Langit-langit berubah menjadi oranye. Artinya matahari akan segera tenggelam dan malam akan datang, tapi Jeno masih setia menunggu di tepi pantai. Laki-laki itu menunggu sesuatu yang tidak pasti. Terhitung sudah lima jam lebih ia menunggu tanpa kepastian di sini. Matanya tak pernah bosan menatap lautan. Ia takut jika lengah sedikit saja gadis yang ia tunggu luput dari pandangannya.
Sebenarnya, penantian ini tidak ada gunanya. Tidak mungkin gelang itu akan langsung sampai pada Karina. Tidak mungkin juga Karina akan datang dan membahayakan diri hanya untuk menemuinya, tapi Jeno tidak ingin mematahkan harapannya. Untuk kali terakhir ia ingin bertemu dengan Karina. Setelah tahu Karina baik-baik saja, ia akan pergi dan melanjutkan hidupnya.
“Jeno!” Sebuah suara menyerukan namanya. “Sampai kapan kau akan ada di sini?” tanya seseorang yang sudah berdiri di sampingnya. Jeno mendongak dengan wajah sedihnya. “Sampai dia datang mungkin,” jawabnya singkat sebelum kembali menatap lautan. “Dia itu siapa? Kenapa kau harus menunggunya berjam-jam? Apa kakimu tidak pegal?” omel Mark—sahabat baiknya yang ikut liburan dengannya. “Sepertinya gadis itu sangat merepotkan.” Jeno melempari Mark dengan pasir. “Jangan mengatainya! Dia sama sekali tidak merepotkan! Dia itu sangat berharga karena itu aku rela menunggu selama ini.” Mark duduk di samping Jeno dengan perasaan kesal. “Kau ini setia sekali jadi laki-laki. Masih banyak gadis cantik di luar sana. Kenapa harus dia? Ada Winter yang menyukaimu selama dua tahun, kenapa tidak menerimanya saja?” “Aku menyukai gadis ini selama sepuluh tahun lebih dan itu tidak sebanding dengan perasaan Winter padaku. Lagi pula, Winter hanya aku anggap sebagai rekan kerja. Tidak ada perasaan sama sekali,” tegas Jeno. “Kenapa harus dia? Karena dia istimewa. Tidak ada gadis lain yang dapat menggantikannya.” Tanpa sadar senyum Jeno merekah saat membayangkan Karina. “Cih.” Mark berdecak. “Kalau dia tidak datang, kau mau apa?” Senyum Jeno luntur. “Menunggu sampai dia datang atau melupakannya,” jawabnya ragu. Hanya dua hal itu yang dapat ia pilih.
Melihat kesedihan di wajah Jeno membuat Mark ikut terbawa perasaan. Sepertinya, Jeno benar-benar cinta mati pada gadis ini. “Hey, Bro! Jangan memasang wajah sedih seperti itu! Semangat! Jika kalian ditakdirkan bersama, dia pasti akan datang menemuimu.” Jeno tersenyum kecil. Matanya berkaca-kaca. “Terima kasih banyak.” “Kau menangis? Cengeng sekali,” ejek Mark. Jeno tertawa tak lupa menghapus air matanya.
Bress… Hujan tiba-tiba mengguyur dengan begitu deras. Kedua laki-laki itu tersentak. Mark menarik lengan Jeno untuk berteduh, tapi Jeno malah menolak mentah-mentah.
“Apa kau ingin mati sebelum bertemu dengannya?” kesal Mark. “Tidak.” “Kalau begitu, ayo meneduh. Gadis itu tidak akan ke mana-mana, Lee Jeno.” Jeno menggeleng. “Tidak. Aku tidak bisa. Kau saja.” Karina tidak mungkin datang padanya jika ia tidak menunggu di sini. “Baik. Aku sudah memaksamu, tapi kau tidak mau. Kalau kau sakit jangan merepotkanku!” Mark berlari secepat yang ia bisa setelah itu. Jeno menatap Mark dengan tatapan geli. Laki-laki itu kembali menatap lautan mengabaikan hujan deras yang mengguyur tubuhnya.
