Usiaku sudah genap 34 tahun. Di usiaku yang memasuki kepala tiga ini, aku baru saja belajar naik sepeda. Dengan dibantu oleh adik sepupu, aku belajar sepeda di tepi pantai. Adik sepupuku berkali-kali mengajari aku mengayuh pedal sepeda. Baginya mengajariku belajar naik sepeda ibarat seperti menyuruh kucing mengaum. Terpontal-pontal aku. Kakiku keseleo. Pinggangku pegal-pegal. Lecet semua sikut kedua kaki dan tanganku. Anak-anak yang bermain bola menertawakanku. Nelayan yang kebetulan lewat terkekeh-kekeh melihatku nyungsep bersama sepeda. Tapi aku bersyukur, di usiaku ini akhirnya aku bisa naik sepeda. Kini tinggal aku menyelesaikan pembangunan rumahku. Hingga pada akhirnya, syarat untuk menikah lengkaplah sudah.
Aku hanyalah seorang bujang lapuk lulusan SD. Negara mengakuiku sebagai pengangguran. Tidak ada yang menerima pria yang hanya berpendidikan SD sepertiku. Selama ini aku bekerja serabutan. Di toko saja, yang melamar pekerjaan bukan hanya yang lulusan SMP dan SMA, namun juga lulusan D3. Buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau hanya pada akhirnya bekerja sebagai karyawan toko? Setiap kali aku melihat lowongan pekerjaan yang terpasang di depan pintu sebuah toko, buru-buru aku membalikkan badan jika melihat sebuah kalimat “lulusan SMA atau Sederajat”. Tapi adapun syarat agar aku bisa mempersunting Dewi, terlebih dulu aku harus memiliki sebuah pekerjaan tetap. Pekerjaan tetap! Bagiku, untuk mendapatkan pekerjaan tetap tidak semudah membalik-kan tangan. Apalagi sejak aku terkena kasus pencurian cabai. Meski aku hanya ikut-ikut tapi sejak itu semua orang selalu waspada terhadapku.
Bak pepatah pucuk dicinta ulam pun tiba, akhirnya sebuah tawaran pekerjaan menghampiri nasibku. Dan aku pun menyambutnya dengan penuh suka cita. Aku ditawari untuk menjadi pemasok buku-buku ke seluruh penjuru Jawa oleh sebuah penerbit. Yang memberikan informasi tentang pekerjaan ini tidak lain adalah adik sepupuku yang bekerja sebagai teknisi genset. Katanya ada seorang direktur perusahaan penerbitan yang sedang mencari karyawan yang ulet dan pekerja keras. Dan dia tahu kalau aku memiliki dua kriteria itu kecuali ijazah SMA.
Keesokan harinya aku pun langsung menemui direktur itu dan boleh bekerja pada hari itu juga. Sejak itu aku bahagia sekali karena telah memiliki pekerjaan tetap. Yah meski pun aku hanya sebagai babu, paling tidak hidupku merasa dihargai daripada menjadi pengangguran yang selalu diwaspadai oleh orang sekampung. Sejak hari itu, akhirnya aku mempunyai pekerjaan tetap. Bahkan lebih tetap daripada matahari terbit!
Pulang dari bekerja, aku mampir terlebih dulu di pasar. Aku masuk ke dalam pasar dan menghampiri sebuah toko yang menjual gamis. Seorang perempuan datang dan membantuku untuk mencarikan gamis yang paling bagus. Setelah mencari dan memilah setelah hampir setengah jam, akhirnya aku menemukan sebuah gamis yang paling bagus. Sebuah gamis kebaya dengan bordiran melati kecil-kecil warna hijau pupus yang sewarna dengan jilbab modisnya. Perempuan manapun yang memakainya akan tampil lebih modis dan elok. Kubayangkan Dewi memakai gamis yang kubelikan itu. Dia akan lebih cantik memesona. Aura kecantikannya akan keluar dari dalam dirinya, membuat orang-orang yang melihatnya tertegun karena takjub. Dia akan seperti seorang bidadari yang turun dari kahyangan.
Baru saja aku sampai di halaman rumah, pamannya Dewi mendatangi rumahku dengan mengendarai sepeda motor bebek butut. Mengabarkan kepada keluargaku dan aku bahwa Dewi tidak pulang ke rumah sudah tiga hari ini. Padahal, tiga hari yang lalu, seperti biasanya dia berangkat kerja ke toko sembako di pasar. Sama sekali tidak ada yang aneh.
Tanpa mandi terlebih dulu, aku dan pamannya Dewi langsung mengebut mencarinya berkeliling kampung. Tapi usaha kami sia-sia. Dewi tidak dapat kutemukan. Langit yang berselimut mendung kelabu semakin menghitam. Dan angin yang bertiup kencang menyapu pepucuk dedaunan. Akhirnya mendung yang semakin berat menahan beban pun menurunkan hujan. Air yang keluar dari celah-celah mendung seakan-akan hendak tumpah untuk mewakili langit yang turut sedih atas hilangnya Dewi. Setelah berkeliling hampir Magrib, kami menemukannya di tengah pasar yang berada di kampung sebelah. Tubuhnya menggigil kedinginan. Bibirnya pucat pasi. Bajunya dan rok panjangnya lusuh. Di betisnya terdapat bekas berwarna merah seperti bekas darah. Dia duduk di bawah pohon kresen. Pandangannya kosong. Dia berubah nyadeng. Aku pun langsung mendekatinya. Mendekapnya. Lalu membawanya pulang.
