Dewi Kematian Lilith adalah sesosok dewi yang ditakuti bahkan oleh para dewa lain sekalipun. Tidak ada yang berani mendekatinya, apalagi berbicara dengannya. Rumor yang beredar mengatakan bahwa ia selalu mengurung diri di alamnya, berkutat dengan hal-hal gila. Penghuni alam dewa pun sering memperbincangkan Dewi Lilith, lebih tepatnya menggosipkan dewi tersebut.
Namun semuanya berubah ketika mereka mengetahui fakta bahwa Dewi Lilith mulai mengunjungi Pohon Yggdrasil, pohon suci di mana Dewa Kehidupan Aleister berada. Mereka mulai beranggapan jika Dewi Lilith ingin membunuh Dewa Aleister, mengingat keduanya adalah sifat yang bertolak belakang.
Tak ada yang tahu, kalau kenyataannya Lilith ingin menemui Aleister hanya karena rasa cintanya. Entah sudah berapa lama ia menyimpan rasa untuk Sang Dewa Kehidupan, tetapi Aleister mencintai seluruh makhluk hidup tanpa terkecuali. Lilith ingin perhatian Aleister tertuju hanya padanya.
“Aleister,” Lilith menghampiri Aleister yang tengah bersandar di Pohon Yggdrasil. Suara Aleister terdengar samar di kepala Lilith, “Oh, Lilith. Kamu mengunjungiku lagi, terima kasih.” Lilith duduk di samping dewa itu, lalu mendekatkan wajahnya, “Aleister, ceritakan lagi tentang kisah manusia!” “Baiklah,” jawab Aleister menyanggupi.
Selama bercerita, raga Aleister yang terbalut busana putih dan cahaya memilaukan tak pernah satu kali pun berubah dari posisi awalnya. Matanya tetap terpejam seperti tidur. Ia hanya bisa berkomunikasi antar pikiran, karena untuk membuka mulut saja ia tak bisa.
“Dan keduanya berakhir bahagia… selesai,” Aleister menyudahi ceritanya.
Lilith tersenyum, “Hei, apakah kita berdua bisa menjadi seperti kekasih yang ada di kisah itu?” Sang Dewa Kehidupan menjawab, “Tidak bisa, Lilith. Jika kau dan aku tak ada, maka siapa yang akan mengurus siklus kehidupan?” “Tentu akan ada pengganti kita, para dewa baru,” ujar Lilith dengan santai. “Lagipula, memangnya kamu tak bosan hanya berdiam diri berdekade-dekade lamanya di pohon demi menjaga keseimbangan kehidupan di dunia, melindungi mereka?” “Ini merupakan tugasku. Aku tak akan bergerak dari tempat ini sebelum waktunya.” “Kamu butuh kebebasan, Aleister.” “Aku telah merelakan kebebasanku, Lilith.” Lilith mendengar kesedihan di suara Aleister, namun dewa tersebut menutupinya dengan nada yang tegar.
“Kau tahu, Aleister? Jiwa-jiwa makhluk yang telah kau besarkan, kehidupan mereka semuanya berakhir di dalamku. Kamu harusnya membenciku karena aku memakan hasil jerih payahmu.” “Aku tak bisa membencimu. Kau hanya melakukan apa yang menjadi tugasmu,” jawab Aleister. Lilith membelai surai putih sang dewa dengan hati-hati, kemudian berbisik di dekat telinganya, “Aku akan memberikanmu kebebasan. Tunggu saja, Aleister.”
Tepat setelah pertemuan itu, Lilith tak pernah mengunjunginya lagi. Sekian abad Aleister menunggu, ia tak pernah melihat sosoknya. Ingin mencari, ia tak bisa. Ingin bertanya kepada dewa-dewi lain, tetapi tak ada yang menghampiri pohonnya. Di saat itulah ia menyadari bahwa kehidupan di dunia telah mengalami perubahan. Manusia mulai mempelajari sihir tabu yang membuat makhluk hidup abadi; tak bisa mati. Siklus kehidupan berhenti, tak ada yang lahir, tak ada yang mati. Bukannya seimbang, malah menjadi stagnan.
Aleister tak tahu apa yang telah terjadi. Tiba-tiba saja ia bisa menggerakkan tubuhnya. Pohonnya pun menggugurkan daunnya, lalu tumbang perlahan. Sang dewa bangkit berdiri, menghampiri para dewa lain untuk mencari informasi. Ah, tidak. Ia harus mencari Lilith terlebih dahulu.
