Di suatu sore yang sejuk, datang kawanan air kecil yang turun dari langit indah berwarna kemerah-merahan itu. Air-air itu turun dengan sangat sopan, tidak membuat gaduh dan tidak juga terburu-buru. Andai mereka dalam wujud manusia, mereka mirip sekali dengan sekumpulan anak kecil yang sedang berjalan sambil menundukkan badannya karena menghormati sepasang orangtua yang tengah duduk di belakang rumah saat ini. Ya, orangtua itu adalah kita, Aku dan Kamu. Sedang duduk manis di teras belakang rumah yang tidak terlalu luas ini. Menikmati harumnya tanah yang baru saja dibasahi oleh air-air kecil yang sangat sopan tadi itu.
Kita berdua duduk di kursi kayu jati antik yang kubeli beberapa tahun yang lalu, kursi itu kubeli saat kita melewati toko mebel di pasar. Waktu itu, kita sedang belanja bahan-bahan untuk membuat makan malam demi merayakan hari ulang tahunku, saat itu Kamu memandangi lama kursi ini. Katamu, kursi ini mirip dengan kursi yang ada di rumahmu sewaktu kamu masih kecil. Warnanya yang mengkilat, benar-benar berhasil membuat mata dan hatimu terpikat. Hingga beberapa hari setelah itu, Aku diam-diam membeli sepasang kursi ini. Untukmu.
Kita berdua duduk di teras belakang rumah, yang halamannya dipenuhi dengan kawanan bunga beraneka warna. Ada bunga anggrek merah jambu di bagian sudut teras ini. Mereka berbaris rapi seperti pager ayu di acara pernikahan adat Jawa. Bunganya selalu terlihat tersenyum ramah. Daun-daunnya seakan melambaikan tangan kepada siapa saja yang melihatnya. Mengajak siapapun singgah sejenak untuk menikmati indah warnanya.
Disampingnya ada sekelompok bunga kamboja. Mereka merupakan kaum minoritas disini. Sulit untuk merawat tanaman ini dan bunganya hanya mekar di waktu tertentu saja. Itulah alasan kenapa jumlahnya tidak terlalu banyak di teras yang damai ini.
Saat mekar, bunganya berwarna putih indah dengan balutan kuning merona di bagian tengahnya. Warna kuningnya selalu mengingatkanku pada sinar matahari di sekitar pukul enam pagi. Waktu dimana semangat sedang hangat-hangatnya, tak heran Kamu sering ke belakang rumah untuk memandang bunga ini setiap pagi. Mungkin itulah alasannya.
Tidak hanya itu, ada juga tanaman lidah buaya yang jadi favoritmu. Tanaman ini berada dekat dengan pintu teras. Mirip seperti security di samping gerbang pintu sekolah. Dulu, Kamu sering menggunakannya sebagai bahan kecantikan. Katamu, tanaman ini sangat cocok untuk perawatan kulit. Walau yang kutahu kalau lidah buaya ini cocoknya untuk kesehatan rambut. Tapi aku tidak pernah mendebatmu tentang masalah ini.
Aku juga bingung kenapa tanaman ini dinamakan dengan lidah buaya. “Ya karena bentuknya tajam”. Katamu waktu kita menanam bunga ini. Aku lalu berpikir kalau struktur lidah dari perdator buaya sebenarnya tidak tajam. Bentuknya sama seperti lidah pada umumnya, malah menempel pada bagian bawah rongga mulutnya. Tidak ada spesies buaya manapun yang lidahnya berbentuk seperti tanaman lidah buaya. Mungkin buaya yang orang-orang maksud bukanlah “buaya” yang sesungguhnya.
Aku memandangi rumput-rumput di belakang rumah yang sedang bermandi air gerimis itu. Kelihatannya segar jika aku ikut mandi hujan bersama mereka. Akan tetapi, mengingat kalau rambut warna hitam sudah menjadi sesuatu yang langka di kepalaku ini membuatku tersadar kalau aku akan jatuh sakit jika ikut bermandi hujan bersama mereka.
