Kukenal dia ketika masa orientasi siswa atau biasa disingkat MOS. Dia adalah siswa pertama yang bicara kepadaku ketika aku kebingungan mencari barisan kelompokku.
“Sini, kamu satu kelompok denganku!” katanya pelan takut ditegur kakak panitia OSIS yang galak-galak. Kan kalo udah baris enggak boleh ngomong? “Iya,” kataku hampir tak terdengar lalu baris di belakangnya.
Sebentar kemudian pembina OSIS dan pengikutnya datang ke lapangan. Oh ya, para kakak-kakak panitia OSIS itulah yang kusebut pengikutnya. Aku enggak suka sama mereka yang sok pintar, sok disiplin, sok caper dan sok-sok lainnya. Sebel banget sama mereka.
Acara pembukaan MOS segera dimulai. Kulihat kakak yang disebut ketua OSIS mengambil tempat di tengah barisan. Aku tahu ia pasti yang jadi pemimpin upacaranya. Dan benar saja sebentar kemudian para petugas upacara yang beseragam khusus putih-putih dengan kain selempang bertuliskan “Petugas Upacara”. “Siaaaap grak!” suaranya berat seperti tentara. Semua peserta upacara mengambil sikap sempurna. Tak ada gerakan dan suara. Aku kagum dengan para siswa di sekolah ini yang bisa baris rapi, tertib, dan disiplin seperti tentara saja. Satu demi satu rangkaian upacara pembukaan MOS telah dilaksanakan. Kulihat cukup banyak siswa kelas 8 dan 9 yang jatuh pingsan. Mungkin tidak sarapan. Begitu pula temanku kelas 7 baru ada yang semaput.
Usai upacara siswa baru masuk ke kelas sementara masing-masing dengan didampingi kakak-kakak OSIS tadi. Kembali aku merasa sebel kalau sudah yang begini. Aku lebih suka diajar gurunya langsung, lebih enak daripada para OSIS yang sok-sokan itu.
“Kenalkan namaku Steve…” katanya. “Austin…” tanpa sadar aku melanjutkannya. “Nah rupanya ada yang tahu riwayat namaku,” “Ayo, kamu kenalkan dirimu dan ceritakan yang kau katakan tadi!” sambungnya. “Baik Kak,” jawabku sambil maju.
“Namaku Nissac. Lahir di kota Malang. Aku tadi secara refleks menyebut Austin ketika kakak menyebut Steve. Dulu ada film yang berjudul Bionic Women, tokohnya namanya Jemmie. Kemudian ada manusia robot yang laki-laki namanya Steve Austin. Ia memerankan tokoh film the Six Mllion Dollar Man. Keduanya manusia setengah robot yang punya skill tinggi yaitu kecepatan dan kekuatan. Keduanya adalah agen pemberantas kejahatan. “Beri aplaus…” potong Steve. Semua bertepuk tangan memberi aplaus untukku. Aku kembali ke tempat dudukku dengan perasaan berkecamuk di dadaku. Lalu guru masuk dan Kakak Steve undur diri kembali ke posnya di ruang OSIS.
Saat istirahat aku mencari sosok yang pertama bicara denganku di lapangan tadi. Kuingat-ingat dia memakai seragam atasan putih lengan panjang dan bawahan celana hijau panjang. Aku yakin ia berasal dari MTs atau SMPI. Karena tak tahu namanya, cukup lama mencarinya. Di kantin tak ada, UKS tak ada, kelas-kelas juga tak ada. Kulihat jam tanganku. Istirahat tinggal 5 menit lagi. Aku putuskan masuk kelas saja. Mungkin ia sudah di kelas.
Tak terasa MOS hari ini berakhir. Bel pulang telah berbunyi. Aku bergegas menuju pintu gerbang sekolah mencari mamaku yang menjemputku. Hari pertama sekolah harus diantar orangtua. Namun belum tampak mamaku di deretan para ortu yang menjemput anaknya. Anak-anak yang bergerombol di sekitar pintu gerbang satu-satu sudah dijemput orangtuanya. “Apa mama lupa ya?” pikirku dalam hati.
“Hai, belum dijemput?” kata anak kucari hari ini. “Belum,” jawabku pendek sambil mengamati jalan raya barangkali mamaku datang. “Aku David, kamu siapa?” tanyanya tanpa mengulurkan tangan. “Dinda.” “Bareng sama aku saja kalau enggak dijemput,” katanya. Dan sebentar kemudian sebuah mobil pick up berhenti tepat di depan kami. “Ayo…” ajaknya. Dia sudah masuk sementara pintu masih terbuka menunggu aku. Entahlah, aku akhirnya turut nunut dia.
“Rumahmu di mana Din?” tanyanya ketika mobil sudah berjalan. “Jalan Ciliwung,” jawabku. “Aku jalan Bantaran. Kita searah kan?” ujarnya. “Iya,” jawabku.
