Juno dan Parmin bersahabat sejak kecil. Mereka berasal dari desa yang sama, desa Sukasapi di daerah Madura. Sampai SMA mereka sekolah di sekolah yang sama. Persahabatan diantara mereka demikian dekatnya, bahkan bagai saudara. Ketika dewasa, takdirnya berbeda. Juno sukses sebagai blantik, juragan sapi, sementara Parmin hanya sebagai preman desa. Keduanya terpikat pada gadis yang sama, kembang desa Sukasapi, Ginah namanya. Namun Parmin yang berhasil memperistri Ginah. Melamarnya pakai ancaman terhadap bapaknya Ginah. Dengan terpaksa lamaran Parmin diterimanya. Padahal Ginah penginnya kawin sama Juno yang jelas-jelas jadi juragan sapi.
“Juno, pinjam uangnya, 200 juta saja, untuk modal sepuluh sapi. Nanti habis hari raya kurban aku kembalikan berikut bunganya,” pinta Parmin. “Begini saja Min, kamu tinggal ambil 10 sapi saya seharga 200 ratus juta, nanti setelah hari raya kurban, kamu kembalikan 205 juta, setuju?” “Baik, setuju Juno.”
Terbayang keuntungan yang akan diperolehnya. Kalau satu sapi untung 2 juta, maka akan diperoleh keuntungan Rp.20 juta. Untuk Juno Rp. 5 juta, masih untung Rp. 15 juta. Parmin tersenyum. Gigi yang warnanya putih kusam kekuningan di pamerkannya. Entah kepada siapa. Terbayang kalung dan anting emas yang selalu dijanjikan kepada Ginah. Ya…, sejak perkawinannya 5 bulan yang lalu, Parmin sudah berjanji akan memenuhi permintaan Ginah setelah lebaran kurban.
Namun nasib tidak berpihak kepadanya. Satu minggu sebelum hari raya kurban, sapi yang akan dijualnya hilang. Sapi sudah disembelih di halaman belakang. Hanya bekas-bekas darah yang masih terlihat. Parmin lemas, tulang-tulangnya copot.
Lebaran kurban berlalu, tanpa satu ekor pun sapi yang dijualnya. Hutang Rp. 205 juta rupiah terbayang. Jumlah yang tidak sedikit yang harus dilunasinya segera. Parmin bingung memikirkannya.
“Min, sesuai janjimu, aku akan mengambil uangku berikut bunganya.” “Tapii…, Juno, aku kena musibah, sapiku dicuri orang.” “Yaa…, itu bukan urusanku. Kalau tidak dilunasi akan kupanggilkan polisi.” “Juno, beri waktu satu bulan.” “Atau begini saja. Hutang akan aku anggap lunas jika Ginah menjadi istriku. Bagaimana?” “Apa kau bilang!” Badik yang selalu terselip di pinggangnya, ditusukannya ke dada Juno. Darah keluar dengan derasnya. Juno tersungkur. Parmin menjadi buronan.
Sebagai buronon memang tidak mengenakan. Di kampungnya, wajah Parmin telah dipasang di berbagai tempat: di kantor desa, masjid, sekolahan, pasar dan bahkan di tembok-tembok rumah yang mudah dilihat orang.
Parmin curiga kepada setiap kepada setiap orang yang dijumpai. Laki-laki atau perempuan, pikirannya selalu polisi, intel. Kalau ke rumah, dilakukan pada malam hari. Itupun melalui pintu belakang. Memang di belakang rumah Parmin masih berupa kebun yang cukup rimbun banyak pepohonan dan semak belukarnya.
Untuk mengelabui polisi, Parmin selalu mengenakan kacamata hitam, topi dan rambut palsu. Di rumahnya, tersedia berbagai model rambut palsu: keriting, panjang, putih, campuran hitam dan putih. Juga tersedia berbagai kumis dan jambang palsu serta kacamata hitam.
“Took, took, took.” “Took, took, took.” Dengan kesadaran yang selalu dijaga, Parmin bergegas ke belakang, lalu bersembunyi di tempat yang telah disiapkan. Ginah, istri yang baru saja digaulinya kaget dan penuh ketakutan mendengar ketokan pintu yang demikian keras.
“Parmin! Buka pintunya! Kamu telah dikepung!” Kami polisi. “Saya hitung sampai tiga. Satuu! Duaa! Tigaa!” “Dhar…, dhar…, dhar….” Tendangan polisi yang memakai jungle boots disertai hawa amarah membuat pintu tripleks bekas ambrol, terpental beberapa meter, tergeletak tidak berdaya. Rumah terbuka.