Bicara soal rumput, Kamu adalah orang paling cerewet jika aku malas memotong rumput-rumput itu. Pernah sekali saking malasnya rumput-rumput itu tumbuh semakin tinggi sampai membuat rumah kita mirip dengan rumah hantu di film-film horor, lalu akhirnya kita berdua memotongnya hingga rapi seperti sekarang ini.
Sore ini, Kita berdua tidak sendirian. Kita ditemani oleh sepasang minuman yang barusan kamu buat di dapur, ya teh hangat dan kopi panas, tentu saja, rendah gula. Kita memang memiliki keunikan yang sama, sama-sama tidak suka yang terlalu manis. Kamu pernah bilang kalau sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Karena akan membuat manusia tidak pernah merasa puas. Tapi alasan sebenarnya aku tidak suka kopi ini dibuat manis karena aku sedang meminum kopi ini disamping sumber manis paling indah di dunia. Itu Kamu.
Kamu sangat menyukai teh hangat. Lebih tepatnya teh melati. Wanginya seakan sudah menjadi ciri khas tentangmu. Hingga setiap Aku mencium bau melati di pagi hari, aku langsung tahu kalau kamu sudah bangun dan menyiapkan sarapan pagi untuk kita. Tapi minuman ini juga tidak sendirian, diantara dua cangkir kecil yang panas ini ada dua menu utama, singkong rebus dan kue bolu buatanmu. Singkong rebus ini kamu letakkan di mangkuk kecil transparan yang ada motif bunganya. Aku tidak tahu bunga apa itu, sepertinya bunga melati, karena Kamu suka dengan melati. Jumlahnya ada lima potong, satu potong baru Aku makan tapi aku kembalikan lagi karena masih panas. Kamu tertawa kecil waktu melihatku kepanasan saat makan singkong rebus ini.
Di sebelahnya ada kue bolu yang kamu buat kemarin. Jumlahnya ada tujuh lapis yang kamu potong sama besar, sangat presisi. Warnanya hijau muda dan agak kecoklatan di bagian ujungnya. Kemarin, kamu bilang kalau kamu mau bereksperimen dengan mencampurkan daun pandan supaya kuenya wangi. Tapi Aku tidak tahu apa yang terjadi, setelah kuenya matang, Aku sama sekali tidak mencium aroma daun pandan. Sepertinya eksperimen kali ini gagal. Tapi setelah Aku cicipi, rasanya juga tidak terlalu buruk. Yah setidaknya kamu sudah berusaha.
Aku lalu meminum kopi panasku sedikit. “Masih panas.” Katamu sambil berusaha memasukkan benang jahit ke ujung jarum jahit.
Saat ini, kamu sedang menjahit celana panjangku yang robek sedikit di bagian belakangnya, celana itu robek saat aku berusaha memotong rumput-rumput liar itu beberapa waktu yang lalu. Karena teledor, Aku tidak sadar kalau bagian belakang celanaku terkait dengan pagar halaman rumah hingga robek, Kamu tak hentinya tertawa saat melihat kondisiku saat itu.
Kupandangi lagi tanganmu yang sedari tadi berusaha memasukkan benang ke jarumnya dengan sedikit terbata-bata, matamu yang sudah mulai tua berusaha keras menemukan posisi lubang jarum itu, berkali-kali kamu gagal memasukkan benang itu, tapi dengan sabar kamu ulangi terus sampai kamu berhasil memasukkanya. Aku sempat khawatir kalau jarum tajam itu akan melukai tangan halusmu yang mulai keriput itu,
Tehmu sudah mulai dingin, angin juga bertiup dengan kencang, sampai menggerakkan rambutmu yang terurai di dahimu, padahal kamu sudah mengikatnya dengan kuat. Mungkin karena saking lembut dan halusnya rambutmu, membuat ikat rambut itu juga tidak tega untuk mengikat rambutmu terlalu kuat.