—
Karina berdecak kesal saat hujan tiba-tiba mengguyur dengan begitu deras. Akibat hujan debit air semakin tinggi dan aliran air pun semakin deras. Sungguh merepotkan, ia jadi kesusahan berenang kalau begini caranya. Daratan masih cukup jauh lagi. Jika hujan terus mengguyur dan aliran air semakin deras ia tidak mungkin sampai tepat waktu. Namun, Karina tidak menyerah sampai di situ. Gadis itu menguatkan dirinya dan berenang sekuat yang ia bisa. Persetan dengan dengan segalanya! Ia harus menemui Jeno!
“KARINA!!” Ada yang berteriak memanggil namanya dari kejauhan. Karina menoleh, kenapa Jaemin ada di sana? Laki-laki itu mengikutinya?
“Kenapa kau bisa sampai di sini?” tanyanya kebingungan. “Aku mencarimu. Kedua orangtuamu cemas karena kau tidak kunjung pulang,” jelas laki-laki itu sambil menggenggam tangan Karina. “Ayo kita pulang. Hujan semakin deras.” Karina melepaskan genggaman tangan Jaemin. “Maaf, ada seseorang yang harus kutemui.” Jaemin menghela napasnya. “Apa itu dia?” tanyanya langsung. “Ya. Itu dia.” “Ayolah, Karina. Ini sudah sepuluh tahun. Dia tidak akan kembali. Sampai kapan kau akan terus mengharapkannya? Apa kau tidak ingat besok kita akan menikah? Apa kau mau membatalkan pernikahan kita demi laki-laki itu?”
Karina menundukkan kepalanya. “Kau benar, Jaemin. Dia tidak mungkin kembali, tapi aku menemukan … ini.” Gadis itu menunjukkan gelang yang dipungutnya tadi. “Aku memberikan gelang ini sebagai kenang-kenangan sebelum kami berpisah. Karena itu aku ingin memastikannya apa dia benar-benar ada atau tidak.” “Itu hanya gelang. Bisa jadi milik orang lain. Kau jangan terlalu mempermasalahkannya. Lebih baik kita segara pulang,” tegas Jaemin. “Ini bukan sekedar gelang, Jaemin!” bentak Karina. “Aku yang membuatnya! Kenapa kau tidak mengerti juga?! Lagi pula aku hanya ingin memastikannya. Tolong, biarkan aku pergi.” Karina terisak melampiaskan kesedihannya.
Jaemin tak tega melihat air mata itu. Mau bagaimanapun ia mencintai Karina, ia tidak ingin gadis itu terluka. “Baiklah.” Jaemin membawa Karina ke dalam dekapannya. “Aku mengizinkanmu pergi. Berjanjilah kau akan kembali.” Karina membalas pelukan Jaemin erat. “Terima kasih banyak. Aku akan kembali.”
Setelah Karina pergi, Jaemin hanya dapat menatapnya dengan sendu. Mungkin jika laki-laki itu benar-benar kembali, Karina tidak akan pernah kembali padanya. Namun, ia mengikhlaskan itu. Karina berhak bahagia. Selama ini gadis itu menderita karena merindukan manusia berengsek itu. Memang ia mencintai Karina sejak lama, tapi ia tidak bisa memaksakan perasaan yang mungkin bisa membuat Karina menderita.
—
Jeno memeluk tubuhnya erat. Rasa dingin menyerbunya membabi-buta membuat tubuhnya menggigil. Namun, ia tidak bisa pergi begitu saja. Ia harus menunggu Karina lebih lama. Ia tidak peduli dengan rasa sakit. Apa pun akan ia lakukan agar bisa bertemu dengan Karina lagi. Termasuk mati.
