Apa kabar dunia? Apakah masih baik-baik saja?
Nyatanya dunia yang telah ia tinggali selama dua puluh tahun ini tidak terlihat baik-baik saja. Walaupun luarnya baik, dalamnya tidak sebaik itu.
Charlotte memegang pilar yang mulai luntur catnya. Gadis itu meneliti apa yang ada di hadapannya dengan tatapan penuh kekaguman. Jika diingat-ingat sudah lama ia tidak melihat dunia. Mungkin lima tahun lebih. Semua yang dilihatnya dulu berubah.
“Bagaimana?” Charlotte menolehkan kepalanya. “Banyak yang berubah,” jawabnya sembari menggenggam sandaran kursi rodanya. Gadis itu menatap kedua kakinya. “Begitu pun dengan kakiku.” “Jangan bersedih. Kau bisa mengatasi perubahan ini.” Laki-laki yang mulanya mendorong kursi roda miliknya beralih bersimpuh di depannya. Kedua tangannya digenggam. “Tidak banyak yang berubah, Lottie. Coba kau lihat … rumah sakit masih sibuk seperti biasanya dan dirimu … masih cantik seperti dulu.”
Charlotte tertawa pelan. Miller memang selalu bisa memperbaiki perasaannya. Benar-benar sahabat sekaligus kekasih terbaik dan yang paling setia. “Thanks, Mil.” Ia melepas genggaman tangan Miller. “Apa kau bisa mengantarku ke taman yang ada di rooftop? Kudengar tamannya sangat indah dan banyak sekali pemandangan luar biasa yang dapat dilihat dari sana.” “Of course, Lottie.”
Miller kembali mendorong kursi roda Charlotte. Sepanjang jalan banyak pasien yang mencari udara segar. Ada juga petugas medis yang menyapa sembari melakukan tugas mereka. Hal lain yang tidak terlepas dari rumah sakit adalah pasien gawat darurat yang datang tiba-tiba.
Saat sampai di taman yang diimpikannya, Charlotte terpesona seketika. Benar-benar indah sesuai yang dideskripsikan perawatnya. Ada banyak bunga dan rumput-rumput yang ditanam. Ada beberapa bangku kayu dan air mancur super elegan. Ada pula pasien yang turut menghiasi taman ini. Oh, iya … tak lupa pepohonan yang berbunga dan ada yang berbuah. Pemandangan musim semi yang indah.
Charlotte mencoba mendorong kursi rodanya sendiri. Ada bunga yang sangat menarik perhatiannya. Bunga matahari yang tumbuh indah dengan kepala yang menatap matahari. Entah kapan terakhir dirinya melihat bunga matahari.
“Apa kau menyukainya?” Charlotte mengangguk. Gadis itu mencium harum dari bunga matahari itu. “Rasanya mataku kembali cerah dan tubuhku jadi segar.” Selanjutnya kesenangan tak dapat dibendung lagi. “Aku ingin mencium semua bunga yang ada di sini! Apa kau mau ikut?” Miller menggeleng. Mencium satu persatu harum bunga adalah tingkah kekanakan tentu ia tidak mau. Apalagi dirinya bukan pecinta bunga seperti Charlotte. “Daripada mencium bunga … bagaimana kalau kita melihat pemandangan di bawah sana?” “Sepertinya ide itu lebih bagus,” setuju Charlotte. “Tolong dorong aku.”
Miller tersenyum membawa Charlotte ke tepian rooftop. Ada pagar yang terpasang di tepi. Pagar yang dibuat khusus agar para pasien dapat menikmati keindahan yang tersaji. Tak lupa ada pengamanan khusus untuk mencegah pasien bunuh diri.
“Semua gedung jadi bertingkat? Dulu hanya ada beberapa,” ujar Charlotte. Gadis itu beralih menatap pemandangan lain. “Wah, lalu lintas selalu padat. Kupikir semakin maju zamannya ada cara yang efektif untuk menangani kepadatan lalu lintas. Ternyata aku salah.” “Kepadatan lalu lintas sulit diatur, Lottie,” komentar Miller. Charlotte mengangguk. “Sepertinya banyak yang aku lewatkan,” gumamnya.
Hal itu membuatnya sedih. Akibat kecelakaan lima tahun lalu dirinya koma dan terpaksa melewatkan banyak hal. Ia pun harus menerima dengan ikhlas kehilangan fungsi kakinya. Kakinya lumpuh total dan itu tidak dapat disembuhkan. Menyedihkan sekali, bukan?