Angin kali ini berbeda dengan gerimis yang tadi, angin-angin ini berlari dengan terburu-buru, dan tidak sopan, seperti sekumpulan anak remaja yang lari untuk bolos sekolah. Untung saja kamu memakai jaket sweater rajut berwarna oranye favoritmu itu, kalau tidak kamu pasti mulai merasa kedinginan akibat dari hembusan angin barusan.
Aku Kembali melirikmu, kuingat Kembali masa-masa dimana kita masih muda, saat itu aku berjuang mati-matian untuk bisa mendekatimu, menunggu dan sabar sudah jadi sahabat karibku saat berusaha mendekatimu. Aku lalu membuka obrolan dengan mengingatkanmu tentang kejadian yang pernah kita alami saat masih berada di sekolah. Aku bercerita kalau dulu kamu pernah memanggilku saat jam pulang sekolah. Tepatnya di samping pohon beringin tepat di depan halaman parkir motor sekolah. Kalau tidak salah sekitar jam 12 siang.
Waktu itu Kamu mengajaku berbicara. Aku lupa topik pembahasannya, yang jelas kamu sangat antusias membahas masalah itu. Tapi aku menanggapi obrolanmu hanya dengan menundukkan kepala. Kamu lalu menegurku dengan ucapan, “Tolong lihat mataku saat aku sedang berbicara.” Ingin sekali Aku jawab perkataanmu waktu itu, “Wahai dirimu yang baik, adakah cermin di rumahmu? Kalau ada tolong bawa kemari dan tatap sendiri kedua mata indahmu itu. Karena aku tidak sanggup menahan keindahannya.” Namun tentu saja, aku urungkan.
Matamu mirip dengan langit malam yang menenangkan. Di dalam matamu seakan terkandung jutaan bintang yang sedang bersembunyi. Mereka hanya akan muncul saat bulan purnama terlahir di wajahmu. Itu adalah saat kamu tersenyum. Tidak ada langit manapun yang indahnya sebanding dengan senyumanmu. Entah langit malam maupun siang, langit timur maupun barat. Ah, cerita tentangmu selalu menjadi paragraf yang terlalu indah untuk dituliskan. Untungnya hanya aku yang bisa melihat jutaan bintang tersembunyi itu. Walau kadang aku temui beberapa dari mereka ketahuan menunjukkan diri. Kalau semua bintang itu telah muncul dari matamu. Saat itu aku tidak mampu lagi untuk melihatnya.
Saat kuceritakan hal itu, kamu malah tersipu malu sambil memukul lembut lengan kanan-ku, hampir saja tanganmu membuat teh hangatmu tumpah. Juga kopiku, tapi aku dengan sigap menahan meja agar tidak bergoyang. Wajahmu yang mulai keriput itu ternyata masih bisa memerah, persis dengan warna langit senja saat ini. Kamu lalu Kembali melanjutkan menjahit celana itu.
Ada hal yang paling tidak kumengerti di dunia ini. Setiap hal pastilah akan berubah seiring dengan berjalannya waktu.
Teh hangat yang kamu biarakan lama-lama akan menjadi teh dingin, kopi dan singkong rebus ini juga sama. Rumput-rumput yang sudah kita potong itupun juga akan tumbuh lagi menjadi rumput yang panjang. merubah suasana teras yang hangat dan damai ini menjadi dingin dan cekam. Langit merah indah sore ini sebentar lagi juga akan berubah menjadi malam dingin yang gelap. Mata indahmu yang dulu menggetarkanku, sekarang juga sudah mulai sayu dan menua.
Tapi kenapa ada satu hal yang tidak pernah berubah. “Apa?” Katamu sambil memegang cangkir kecil berisi teh yang mulai dingin itu. Kamu bersiap untuk meminumnya.
Kupandangi lagi sepasang mata yang dulu aku tidak sanggup memandangnya, tergambarkan wajah manismu waktu masih berada di sekolah. Membuatku tersadar kalau ada satu hal yang tidak akan lekang oleh waktu. Itu adalah rasaku untukmu.
Dan rasa ini, akan selalu sama.
Cerpen Karangan: Dandy Rama Blog / Facebook: Dandy Rama