Sepuluh menit berikutnya aku sudah sampai di depan rumah. “Terima kasih ya?” kataku sambil melambaikan tangan. Mobil itu semakin menjauh sementara aku buka pagar rumah dan masuk. “Mamamu sakit,” kata nenek yang membukakan pintu ketika kuucap salam. Aku segera menuju kamar mama. Mama terbaring. “Kenapa Ma?” “Maaf, vertigo mama tiba-tiba kambuh, makanya gak bisa jemput kamu,” jawab mama. “Tadi ada yang kasih tumpangan Ma,” kataku. “Besok naik angkot saja,” kata Mama. “Baik Ma…”
MOS hari kedua bagiku tidak menarik. Aku memang tidak suka semua hal yang berbau perpeloncoan. Aku tidak suka “ngerjain” orang meski itu cuma bercanda.
“Ayo ke kantin,” kata David sambil menarik tanganku. Tiba-tiba saja ia sok akrab denganku. Aneh aku menurut saja. Kami jalan ke kantin dan kurasakan banyak pasang mata memandangi kami. “Nice couple,” kudengar bisik-bisik mereka. Aku cuek saja. Dalam hati aku GR juga. Mungkin kami memang pasangan serasi seumpama pacaran. Aku cantik dan David handsome. Pas. Serasi.
Sesampai di kantin David menyuruhku duduk di kursi dan ia yang memesan makanan. “Makan ya? Kamu kan tidak sarapan tadi,” katanya sambil duduk. Aku terdiam dan heran kok tahu dia bahwa aku tak sarapan pagi ini.
Tak lama kemudian dua mangkuk nasi soto sudah datang. “Nanti pulangnya bareng aku saja, tak usah naik angkot,” kata David sambil meletakkan mangkuknya yang sudah kosong dan meraih gelas es jeruk yang sudah di meja. Diminumnya es itu sampai tinggal separoh. Sekali lagi aku heran kok tahu kalo hari ini aku akan pulang naik angkot. Setelah makanan dan minuman berpindah ke perut, David membayarnya. “Ini uangnya,” kataku. “Gak usah… yang ngajak yang bayarin. Ingat itu,” katanya sambil terkekeh menampakkan baris giginya yang rapi.
Sorenya ia ngechat aku. Aku juga heran kok tahu nomor ponselku. David: Lagi ngapain? Dinda: Nggak ngapain-ngapain David: Besok disuruh bawa apa? Dinda: Novel David: Sudah punya? Dinda: Sudah. Kamu? David: Belum Dinda: g usah beli. Aku punya 2 David: Maksudku, nanti malam ayo ke Gramadia Dinda: Baiklah… David: Aku jemput jam setengah tujuh ya? Dinda: Oke see you..
Lepas salat magrib aku menunggu di teras rumah. Sambil duduk main ponsel mataku tak lepas dari jalan raya. Rumahku hanya sekitar 50 meter dari tepi jalan Ciliwung. Kulirik jam tanganku. Sudah pukul 6.25 dan lima menit kemudian sebuah pick up berhenti tepat di depan pagar rumahku. Aku pamit ke mamaku. “Lho… kamu bawa sendiri?” “Emangnya gak boleh?” “Kan belum punya SIM?” “Kamu kayak polisi saja…” “Hahaha…”
Gramedia malam itu cukup ramai pengunjung. Mereka juga mencari novel. Bahkan aku bertemu dengan beberapa teman satu sekolahku. “Hayo jalan sama Dinda nih…” sapa Steve yang tiba-tiba ada di depanku. “Eh, Kak Steve,” kataku sambil mengulurkan tangan. David juga bersalaman dengannya. “Cari novel untuk besok?” tanya steve. “Iya,” jawabku dan David hampir bersamaan.
“Maaf, aku permisi ke toilet,” kata David tiba-tiba. Aku langsung kikuk sebab aku jadi berduaan dengan Steve, anak OSIS yang aku benci. “Kakak juga mau beli buku?” tanyaku untuk memecah kebekuan. “Enggak. cuman ngantar kakakku. “Oh… Hmm,” aku tiba-tiba speakless. Tanpa sadar aku ngeloyor ke tumpukan novel-novel. Untungnya dia ngikutin aku. Aku pura-pura memilih dan membaca novel-novel yang harganya didiskon sampai 50 persen itu.
“Suka baca Tere Liye?” tanyanya. “Terlalu berat.” “Masa?” “Lha, berarti kakak sudah baca Tere Liye kan?” “Cuman yang Rindu itu.”
David nongol sambil memegangi perutnya. Ia meringis seperti menahan rasa sakit di perutnya. “Maaf aku diare, harus cepet pulang. Ayo Din cepet pilih novelnya,” kata David. “Apa yang bisa aku bantu?” ujar Steve. Kami berpandangan. Tak tahu apa yang harus dikerjakan lebih dulu. Kami masih diam di tempat. “Sudah ini saja novelnya,” kata Steve sambil mengambil dua novel dan bergegas ke kasir. “Ini, cepetan pulang,” kata Steve sambil memberikan bungkusan novel kepadaku. Kami bergegas meninggalkan Gramadia. Dan aku lupa mengucapkan terima kasih pada Steve.