“Lilith, kau di mana, Lilith?!” Aleister melihat kabut gelap yang tebal dan diterjangnya kabut itu. Jika benar kabut itu adalah jalan masuk ke alam milik Lilith, maka–
“Lilith!” Betapa terkejutnya Aleister kala mendapati dewi tersebut mulai mengabur sosoknya, kakinya bahkan sudah menghilang. “Oh, Aleister…” lirih dewi berparas jelita itu. “Apa yang terjadi, kenapa tiba-tiba–?” Aleister berniat membanjirinya dengan pertanyaan, namun Lilith meraih wajahnya dengan kedua tangan, mengamati dengan seksama wajah sang dewa yang biasanya tertidur. “Aku sudah janji, ‘kan?” “Janji apa–” “Aah, lihatlah. Kamu bahkan lebih tampan dari biasanya, Aleister. Kamu juga sudah bisa bergerak bebas…” Aleister menggenggam pergelangan tangan Lilith, “Bukan ini yang kuinginkan, Lilith,” ucapnya parau. Lilith menggeleng, “Kamu membutuhkannya.”
Genggaman Aleister terlepas karena tangan dewi tersebut telah menghilang sampai ke siku. Ia pun buru-buru mendekap raganya, dan mendeklarasikan, “Aku akan ikut denganmu, hilang menjadi ketiadaan, kekosongan. Bukan apa-apa, bukan siapa-siapa. Sebab yang kuinginkan hanyalah bersamamu, Lilith.” “Aleister, jangan! Kalau kamu hilang, semua kehidupan di dunia akan terulang kembali dari awal! Semua usahaku, jerih payahku untuk memberimu kebeba–” Aleister mengeratkan dekapannya dan membelai helaian hitam milik sang dewi, lalu berkata, “Selama ini kamu memakan hasil jerih payahku, tak bolehkah sekali saja aku yang berada di posisimu?” Tanyanya sambil terkekeh. Tubuhnya sendiri juga sudah mulai menghilang. Lilith mau tak mau tertawa mendengar balasannya. Di saat yang bersamaan, ia meneteskan air mata kebahagiaan.
Mungkin inikah akhir yang terbaik?
Lilith sempat berpikir apakah mereka bisa bereinkarnasi suatu saat, bertemu kembali dan menjalin hubungan satu sama lain. Seperti kisah-kisah manusia yang sering diceritakan Aleister.
Keduanya pun menghilang bersama-sama, yang tertinggal hanyalah setetes air mata Lilith yang jatuh.
—
“Hei, lihat! Pohon ini besar sekali, seperti mengeluarkan aura-aura pohon mistik saja,” ucap seorang gadis kepada temannya. “Iya, sepertinya perjalanan kita ke sini untuk melihat pohon besar ini tidak sia-sia,” balas gadis yang lain.
“Oh, ya, kenapa waktu itu kamu tiba-tiba bilang ingin pergi ke sini, sih? Padahal bisa tunggu liburan panjang.” “Hmm, entah kenapa aku tertarik saja untuk mengunjunginya. Rasanya seperti nostalgia.” “Alasanmu terdengar agak menyeramkan.” “Ya, ya! Lupakan saja apa yang kukatakan tadi, ayo kita foto-foto!”
Kedua gadis tersebut pun menyiapkan peralatan kameranya. Ketika si gadis berambut hitam beranjak berdiri setelah mengatur kamera, tak sengaja ia menubruk seseorang yang tengah berjalan di belakangnya. “Aduh, maaf! Kau tidak apa-apa?” “Ah, aku juga salah karena tidak lihat-lihat saat berjalan, maaf.”
Gadis itu kemudian diam terpaku di hadapan lelaki yang terasa familier baginya. Sang lelaki pun juga merasakan hal yang sama.
“La, ayo sini foto!” Panggil teman gadis tersebut. “Iya, sebentar!” Ia pun bergegas menghampiri temannya, sebelum lelaki itu menggenggam tangannya. “Maaf kalau aku tidak sopan, tapi boleh aku tahu namamu? Namaku Allistor.” “Eh, um, namaku Lyla. Salam kenal. Aku harus pergi dulu, temanku memanggil!” Allistor tersenyum sembari melepaskan genggamannya, “Maaf sudah mengganggumu,” kemudian ia berbalik dan menatap pohon besar itu dengan tatapan sendu.
-End-
Cerpen Karangan: Litanisa Yang menulis cerpen “Emil” dan “Even Though We Forgot The Feelings Still Remain”
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 3 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com