan di meja lalu ditubrukkan tubuhnya kedadaku. Pelukannya begitu erat. Mengaburkan pandanganku. Batinku kian dipenuhi dosa yang tak bisa kuungkap padanya.
Dan hanya kepada-Mu saja Tuhan, jika boleh hamba meminta. Jangan ambil nyawaku. Aku masih ingin selalu memegang tangan wanita disampingku.
Cerpen Karangan: Ikriima Ghaniy Blog / Facebook: Asmarani Syafira