Purnama bergelayut di petala langit menghias malam. Bersama jutaan gemintang seperti lentera dalam gua yang dikelilingi kunang-kunang. Semilir angin mendepak dedaun rindang. Satu-dua daun berjatuhan ke jalan tanah tak terurus. Mungkin, sudah lama tidak ada kaki yang menapak di sini. Jalan tersebut tertutup banyak daun.
Pelan, langkah kaki terus berjalan. Hati-hati, dia yang sedari tadi berjalan kaki tak jua lelah mencari. Dia menghitung, sudah hampir tiga jam perjalanan, belum juga menemukan satu tanda. Pikirnya, mungkin purnama hari ini akan berakhir gagal seperti purnama sebelumnya.
Daun kering jatuh kehadapannya. Perasaannya mengatakan, ada yang aneh di daun itu. Segera ia melangkah cepat ke arah daun.
—
Trek! Satu ranting terkena pijakan. Sosok dibalik jubah terbangun. Dia yang di atas pohon segera turun. Matanya menerawang sekitar. Aroma manusia menusuk indra penciumnya. “Ada yang datang,” gumamnya pelan. Cepat ia menyuruh anak buahnya untuk memeriksa.
—
Ada satu kisah masyhur di kalangan penyihir, tentang bagaimana seorang penyihir mencintai manusia. Kisah itu selalu berakhir tragis merengut nyawa.
Di semenanjung Roma, terdapat aliansi rahasia yang tidak diketahui manusia. Di hutan belantara, bangunan megah berdiri dengan arsitektur kuno bangsa Romawi. Masih berdinding dan lantai kayu. Mereka menamakannya Akademi sihir yang dihuni puluhan pelajar.
Zazlina manusia yang tertarik akan ilmu sihir. Perjalanan panjangnya membawa dia ke akademi sihir. Hampir sepuluh tahun dia belajar di sana.
Bukan hanya itu, perjalanan Zazlina membawa dia bertemu dengan Tarmiel Muktah, keturunan penyihir dari negeri antah-berantah. Mereka saling mengenal, bercerita, hingga buih-buih cinta mendekap keduanya. Ini sebuah masalah besar, sudah banyak peringatan untuk mereka. Tapi, cinta adalah cinta. Selalu sempurna dengan ketidak sempurnaannya. Cinta membuat ragu jadi keyakinan yang kuat. Rela menepis badai salju, bersedia berperang dengan semua yang ada. Mereka tetap menikah. Dan ketika dikaruniai satu putra, mereka berdua menghilang.
—
Senja sudah dirajut mega pertanda malam hari telah tiba. Lampu-lampu bar milik Hugraid menyala terang. Di sebelah kanan pintu bar itu, dua obor yang bersilang mati. Tandanya tidak ada minuman yang bisa dibeli. Semuanya telah habis.
Khiim berjalan menuju pintu. Pikirnya, Hugraid lupa menyalakan lampu obor itu. Secara, malam baru saja tiba tidak mungkin minuman habis tidak tersedia.
“Hai, Hugraid,” sapa Khiim setelah membuka pintu, “Apa kabar?” “Baik. Selalu baik, Khiim,” jawab Hugraid sembari merapikan gelas-gelas bambu. “Habis?” “Kau tidak lihat? Obornya sudah mati?” “Kenapa?” “Perempuan itu memborongnya,” tunjuk Hugraid kepada seorang wanita yang duduk di meja paling pojok. Khiim mengikuti arah telunjuk Hugraid. “Astaga. Aku sangat ingin minum vodka. Mungkin aku akan memintanya satu botol.” “Jangan,” bisik Hugraid. “Kenapa?” “Kubilang jangan.” “Jangan khawatir, Hugraid.” Khiim berjalan menuju tempat wanita itu. Beberapa botol sudah berserakan di lantai.
“Hmm. Maaf, Nona. Aku sangat ingin minum. Bolehkah minta botol vodka. Atau membelinya,” kata Khiim sesampainya di hadapan wanita itu. “Ambil saja.” Wanita itu merapikan posisi duduknya tanpa melihat ke arah Khiim. Khiim sedikit heran. Bagaimana wanita ini tidak mabuk setelah meminum banyak bir. Khiim mengambil satu botol di meja. “Terima kasih.” “Ya.”
“Boleh duduk?” “Ya.” Khiim duduk berhadapan terhijab meja. Di tempatnya, Hugraid bersiap dengan segala kemungkinan. Mengumpulkan tenaga, siap merapalkan mantra. Jaga-jaga jika perempuan itu menyerang Khiim. Sorot matanya teliti memerhatikan dengan tangan saling mengepal.
