Perbedaan suku dan keyakinan menjadi penghalang untuk mendapatkan restu. “Aku sudah jelaskan kepada orangtuaku, kalau perbedaan suku saja, mereka akhirnya mau menerimamu sebagai menantu, tetapi perbedaan keyakinan yang tidak dapat mereka terima”, cowokku menjelaskan setelah dia meminta restu kepada orangtuanya yang tak berhasil.
Dia seorang bersuku minang, katanya kalau cowok orang minang itu harus menikah dengan orang minang juga agar keturunannya masih meneruskan suku yang melekat di belakang nama. Berbeda dengan cewek orang minang bisa saja menikah dengan suku lain karena anaknya tetap menggunakan nama suku ibunya.
Menurutku memang unik, tetapi itulah kekayaan budaya yang harus aku hormati, tetapi kalau masalah hati, kan cinta anugerah dari Tuhan yang tidak dapat ditolak manusia? kenapa harus dihalangi oleh berbagai persoalan yang seharusnya dapat dikomunikasikan.
Apalagi di negara ini yang menganut Bhineka Tunggal Ika, perbedaan suku seharusnya tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak memberikan restu. Terkadang aku mengutuk mereka yang masih bersikukuh pada aturan itu, tetapi norma dari leluhur itu juga tidak dapat aku tipe ex dengan seketika.
Dia seorang muslim, aku menganut ajaran Yesus. Kami sering berdiskusi tentang ajaran agama kami masing-masing yang dapat aku simpulkan ajaran agama kami tidak ada yang salah, hanya cara beribadah kami yang berbeda. Tetapi perbedaan ini yang susah untuk disatukan. Kami sama-sama taat beribadah.
Dia sering mengantarkanku ke gereja pada hari Minggu sebelum kami jalan-jalan. Akupun sering mengantarkannya ke mesjid kalau tiba waktu sholat bahkan kalau bulan ramadhan, aku sering mengiriminya makanan untuk buka puasa. Semua aku lakukan karena cinta.
“Jangan kamu gadaikan Roh Kudus yang ada dalam dirimu hanya karena perasaanmu saja”, demikian nasehat orangtuaku yang juga tidak menginginkan aku untuk berpindah agama.
Kami sama-sama kebingunan untuk meyakinkan orangtua kami masing-masing tentang cinta.
“Chek in, yuk?”, tawarnya pada sore itu setelah kami sama-sama bingung untuk mendapatkan restu orangtua.
Entah kenapa aku terbuai dengan rayuannya? Mungkin karena aku seorang wanita yang selalu mengikuti perasaan dan selalu ingin membahagiakan orang lain apalagi orang yang aku cintai.
Malam itu menjadi awal dari masa kelamku, kami terbuai dengan bisikan setan sehingga perbuatan yang tidak sah itu terjadi. Semula tidak ada rasa penyesalan dan suatu kebanggaan bagiku telah mempersembahkan yang paling suci kepada orang yang sangat aku cintai.
“Aku berharap setelah ini kamu hamil, dan mau tidak mau mereka akan merestui hubungan kita”, kata cowokku. Ternyata dia sudah menyusun siasat untuk mendapatkan restu walau dengan cara yang tidak dapat dibenarkan.
Perbuatan illegal itu seperti candu, sejak itu kami sering melakukannya. Sampai suatu saat kami sepakat untuk mengungkapkan kegiatan ini kepada orangtua agar mereka dapat merestui kami.
“Keluar kamu dari sini selamanya”, demikianlah murka ayahnya ketika kami sama-sama meminta restu. Bukan solusi yang kami dapati tetapi caci maki dan kamipun diusir. Dia sendiri tidak lagi diakui.
Hebatnya cowokku, walau kehilangan keluarga besarnya, dia masih memilihku. Dan kamipun menghadap orangtuaku dengan harapan yang sama. Kalaupun nantinya kami diusir, kami akan kimp*i lari, demikianlah tekad kami berdua.