“Hai, Parmin, menyerah! Rumah ini sudah dikepung. Tiga polisi masuk ke rumah. Mereka hanya mendapati Ginah di kamar tidur. “Hai! Dimana engkau sembunyikan Parmin!” teriak polisi. “Hai! Engkau tuli, yaa! Dimana suamimu, engkau sembunyikan!” kembali teriak salah satu polisi lainnya. “Di luar.” Ginah menunjuk pintu belakang yang terbuka.
Ketiga polisi menuju pintu belakang, melongoknya. Gelap gulita menutupi pandangannya. Senter di arahkannya ke belakang. Hanya, pepohonan dan semak belukar yang terteranginya.
Ginah sangat ketakutan, wajahnya pucat. Tubuhnya hanya ditutupi jarit lusuh. Meski demikian, raut wajahnya masih menunjukkan kecantikannya. Tangannya memegang erat jarit yang tidak mampu menutupi seluruh tubuhnya. Sebagian tubuh mulusnya menyembul. Ketiga pasang mata polisi, menatapnya dengan liar. Sinar lampu 5 watt tidak berdaya menggelapkan kamar tidurnya.
“Hai, Jono, ada makanan niih. Bagaimana kalau kita makan bersama,” kata Prakosa, komandannya. “Ampuuun, Pak! Ampuun, jangan!” “Haaa, haaa, haaa, tidak dapat Parmin, dapat istrinya. Nggak apa-apa. Cepat atau lambat Parmin juga akan ketangkap.”
“Hai Parmin, jika tidak segera menyerah, Ginah yang akan kutangkap!” teriaknya. “Haaa, haaa, haaa!” Pak komandan, begitu gembirannya.
“Parmin, saya hitung sampai tiga, jika tidak menyerah, jangan salahkan kami.” “Satuu! Duaa! Tigaa! Waktumu habis Parmin. Sekarang waktunya kami.” “Jono dan Joni, kamu jaga di luar.”
Parmin yang bersembunyi, tidak bisa berbuat apa-apa. Kalau keluar, ketangkap. Ginah tetap diperk*sa juga. Mending tetap bertahan, suatu saat bisa melakukan perhitungan dengan polisi yang memperk*sa istrinya.
Setan telah merasuki hati ketiga oknum polisi. “Ampuuun, Pak, ampuun!” Ginah masih minta belas kasihan kepada komandan yang telah membuka celananya. Ginah hanya merintih kesakitan ketika ketiga oknum polisi melakukan pemerk*saan secara bergilir. Pada pemerk*saan orang ketiga, Ginah pingsan.
Mendengar rintihan istrinya, Parmin tidak bisa berbuat apa-apa. Hatinya bagai diiris sembilu, sangat pedih. Ketiga wajah pemerk*sa telah di dipotretnya, disimpan dalam memori otaknya. “Suatu saat, engkau akan merasakan tajamnya badikku.”
Ketiga oknum polisi sangat puas. “Jono dan Joni, beberapa hari lagi kita kejar Parmin di rumah ini lagi, ” sekarang kita kembali ke markas.
Menjelang pagi, Ginah baru siuman. Parmin memberikan segelas air putih hangat. Dipeluknya Ginah. “Ginah, ma’afkan Abang.” “Bang…, lupakan kalung dan anting. Bunuh ketiga pemerk*sa itu. Ginah mau keramas darah mereka.” “Baik Ginah, Abang janji. Abang sudah hafal wajah ketiganya.” Kini, Parmin menjadi burunon dan sekaligus pemburu.
Polres geger ketika salah satu anggotanya, Jono, meninggal di depan rumahnya. Di dadanya terdapat tikaman badik beberapa kali. Satu minggu berikutnya, kepolisian kembali geger. Kali ini yang meninggal Joni. Saat itu, Joni baru keluar dari tempat hiburan malam, seseorang mendatangi dan langsung menancapkan badik di jantungnya. Penjagaan diperketat.
Berdasarkan analisa sementara, patut diduga Parminlah pembunuhnya, mengingat kedua anggota polisi tersebut adalah pemburu Parmin. Prakosa begitu marahnya. Matanya merah, mendelik. Kedua anak buahnya mati, di tangan buronan. Kepada Pak Kapolres, Prakosa minta dua polisi untuk menggantikan anak buahnya dan akan segera melakukan perburuan lagi terhadap Parmin.