Sampai di rumah aku masih kepikiran David kenapa tiba-tiba sakit. Tapi wajah Steve tiba-tiba melintas merebut daya anganku. Keduanya baik sama aku. Sambil merebahkan badan kuraih ponselku dan kucoba ngechat David. Aku: May everything okay. Have a nice dream. Lima menit, sepuluh, lima belas menit chatting itu terkirim tapi tak berbalas. Dan akhirnya aku tertidur. Di dalam tidurku aku bermimpi bertemu Steve dan ia memberiku seikat bunga.
Hari ini hari terakhir MOS. Siang ini juga akan ada penutupan MOS. Aku datang ke sekolah pagi-pagi karena mamaku bisa mengantarku sebelum kerja di Balai Kota.
“Hai kok pagi banget?” “Iya, kebetulan mama bisa antar, tapi ya sekalian kerja. “Mamamu kerja di mana?” “Balkot.” “Ini novelnya. Kamu pilih mana?” “Kamu saja yang milih, aku sembarang aja.” “Aku ini saja, Hujan, Tere Liye.”
“Eh, by the way, ini dibayarin Kak Steve?” “Biarin.” “Enggaklah. Nanti kamu kasihkan uangnya ke dia,” kataku sambil menyodorkan satu lembar uang merah. Tapi dia diam saja. Mungkin juga bingung. “Ya sama kamu dong!” jawabnya. “Ya sudah, kapan?” “Sekarang aja, kita cegat di gerbang.” “Oke. Ayo!”
Aku dan David bergegas ke pintu gerbang sekolahku. Kulirik jam tanganku masih pukul 06.30. semoga ia belum datang. “Kak ada perlu sedikit,” kataku ketika dia datang. Beberapa siswa baru mengamati aku dan steve yang lagi bicara. Aku cuek saja meski jadi perhatian mereka. Untung ada David. “Kak ini uang untuk novel kemarin, maaf lupa,” kataku. David diam saja memainkan kuku jarinya. “Ah, bawa aja,” kata Steve enteng. “Lho?” “Itu hadiah dari aku.” “Hadiah untuk apa?” “Waduh, aku ngerasa enggak enak nih.” Aku tetap menyodorkan dua uang merah di tanganku.
“Baiklah kalau kalian memaksa dan tidak mau hadiah dari aku. Tapi ada syaratnya. “Sini uangnya! Yang seratus aku ambil, yang seratus buat ke kantin besok untuk kita bertiga,” “Oke,” jawabku sambil tersenyum. David juga mesam-mesem. “Syarat yang kedua kalian bantu aku nyiapkan upacara penutupan,” katanya tegas. Deg. Aku harus berkumpul dengan anggota OSIS yang sok-sokan itu. Ini bencana bagiku. “Ayo, sudah mau bel masuk. Aku tunggu di sekretariat OSIS,” katanya sambil berjalan cepat ke ruang OSIS. Aku memandangi punggungnya yang semakin menjauh dengan sebel.
“Sialan,” umpatku. “Hei, ngapaian sampe mengumpat?” “Ini kena batunya, namanya!” “Maksudmu?” “Aku sebenarnya benci sama OSIS tapi nanti harus gabung sama mereka.” “Lho… Steve kan baik?” “Aku takut ada udang di balik batu.” “Jangan su’udzon…Din.”
Gladi bersih upacara penutupan dilaksanakan. Aku tak tahu harus membantu apa. David tampaknya cepat adaptasi. Ia ikut mengatur barisan siswa baru.
Ketika gladi akan dimulai, tiba-tiba dua anggota OSIS mendekatiku dan mengatakan sesuatu. “Dik kamu jadi perwakilan siswa ya!” “Lho kan sudah ada?” “Anaknya sakit! Ayo!” katanya sambil menggandengku untuk ke ruang OSIS. Aku langsung dibriefing kilat. Nanti begini, begitu, begini. Dalam hati aku mengumpat-umpat. Dan yang lebih mengejutkan aku adalah perwakilan siswa putranya adalah David. “Hai, Din!” sapanya. Aku cemberut tak membalas sapaannya. Aku merasa ada konspirasi di antara mereka.
MOS usai sudah. Aku merasa tak terkesan dengan semua itu. Kini aku sudah resmi menjadi bagian dari sekolah ini. Tak ada lagi senior-junior. Seragam sama, semua sama. Sementara David, sahabat terbaikku, tetap setia sebagai seorang sahabat. Masih sering antar aku pulang dengan pick up kesayangannya. Dan mindset-ku kepada anak-anak OSIS yang oportunis juga terbukti.
“Dinda, aku suka kamu,” kata Steve di suatu saat ketika tiga bulan lebih aku jadi siswa sekolah ini. “No way!” jawabku sambil pergi meninggalkannya. Yang kubayangkan justru kenapa bukan David yang mengucapkan kata-kata itu?”
Cerpen Karangan: Suwarsono Blog / Facebook: Suwarsono S.