“Keluar kamu, jangan pernah dekati anak saya lagi”, ucapan yang sama tetapi berbeda belakangnya dari ayahku. Dia diusir dari rumahku, sedangkan aku langsung dipingit.
Selang beberapa hari setelah itu, akupun dilamar oleh orang pilihan orangtuaku. Dengan terpaksa aku harus menerima. Walau aku tidak mencintainya, setidaknya kalau tidak dapat membahagiakan orang yang aku cintai, biar aku membahagiakan ayahku.
18 tahun waktu berlalu. Entah kenapa hatiku ingin mengajak diri ini bertamsya di kota yang dulu pernah menjadi kenangan indah. Sekalian aku memesan kamar di hotel yang dulu menjadi tempat favorit untuk melakukan perbuatan asusila.
“Mba, kamar no 305 kosong gak?” tanyaku kepada resepsionist. “Maaf Bu, kamar itu tidak disewakan”, jawabnya. “Kenapa Mba?”, tanyaku penasaran. “Kami tidak tahu Bu, mungkin bisa bertanya ke manajemen”, katanya.
Akupun mencoba mencari manajemen hotel itu. “Maaf Pak, apakah saya boleh sewa kamar 305?”, tanyaku. “Maaf Bu, kamar tersebut tidak disewakan”, jawabnya. “Kanapa Pak?” tanyaku lagi. “Seseorang telah reserve kamar itu menjadi private room dan hanya dia yang bisa menginap disana”, katanya. “Boleh tahu, siapa namanya?” tanyaku penasaran. “Mohon maaf, Bu. Itu privasi, kami tidak dapat memberitahukan”, jawabnya.
Akhirnya aku memesan kamar yang dekat dengan kamar itu. Sengaja melawati kamar yang menjadi kenangan tersebut. Aku baca di pintu terdapat tulisan “Private Room”.
Semalaman aku tidak bisa tidur nyenyak karena kenangan masa lalu selalu terpampang dalam ingatanku. Dulu aku dan cowokku melakukan kegiatan yang tidak pantas di kamar itu hanya untuk mencari solusi agar hubungan kami direstui ternyata pada akhirnya hubungan kamipun kandas. Kami sempat sekamar tapi aku tidak pernah dilamar.
Malam itu aku mendengar kamar tersebut ada yang membuka, aku mencoba mengintip tapi tidak ada orang yang aku lihat. Semakin aku tidak bisa tidur dan ditambah pikiranku mengarah kepada yang mistis seperti menjadi horror.
Paginya aku sarapan, setelah sarapan mencoba mencari udara segar. Tidak aku sangka kursi yang dulu sering aku duduki masih utuh di taman itu. Aku pun duduk disana dengan membayangkan dia ada disisiku saat ini. Aku mulai berfantasi dengan kenangan-kenangan indah.
“Selamat pagi, Bu!”, seorang petugas hotel menyapaku. “Selamat pagi, Pak!”, balasku. “Mohon maaf Bu, apakah berkenan pindah ke kursi yang lain?”, tawarnya. “Emang kenapa saya tidak boleh disini?”, protesku. “Mohon maaf, kursi ini sudah direservasi oleh orang lain”, jawabnya. “Hotel ini kok aneh? semua pengunjung kan memiliki hak yang sama, Pak?”, aku menolak.
Aku mendengar seseorang memarahi petugas itu. Dia meminta untuk memasang tulisan reservasi di kursi tersebut agar tidak ada yang duduk disana. Aku tidak tahu siapa yang begitu sombong tersebut.
Esok harinya, aku kembali ke kursi itu, ternyata memang benar ada tulisan reservasi. Aku tidak peduli, langsung aku duduki kursi tersebut. Dan kembali aku diusir oleh petugas tersebut dan tetap aku bersikeras untuk duduk.