Sejak kejadian itu dia membisu. Ceria di wajahnya tersapu oleh angin muson timur. Tawa di bibirnya terhempas oleh ombak di lautan. Aku telah berusaha menghiburnya tapi usahaku sia-sia. Dia sama sekali tidak berubah. Dengan kondisi calon istriku yang berubah menjadi pendiam seperti itu, tercerai-berailah rencana pernikahanku yang rencananya akan digelar pada bulan depan. Mungkinkah Tuhan telah mentakdirkan aku sebagai pria yang tidak memiliki pasangan? Aku pun meratapi nasibku sendiri yang kian malang.
Keluarga Dewi ternyata tidak putus asa. Mereka berusaha agar pernikahan kami tidak gagal dan menjadi gunjingan tetangga. Dan mereka pun menyembuhkan Dewi dengan mengetahui penyakit yang dideritanya. Berkali-kali dia dibawa ke seorang dokter, tapi dari hasil pemeriksaan dokter mendiagnosa bahwa Dewi sehat afiat. Tidak ada penyakit membahaya-kan yang mengancam hidup Dewi. Tapi nyatanya Dewi pendiam dan sering membatu. Bila diajak mengobrol dia juga tidak menjawab.
Karena tidak puas dengan hasil yang diberikan oleh dokter, keluarganya pun mendatangi seorang kiai yang katanya ahli menerawang hal-hal ghaib yang berurusan dengan jin atau setan. Menurut hasil penerawangan Kiai itu, Dewi kerasukan jin berjenis kelamin laki-laki. Jin laki-laki itu menyukai tubuh Dewi. Makanya Dewi menjadi pendiam. Memangnya dalam bangsa jin tidak ada jin perempuan sehingga jin laki-laki menyukai manusia? Atau mungkin jin tersebut kurang kerjaan? Masih tidak puas dengan hasil penerawangan Kiai, keluarganya Dewi mendatangi seorang dukun yang dikenal telah menyembuhkan ribuan pasien. Bahkan kemarin dia habis menyembuhkan seorang pasien gila dan sekarang sudah sembuh. Nyatanya Dewi tidak gila. Dia tidak mengamuk pada orang-orang maupun melemparkan benda-benda di sekitarnya. Dia seperti gila tapi tidak gila. Dia waras-waras saja. Kata si Dukun, Dewi habis kesambet setan kober. Setan itu telah menguasai tubuh Dewi. Dan untuk bisa melepaskan Dewi dari kuasa setan tersebut, maka Dewi harus dipertemukan dengan seorang laki-laki. Hah, laki-laki yang mana?
Akhirnya Ayahnya Dewi bersuara dan menceritakannya kepada aku dan keluargaku. Setelah sarapan, seperti hari-hari sebelumnya, Dewi berangkat bekerja dengan naik sepeda keranjang miliknya. Memang selama ini Dewi bekerja di sebuah toko sembako di pasar. Dengan ijazah SD yang dimilikinya dia hanya bisa bekerja dengan bantu-bantu di toko milik China itu. Di sana pulalah semula kami bertemu. Sebenarnya aku bertemu dengannya saat menonton karnaval di depan kantor balai kota. Saat itu kami saling beradu pandang dan saling jatuh cinta. Pandangan pertama yang mengesankan. Tapi entah kenapa tiba-tiba, Dewi menepikan sepedanya di bawah pohon mahoni di depan pasar, lalu dia ikut naik ke sebuah truk petugas kebersihan. Seseorang yang melihatnya Dewi ikut menumpang truk yang menuju ke kampung sebelah itu, dan pada akhirnya dia duduk tercenung dalam kondisi pakaian basah kuyup, tubuh menggigil kedinginan karena hujan dan betis yang terdapat bekas warna merah seperti darah. Dari cerita itu aku pun tahu duduk masalahnya dan aku menerima istriku menjadi orang pendiam. Aku akan tetap menikahinya meski pun dia membisu seumur hidup. Aku akan menunggunya sampai dia sembuh dan ceria seperti sedia kala.
Suatu malam Ayah duduk bersamaku di teras rumah. Menekuri masalah yang sedang kami hadapi. Dengan ditemani secangkir kopi, Ayah bercerita padaku bahwa Ayah sangat mencintai Ibu. Ayah mendampingi Ibu selama hampir lima puluh tahun. Meski di antara mereka terdapat kelebihan dan kekurangan, mereka tetap saja harmonis. Ayahku hanya seorang pedagang asongan yang menjual air mineral di dalam bus kota. Kadang Ayah menjual air mineral di stadion kota kalau ada pertandingan sepak bola. Meski pekerjaan Ayahku sebagai pedagang asongan, tapi Ibuku sangat mencintai Ayah. Bahkan beliau menemani Ayah sampai ajal memisahkan mereka berdua.
Jadi, meski pun dalam keadaan suka maupun duka, mereka tetap saling memiliki dan mencintai. Begitu pun juga dengan aku. Aku harus memiliki cinta seperti Ayah. Dalam kondisi Dewi yang seperti sekarang ini, aku harus bersabar menerimanya. Bukan hanya karena Dewi menjadi seperti “orang gila” lantas aku memutuskan untuk tidak melanjutkan pernikahan kami. Aku harus mewujudkan impianku untuk memiliki seorang istri. Aku harus mencitai Dewi seperti Ayah mencintai Ibuku. Mendengar tekadku yang berapi-api, Ayah tampak bangga terhadapku.
Kota Angin Timur, 2021
Cerpen Karangan: Khairul Azzam El Maliky Blog / Facebook: @khairulazzamelmaliiiky Novelis. Karyanya yang sudah terbit antara lain: Sang Kiai, Metamorfosa, Sang Nabi (2021). Aku, Kasih dan Kisah, Jalan Setapak Menuju Fitrah, Aku, dan Kata Selesai (Kumpulan cerpen, 2021). Dan 30 novel di Kwikku.com.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 23 September 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com