“Sampai kapan kau akan di sini?” “Mark?” bingung Jeno. Kepalanya mulai pusing karena berlama-lama di tengah guyuran hujan. “Kau kembali?” Mark mendecih. “Kau pikir aku tega membiarkanmu kedinginan di tengah hujan begini.” Mark memayungi Jeno, tak lupa menyerahkan jaketnya. “Pakailah.” Jeno memakai jaket itu secepat yang ia bisa. “Terima kasih, Mark.” Ia sangat bersyukur memiliki teman sebaik Mark. “Tentu dan ambillah ini.” Mark menyerahkan sebuah payung. “Semoga kau beruntung.” Setelah itu Mark meninggalkan Jeno. “Aku menyayangimu, Mark!” teriak Jeno. Mark menoleh melemparkan tatapan ganas. “Aku tidak menyayangimu, Bodoh!” Jeno tertawa renyah. Mark sangat menghiburnya. Walaupun setengah emosi, Mark tetap memedulikannya. Benar-benar sahabat baiknya.
“LEE JENO!!” Deg Suara itu? Jeno menoleh ke lautan. Tidak ada siapa-siapa di sana. Apa ia salah dengar? Rasanya tidak. Suara itu sangat dikenalnya, suara itu telah ia rindukan selama sepuluh tahun ini.
“LEE JENO!!” Jantungnya hampir lompat dari tempatnya saat matanya menangkap sebuah kepala yang muncul di permukaan, tak lama kepala itu masuk ke dalam air. Jeno melepas jaket dan melempar payungnya. Tanpa pikir panjang ia masuk ke dalam air dan berenang mendekati pemilik kepala itu.
Kemampuan berenangnya memang payah. Baru berenang beberapa saat, tubuhnya hampir tenggelam. Kalau begini, bagaimana ia bisa menghampiri Karina? Jeno merutuk dalam hati. Menyesal karena tidak memanfaatkan waktunya untuk belajar berenang.
“Kenapa kau bodoh sekali?” “Karina?” ujar Jeno tak percaya. Gadis itu ada di depannya menyangga tubuhnya agar tidak tenggelam. Ia benar. Karina yang itu. “Apa kau benar Karina atau aku yang berhalusinasi?” Jeno mencoba menyentuh wajah Karina. Saat menyentuh wajah cantik yang ada di depannya, wajah itu terasa nyata benar-benar nyata.
“Iya. Ini aku,” jawab Karina yang sudah menangis. “Kenapa kau jahat sekali!” murkanya sambil memeluk tubuh Jeno. “Maafkan aku,” ucap Jeno bergetar. “Maafkan aku.” Jeno membalas pelukan Karina. Mereka bahkan lupa jika saat ini mereka sedang berendam di dalam air yang dingin.
“Ke mana saja kau selama ini? Aku merindukanmu. Kenapa kau tidak pernah mengunjungiku selama sepuluh tahun ini? Aku selalu menunggumu tahu,” cecar Karina yang sudah menangis hebat. “Aku benar-benar minta maaf, Karina. Aku takut bertemu denganmu. Selama sepuluh tahun ini aku melarikan diri. Aku ingin menjadi lebih pantas saat bertemu denganmu. Aku ingin berada di sampingmu,” ungkap Jeno. Laki-laki itu sudah menangis deras. Hati Karina tersentuh. Gadis itu membawa Jeno ke pantai, mengabaikan dirinya yang mungkin akan terekspos. Tubuh Jeno begitu dingin. Laki-laki itu pasti tidak tahan berada di dalam air.