“Selamat pagi, Bu!”, seseorang menyapaku dengan sedikit nada keras dari arah belakang. Karena nadanya tidak bersahabat, aku juga tidak mau menoleh dan enggan untuk membalas sapaannya. “Maaf Bu, kursi ini sudah direservasi, mohon maaf, ibu bisa mencari kursi lainnya”, katanya agak sedikit sopan. Akupun tidak mau menoleh. “Maaf, Pak. Silakan Bapak cari kursi yang lain, saya juga punya hak duduk disini’, jawabku dengan ketus.
Tiba-tiba dia melangkah ke depanku dan alagkah kagetnya aku, ternyata dia adalah cowokku yang dulu. Entah kenapa aku begitu lancang langsung memeluknya dan dia menepis pelukanku.
“Maaf Bu, Ibu siapa?” dia membentakku. “Maaf Pak, kalau saya lancang, saya sangka Bapak adalah pacar saya yang dulu duduk bersama saya disini”, jawabku sambil mengurai air mata dan karena malu aku langsung berlari ke kamarku. “ireeen,…”, dia memanggil namaku. Tapi aku sudah terlanjur malu dan terus berlari ke kamar.
“Tok-Tok,..” pintu kamarku di gedor seseorang. Aku tidak menghiraukannya karena aku sedang sesak dengan tangisku. Aku hanya kecewa dia melupakanku. “Ireen, aku mohon maaf, mohon buka pintu!”, akhirnya aku mendengar suaranya. Orang yang aku tunggu selama ini. Tapi karena aku masih belum mampu mengendalikan emosi, aku tidak mau membukakan pintu. “Baiklah, kalau kamu masih marah, aku maklum. Kalau sudah tidak marah lagi aku tunggu di kamar 305”, katanya.
Entah kenapa hatiku luluh mendengar nomor kamar 305. Setelah bisa mengendalikan emosi, aku coba beranikan diri ke kamar 305.
“Tok-tok”, aku mengetuk pintu itu. Dia membuka pintu dan langsung memelukku. Aku ingin menepisnya seperti tadi dia menepisku di taman tetapi hatiku tidak kuasa mendengar tangisnya dan akupun berurai air mata. Kami saling melepaskan rindu. Dan entah siapa yang memulai perbuatan hina itu kembali terjadi.
Banyak cerita yang ia ungkapkan, hingga saat ini dia mengaku tidak pernah memilih wanita lain untuk mendampinginya. Ia yang membeli kamar ini hanya untuk mengenang masa lalu. Dan dia selalu berharap kejadian ini.
Akupun bercerita tentang masalah keluargaku. Ternyata pria yang dijodohkan untukku bukan lelaki yang baik. Dia seorang bandar nark*ba dan sudah meninggal dunia karena overdosis. Entah karena bunuh diri atau apapun alasannya, yang jelas dia mati sebelum dijebloskan ke penjara. Dan terjadi dua tahun yang lalu.
Sore harinya, kami duduk di kursi yang sempat menjadi sengketa itu. Dia sengaja mengabadikan dengan tujuan menantiku. “Maafin aku, aku tidak tahu kamu yang duduk disini tadi pagi”, katanya. “Aku juga tidak mengira kamu melakukan ide gila ini sampai membeli kamar dan kursi ini’, kataku sambil menikmati pelukannya. “Gimana aku tahu, sekarang kamu berjilbab”, katanya.
Aku bercerita, setelah suamiku meninggal, anakku menjadi mualaf. Ia ingin hidup dengan jalan yang benar karena selama ini ayahnya tidak pernah mengajarinya tentang agama dan aku mengikuti anakku sehingga aku sekarang sudah menjadi muslimah.
“Maukah engkau menikah denganku?”, pertanyaan yang mengejutkanku sambil dia menyerahkan seutas cincin pernikahan. Aku tidak menjawabnya dan hanya memeluknya sembari menganggukkan kepala.
Kamipun menikah dan hidup dengan bahagia. Aku percaya Tuhan tidak pernah salah memberi cinta.
Cerpen Karangan: Riyandi Mallay