“Baik. Namaku Khiim Muktah.” Khiim menyodorkan tangan. “Aku tidak punya nama,” acuh perempuan itu. “Em ….” Khiim berpikir sejenak. “Aku memanggilmu Lana.” “Kenapa harus Lana?” “Lana artinya abadi.” “Ya.” Perempuan itu meraih tangan Adam.
Hari kian berganti, keakraban mulai membalut hangat kasih hati mereka. Ada tawa bahagia berlabuh di persimpang cerita. Asa untuk hidup bersama bagai rona-rona rambut Rapunzel. Menjelma menjadi detik-detik penuh makna pindai cinta. Selalu ada puisi dalam hening malam. Suara-suara dua insan syahdu sedang meraung harapan bersama. Tanpa dimakan waktu. Tanpa memajuh usia. Tanpa disibak pisah.
Khiim telah menemukan pengisi ruang kosong dalam hati sunyinya. Terkadang, Lana bagai lantunan irama merdu lilin lebah. Nada dan irama memberi titik terang pada lilin batiknya hatinya. Lana berbeda dari perempuan lain yang pernah ia temui. Tubuh tinggi dan ramping dengan rambut dan mata cokelatnya semakin membuat berhasil menyihir kedua matanya.
Begitu pula dengan Lana. Ia serasa menemukan jiwa yang telah lama direngut semesta. Rembulan yang sempat tenggelam di wajahnya terbit kembali. Senyum itu, bisikan syair-syair semilir angin menutupi titik-titik kecil hatinya. Ditambah, Khiim tidak merasa terganggu jika dirinya seorang penyihir. Ada perasaan yang tidak biasa ketika ia di dekat Khiim.
“Kau pernah berpacaran, Lana?” Tanya Khiim pada suatu sore di tetabun sawah. “Pernah.” “Apa yang terjadi pada mantan pacarmu?” “Aku membunuhnya, Khiim.” Khiim tertawa. Hal menyeramkan akan menjelma lelucon tatkala diucapkan Lana.
Lana tidak pernah menetap selama lebih dari tiga hari di satu tempat. Berpindah. Selalu gagal dalam setiap hubungannya dengan manusia. Kecuali saat ini. Saat Khiim memasuki rongga kosong dalam hidupnya.
“Sudah lima purnama kita bersama, Lana. Kuharap akan bertahan selama purnama masih ada,” kata Khiim di suatu sore.
Hubungan Lana dengan pria lain selalu berakhir tragis. Gagal dengan kematian dari pasangannya. Tercatat, sudah lebih dari delapan pria. Lana sadar, bahaya mengancam kisah mereka. Khiim akan mati dan Lana kembali memeluk sepi.
Dunia sihir punya aturan. Jika penyihir menikah dengan manusia, itu berarti mengundang kematian untuk salah satunya. Seperti yang terjadi pada orangtua Khiim, di mana Zazlina harus rela dijemput maut. Dan Tarmiel, meninggal atas rasa sedih kepergian Zazlina.
Purnama ke-7 setelah pertemuan mereka, tepat pada pertengahan Desember, Lana secara tiba-tiba menghilang. Ia pergi tanpa pamit, dan memaksa Adam untuk melupakan enam purnama bersamanya. Dalam suratnya, Lana mengatakan jika ini adalah pilihan yang terbaik untuk mereka berdua. Sebelum petaka menimpa, lebih baik sebuah kisah berakhir lebih awal. Kasih yang singkat hanya membekaskan luka ringan. Waktu yang sebentar gampang dilupa ketimbang waktu lama. Dan Khiim, bertekad membatalkan aturan tersebut.
“Aku sudah memperingatkanmu, Khiim. Lana seorang penyihir. Jika kamu terus bersamanya, kamu akan mati,” bentak Hugraid di dalam barnya. “Bagaimana jika aku seorang yang mewarisi sihir?” tanya Khiim dengan kepala menunduk. “Tetap saja. Kamu punya darah manusia,” ujar Hugraid. “Tarmiel Muktah dan Zazlina adalah saksi dari perjanjian itu. Cinta mereka berujung maut.” Khiim menjawab pelan. “Mereka orangtuaku.” Sontak Hugraid sedikit kaget. “Jadi, kamu benar-benar mewarisi ilmu sihir?” “Ya. Aku berada di Akademi Sihir.” “Sejak kapan?” “Sebelum aku bisa mengingat.” “Baik. Aku bisa menolongmu.” “Benarkah?”