“Karina,” panggil Jeno saat Karina enggan menatapnya. “Apa kita bisa bersama?” tanyanya. Karina menggeleng. Jawabannya selalu sama, yaitu tidak. Mereka tidak akan pernah bisa bersama. “Jeno … kita tidak akan pernah bisa bersama. Tidak akan pernah. Kau memiliki kaki sementara aku punya ekor, bagaimana kita bisa bersama? Kau tidak bisa bernapas di dalam air, sementara aku tidak bisa hidup tanpa air. Bagaimana mungkin kita bisa bersama?” Tangisnya semakin deras. “Kita hanya bisa bertemu tanpa bisa bersama. Pertemuan singkat yang tidak bisa bertahan lama.” “Bukankah kita bisa saling berkunjung dan bertemu di tempat ini?” “Hanya itu yang dapat kita lakukan.” “Apa itu tidak cukup? Kita bisa bersama dengan cara itu? Bertemu, melepas rindu, berbincang-bincang, dan melakukan apa pun bersama.” Jeno mengatakan semuanya dengan cepat. Ia sangat cemas jika harus berpisah dengan Karina lagi.
“Jeno …,” panggil Karina lembut. Gadis itu menggenggam tangan dingin Jeno. “Harusnya aku yang yang bertanya padamu. Apakah itu cukup? Aku yakin tidak. Kau pasti ingin melakukan lebih banyak hal dengan orang yang kau cintai dan hal itu tidak bisa kau lakukan denganku. Kita berbeda. Walaupun menyakitkan, kita tidak bisa apa-apa lagi selain menerimanya.”
Jeno terisak. Laki-laki itu mendekap Karina erat. “Kumohon, jangan pergi lagi,” desisnya. “Aku sangat mencintaimu. Aku tidak siap jika harus berpisah denganmu, Karina.” “Aku pun,” balas Karina. “Aku juga mencintaimu, aku tidak ingin berpisah denganmu, tapi keadaan tidak memihak kita, Jeno. Kita tidak bisa bersama.”
Bagaimana cara membuat dua orang makhluk berbeda dunia bisa hidup bersama? Dengan sihir? Ayolah, ini bukan negeri dongeng. Tidak ada sihir yang dapat membantu mereka. Bukankah tanpa sihir ataupun keajaiban tidak akan ada yang bisa membantu mereka? Mereka butuh sihir dan keajaiban. Namun, dua hal itu tidak akan pernah ada.
“Sekarang kita harus bagaimana?” tanya Jeno setelah menenangkan diri. “Tidak mungkin berpisah begitu saja, bukan?” Karina menggeleng lantas tersenyum. “Kita bisa melakukan apa pun yang kau mau sebelum berpisah lagi.”
Mendengar kata berpisah membuat dada Jeno kembali sesak. Tidak! Ia harus berhenti menangis, ini adalah saatnya untuk membangun kebahagiaan bersama Karina. Hanya ini yang dapat mereka lakukan untuk menebus kerinduan selama sepuluh tahun ini.
Cinta tidak selalu berakhir dengan bersama. Ada kalanya cinta yang mengharukan. Membuat kita harus membuat keputusan melepaskan. Tanpa bisa bersama, cinta bisa tumbuh dengan begitu mekarnya. Memang menyakitkan. Namun, jika hanya itu yang dapat kita lakukan kita bisa apa?
Begitu pun dengan Jeno dan Karina. Walaupun takdir tidak pernah menyatukan mereka. Mereka bahagia bisa bertemu, berbahagia walaupun hanya sejenak, dan mencintai tanpa harus memiliki. Setidaknya, ada kebahagiaan yang datang. Hal itu cukup untuk menebus kepedihan karena keadaan yang tidak mengizinkan.
Cerpen Karangan: Febi Auliasari Halo, aku Febi. Mahasiswa semester dua jurusan Hukum Tata Negara. Aku suka banget nulis di Wattpad. Terkadang aku juga nulis cerpen buat ngisi waktu luang. Semua genre aku suka, terutama misteri thriller. Aku penulis romance yang enggak punya pengalaman romance sama sekali. Aku introvert, pendiam, penyendiri, dan susah bergaul. Kalian bisa mampir ke Wattpad aku di @Annelysme.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 1 Februari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com