Kala itu, kantor kepolisian sangat ramai. Ada upacara bendera, memperingati Hari Bhayangkara dan pemberian penghargaan kepada anggota polisi yang telah berjasa. Di sebelah tempat upacara, ada lapangan yang tidak terlalu luas, ramai pengunjung karena adanya bazar dan pembagian sembako. Juga, ada pameran hasil-hasil kerajinan dari mantan napi yang terselenggara berkat kerjasama dengan lembaga pemasyarakatan.
Kerajinan batu akik cukup menarik pengunjung laki-laki. Batu-batuan warna-warni telah digosoknya, diberi cangkang: batu bacan, bio solar, kalimaya, black opal, badar besi, ruby merah delima, batu akik kecubung dan masih banyak lagi. Mengkilap, memberikan keindahan bagi penggemarnya. Beberapa batuan malahan seperti memancarkan sinar. Konon, beberapa batuan dapat memberikan efek magis bagi pemakainya.
Sambil berjongkok, Prakosa berbaur dengan peminat batu lainnya. Batu ruby merah delima sangat menarik hatinya. Sangat indah. Harganya, bervariasi antara 250 ribu sampai 750 ribu. Dipandanginya, dicobanya, dilepaskan lagi. Beberapa kali dicoba, dilihat dilepas kembali. Namun, 750 ribu masih mahal untuk ukurannya.
Tanpa disadari, seseorang mendekati dari belakang. “Blees,” badik runcing dan tajam menancap dibagian belakang dan menembus jantungnya. Prakosa, tersungkur. Darah mengalir dengan derasnya dari tubuhnya. Badik masih menancap di punggungnya. “Door, door, door,” tiga tembakan menembus dada orang yang menikam Prakosa. Darahpun mengalir dari tubuhnya.
Tidak terlalu jauh, sepasang laki-laki dan perempuan wajahnya tersenyum. Puas. Mereka baru saja menyaksikan suatu drama nyata di halaman kantor polisi. Tersungkurnya polisi dengan badik yang masih menancap di punggung dan tersungkurnya Parmin dengan tiga peluru menembus dada. Darah segar menggenangi keduanya. Pertujukan pun berakhir.
“Terima kasih Bang Parmin, ketiga pemerk*saku telah mati semua. Jangan khawatir, jasadmu akan kutanam di sebelah rumah, nanti akan kuberi tulisan pahlawanku,” kata perempuan.
Hilangnya sapi atas ide dari laki-laki yang berdiri di sebelah perempuan. Kalah dalam memperebutkan kembang desa tidak bisa diterimanya. Pencuriannya didukung penuh oleh perempuan di sebelahnya. Sejak awal, perempuan itu, memang tidak suka kepada preman yang tidak mampu membelikan kalung dan sepasang anting. Konspirasi yang nyaris sempurna. Laki-lakinya hampir mati karena tusukan badik Parmin, perempuannya hampir mati pula karena diperk*sa oknum tiga polisi.
“Sebelum pulang, kita mampir di toko emas untuk beli kalung dan sepasang anting.” Kata perempuan. Mereka berjalan bergandengan tangan meninggalkan kantor polisi menuju toko perhiasan. Begitu bahagianya mereka berdua.
Kebun Raya Residence BOGOR 15 Juni 2021
Cerpen Karangan: Bambang Winarto Blog: Blog Bambang Winarto BAMBANG WINARTO (mBang Win) dilahirkan di Magelang 15 Juni 1954. Setelah lulus dari SMA Kendal, mengikuti pendidikan di Fahutan- IPB (1974-1978). Bekerja sebagai ASN di Kementerian Kehutanan sampai purna tugas (1979-2010). Memperoleh gelar Magister MM di UGM tahun 1993, dengan predikat lulusan terbaik. Ia aktif menulis berbagai artikel tentang kehutanan di majalah kehutanan. Saat ini sedang menekuni penulisan Cerita Pendek.. PENCURI RAGA PERAWAN dan PITA PUTIH DI POHON PINUS, di WEB CERPENMU masuk nominasi 1 dan 15 cerpen terbaik bulan April 2022. Alamat: Kebun Raya Residence F-23 Ciomas, BOGOR, Email: bambang.winarto54[-at-]gmail.com ;
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 13 Mei 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com