Hugraid berdiri. “Tidak ada cara untuk menghentikan kutukan tersebut. Tapi ada satu mantra terlarang yang bisa membuatmu terus berinkarnasi. Itu artinya, jika kamu mati, rohmu akan mencari wadah baru dan hidup kembali.” “Bagaimana dengan Lana?” “Itu bukan masalah. Aku tidak tahu dia berasal dari mana, tapi dia punya kutukan panjang umur.” “Ajari aku.” Khiim berdiri menghadap Hugraid. Pancaran matanya sedikit berubah. Hugraid menggeleng. “Kau harus mengambil jantung lima penyihir.” Mata Khiim memincing.
“Penyihir muara yang bisa mengendalikan ikan, cara mengalahkannya adalah memancing dia untuk naik ke darat. Omong kosong melawan dia di air. Kekuatannya bertambah dua kali.” “kemudian penyihir padang pasir. Dia punya mantra untuk membuat segel. Satu-satunya cara mengalahkan dia adalah memanggil hujan. Dan kamu diuntungkan oleh sihir ibumu.” “Kau tidak bisa menang dengan penyihir jepang. Dia melantunkan mantra berupa haiku. Kau harus membalasnya dengan syair juga. Pelajari mantra-mantra sonetta bapakmu.” “Lalu penyair topi jerami. Dia ada di sebuah tanah yang dikelilingi sawah. Hati-hati, dia bisa mengendalikan sepuluh ribu orang-orangan sawah.” “Dan yang terakhir, pengendali kelalawar. Penyihir yang buruk dan kejam. Saat akhir purnama, dia akan berada di hutan. Aku tak bisa menyebut hutan mana, tapi pasti dia di sana. Tanda-tandanya ketika banyak kelalawar berkumpul.”
Dari penjelasan Hugraid, hanya penyihir kelima yang membuat Khiim sedikit terkejut. “Apa harus penyihir kelalawar?” komentarnya. “Ya. Harus.”
—
“Sudah dekat,” gumam Khiim. Daun yang berlubang itu ternyata bekas pijakan kaki kelalawar. Khiim mulai berjalan kembali.
Satu kelalawar terbang di samping kirinya. Dia menoleh cepat. Satu lagi menyusul di arah kanan. Matanya memerhatikan. “Tidak salah lagi. Ini tempatnya.”
Puluhan kelalawar dengan bising menuju ke arahnya. Dia yang sadar akan bahaya segera menutup mata. Mengumpulkan tenaga, dan merapalkan mantra. “Grimore.” Mantra pengahalang membuat perisai sebening kaca berwarna merah menutupi tubuhnya. Segara mungkin ia mengeluarkan buku mantra dan bersiap untuk serangan berikutnya.
“Percuma saja. Tidak ada yang bisa menembus perisai ini.”
Kelalawar membuat gelombang lebih besar. Mengelilingi perisai Khiim. Mereka berkumpul di hadapan Khiim membentuk lingkaran. Kelalawar berpencar, dan, Lana muncul di sana.
“Semua mantra punya kelemahan,” kata Lana. Khiim terperanjat. “Lana?” “Kau ingin mengambil jantungku?” Lana menatapnya tajam. “Tidak.” “Reinkarnasi butuh lima jantung.” “Hugraid memberikan miliknya. Dia takut kejadian orangtuaku terulang lagi.”
Lana mulai menangis. Ternyata lelaki di hadapannya memberikan cinta yang tulus. “Lepaskan mantra penghalang itu.” “Untuk apa?” Khiim khawatir Lana memberi serangan lanjutan. “Lepaskan.” Tangis Lana menggema. Khiim mengangguk. Lana berlari ke arahnya. Memeluk erat orang yang ia cinta.
“Aku diberkahi umur panjang. Usiaku bertambah ketika memakan manusia, Sayang.” Lana menyandarkan pipinya di dada Khiim, membuatnya basah dengan air matanya.
Khiim mencium kening Lana dan mengusap rambutnya yang terurai. “Ini sudah berakhir. Ini sudah berakhir.” Bebeberapa air menetes dari matanya.
“Reinkarnasi menyakitkan, Khiim. Kau akan mati, dan aku kesepian. Kemudian kau hidup, kita bertemu dan bersama lagi. Dan terus seperti itu.” “Tentu. Tapi yang terpenting adalah kita bisa terus bersama. Jika aku mati, anggap saja kita sedang menjalani LDR.”
“Aku sangat mencintaimu, Khiim.” “Aku juga, Lana.”
Cerpen Karangan: Ams El Rumi Blog / Facebook: Ams El Rumi Santri Salafy
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 5 Januari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com