“Hey! Tidak perlu bersedih. Aku ada di sini untuk menemanimu. Setelah kau sembuh aku akan membawamu keliling dunia,” hibur Miller. Charlotte tertawa miris. “Kau tahu aku tidak bisa sembuh, Mil. Aku kehilangan kedua kaki dan waktuku.” Siapa pun pasti tidak bisa menerima dengan ikhlas harus kehilangan miliknya. Apalagi anggota tubuhnya. Kakinya direbut dengan cara yang kejam dan orang yang melakukannya tidak bertanggung jawab. “Aku tidak bisa berjalan seperti dulu lagi. Aku hanya bisa duduk di atas kursi roda. Aku orang cacat yang hidup dengan bantuan orang lain.”
Air matanya perlahan jatuh. Charlotte segera menyekanya. Ini adalah air mata pertama setelah lima tahun lamanya. “Miller … terima kasih telah setia padaku. Aku sudah bangun. Ini saatnya untuk terlepas dariku. Lakukan semua keinginanmu, jangan membebani dirimu dengan merawatku. Kau bisa melakukan apa pun yang kau mau,” ujar Charlotte sungguh-sungguh seraya menatap kedua mata Miller. “Aku ingin kau bahagia dan itu tidak denganku.”
Mau tak mau Charlotte harus melepaskan Miller. Laki-laki itu berhak mendapatkan yang lebih baik darinya. Masih banyak perempuan cantik, baik, dan sehat di luar sana. Miller bisa bahagia dengan mereka, tidak dengan dirinya yang cacat.
Charlotte pikir Miller akan bahagia … ternyata tidak. Miller malah menangis di depannya. Laki-laki itu langsung memeluknya erat. “Kenapa kau bodoh sekali, Lottie! Aku tidak mungkin melepaskanmu setelah lima tahun lamanya aku menunggumu. Apa gunanya aku menunggumu jika pada akhirnya aku tidak bisa bersamamu? Dan kau bilang apa? Aku membebani diriku dengan merawatmu. Omong kosong! Aku sama sekali tidak terbebani! Aku sangat mencintaimu dan tidak akan pernah melepaskanmu. Kau pikir aku akan bahagia bersama gadis yang normal di luar sana? Tidak. Karena gadis itu bukanlah dirimu. Jadi, kumohon jangan merasa buruk seperti itu. Kau tetap Lottie-ku. Gadis yang aku cintai.”
Tangis Charlotte pecah. Bagaimana bisa ada orang sebaik ini? Ia pikir tidak ada yang akan menerimanya. Dirinya cacat. Sementara Miller masih sehat. Rasanya tidak adil, tapi hatinya bahagia karena Miller tetap ingin bersamanya. Artinya ada orang yang menerimanya apa adanya.
“Mil ….” Charlotte terisak. “Terima kasih banyak. Aku pikir … tidak ada lagi yang mau menerimaku. Aku pikir kau pun akan pergi dariku. Karena itu aku memilih melepaskanmu daripada nanti sakit hati ditinggalkan olehmu.”
“Kenapa kau bodoh sekali?! Pemikiran macam apa itu?! Aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Kecuali aku mati.” “Bagaimana kau bisa sebaik ini?” bingung Charlotte. Tangisnya semakin kencang. “Bagaimana bisa?!” Charlotte memukuli dada Miller. Miller menahan kedua tangan mungil itu. “Aku tidak baik,” akunya. Miller membebaskan tangan Charlotte lantas membersihkan sisa-sisa air mata Charlotte. “Hanya saja aku terlalu mencintaimu.”
Rasanya beruntung sekali bisa memiliki orang yang begitu tulus mencintainya. Senang sekali. Apalagi orang itu mencintaiya apa adanya. Miller siap menerima semua kekuranganya tanpa banyak berpikir. Benar-benar kekasih idaman.
Charlotte mencakup wajah Miller. “Terima kasih banyak, Mil. Aku benar-benar beruntung bisa memilikimu.” Miller menggeleng. Menggenggam tangan Charlotte yang ada di wajahnya. “Akulah yang seharusnya berterima kasih. Terima kasih karena telah bangun dari tidurmu. Aku beruntung memiliki gadis tangguh sepertimu.” Miller mengecup kening Charlotte dalam. “Aku mencintaimu.”
Charlotte melingkar tangannya di leher Miller. Memeluk laki-laki itu seerat yang dia bisa. “Aku juga mencintaimu.”
Cerpen Karangan: Febi Auliasari Halo, aku Febi. Mahasiswa semester dua jurusan Hukum Tata Negara. Aku suka banget nulis di Wattpad. Terkadang aku juga nulis cerpen buat ngisi waktu luang. Semua genre aku suka, terutama misteri thriller. Aku penulis romance yang enggak punya pengalaman romance sama sekali. Aku introvert, pendiam, penyendiri, dan susah bergaul. Kalian bisa mampir ke Wattpad aku di @Annelysme.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 3 Februari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com