Aku merapikan hijab pashmina di kepala, sebuah panggilan dari luar memanggil-manggil namaku, aku hafal suara itu. Laila teman seangkatanku di pesantren. Setelah rapi dan tertutup secara sempurna sesuai syariat islam yang menutup dada. Aku mengambil kitab berwarna hijau dengan gambar pria memakai sorban menunggangai unta.
“Ustadzah Adibah, udah selesai belum?” “Udah Ustadzah Laila.” Aku segera melangkah cepat meninggalkan kamar. Menghampiri Laila yang sudah menunggu di luar asrama ustadzah. Kami menunggangi sepeda gayung menuju kelas para santri. Namaku Adibah Larasati Adinda. Setelah lulus dari pondok Darul Qur’an, aku kembali mengajar di sini sambil kuliah. Dan sekarang sudah tahun ketiga aku mengejar di sini.
“Assalamualaikum!” “Walaikumsallam Ustadati!” ucap murid-murid berhijab putih senada. Mereka sangat semangat menyambut kedatanganku. Menanti pelajaran Tarikh Islam, salah satu pelajaran yang terkadang membosankan karena metodenya dengan ceramah atau cerita. Tapi, aku mencoba membangkitkan suasana tersebut. Membuat muridku tidak bosan. “Sekarang siapa yang inget, siapa yang membunuh Paman Rasullah, Hamzah bin Abdul Muthalib?” Semua murid mengangkat tangan.
Setelah satu jam berlalu, akhirnya pelajaran di jam terakhir itu telah usai. Aku bersiap-siap kembali ke asrama. Tiba-tiba seseorang memanggiku. “Ustadzah Adibah!” “Iya ada apa?” Seorang santri berkerudung kuning, menghampiriku. Dia adalah santri yang piket hari ini. “Itu Ustadzah dipanggil Umi Nur!” “Sekarang?” “Iya.” “Makasih, ya!” “Sama-sama Ustadzah.”
Laila yang dari tadi menungguku untuk kembali ke Asrama langsung menggodaku. “Cie-cie dipanggil calon ibu mertua.” “Apaan sih Ustadzah.” “Tapi, kataku Umi Nur tertarik sih sama kamu. Mungkin emang mau dijadiin menantu. Kan, dua bulan lagi Ustadz Naufal pulang dari Kairoh.” “Udah ah, enggak boleh mikir mancem-mancem. Mungkin Cuma manggil biasa aja, bantuin apa gitu di rumah beliau.” “Yaudah. Mau dianterin enggak?” “Enggak usah.”
Aku berjalan menuju rumah Umi Nur yang tidak jauh. Membayangkan perkataan Lalila, tapi memang benar di antara semua ustadzah di sini aku yang paling unggul. Dari segi hafalan, ilmu dan juga lumayan cantik. Bukannya terlalu percaya diri ataua apa, tapi mungkin Umi ingin menjodohkanku dengan Ustadz Naufal. Beliau kan mau pulang ke Indonesia. “Astagfirullah. Kenapa aku mikir macem-macem.” Namun, hatiku berbunga-bunga menunggu saat-saat itu karena sebenarnya aku sudah diam-diam menyukai Ustadz Naufal. Pasti orangtuaku bangga, anaknya akan dipersunting anak Kiyai pemilik pondokan ini.
Sebenarnya tanpa banyak orang tahu, aku sudah mengobrol cukup lama dengan ustadz Naufal di media social. Bertanya tentang banyak hal tentang soal agama sejak menjadi santri. Tapi percakapan kami tidak lebih dari itu. Hingga satu tahun lalu, aku memutus kontak dengan Ustadz Naufal dengan alasan ingin hijrah dan tidak mau berkontak dengan lelaki manapun. Aku yakin seratus persen Ustadz Naufal akan penasaran denganku dan bertanya pada Umi Nur. Mungkin ini salah satu alasan kenapa Umi Nur selalu memanggilku. Karena Ustadz Naufal mencariku, karena melihat ketaatanku pada agama.
Ramadhan telah tiba, bulan penuh keberkahan untuk seluruh umat Muslim. Waktu adzan isya’ aku pergi ke masjid. Menjalankan ibadah, bahkan aku tidak segan-segan membaca Al-qur’an sampai tengah malam. Tentu saja banyak orang yang kagum pada ibadahku.
Suatu hari tepat di pertengah puasa, lelaki yang kukagumi datang dari Kairoh. “Adibah! Ayo bantuin umi ngeluarin makanannya ke luar.” “Semua makanannya buat ustadz Naufal Umi? Banyak banget.” “Nanti kamu tahu sendiri.” Aku membantu umi mengeluarkan satu persatu makanan di ruangan tamu. Mataku tertunduk, saat berpapasan dengan ustadz Naufal. Mataku terbelalak saat menyadari seluruh keluarga besar pondok As-salam yang masih saudara jauh dengan Kiyai datang. Ada gadis cantik yang dari tadi tertunduk malu-malu. Memakai gamis bunga-bunga dengan kerudung senada. Siapa dia? Kenapa ada di antara dua keluarga besar umi.
“Ini Zahra, anakku. Dia satu bulan lalu lulus kuliah di Malang. Insya’Allah sudah siap menjadi istri untung Ustadz Naufal.” Samar-samar aku mendengar percakapan mereka. Seperti ada tombak yang panjang dan besar menusuk jantungku paling dalam. Semu mimpi dan harapanku sinar sudah. “Ini acara lamarannya, Ustadz Naufal dengan Ning Zahra,” perkataan Umi Nur membuat hatiku runtuh menjadi puing-puing sangat kecil. Sepanjang acara aku hanya terdiam di belakang. Sambil menahan air mata yang hendak keluar, tapi terbendung oleh keadaan.
Saat acara sudah selesai, aku hendak berpamitan dengan umi dan kiyai untuk kembali ke Asrama. Andai aku tidak menghormati Umi, aku ingin segera kabur dari tempat menyiksa ini.
“Kamu Adibah?” panggil lelaki bersuara baritone, suara yang selama ini aku kagumi dan cintai. Tapi, ternyata dia bukan lelaki dari jawaban doa-doaku selama ini. Mungkin aku hanya pemeran figuran yang tidak ternilai artinya dalam hidupnya. “Iya Ustadz. Maaf, saya permisi dulu.” Buru-buru aku luar dari sausana itu. Air mataku tumpah di sepanjangang jalan. Rasa sakit ini lebih berdarah dari pada jatuh dari tangga. Bulan ramadhan tahun ini adalah bulan yang paling berdarah untukku. Karena menyaksikan lamaran orang yang diam-diam aku kagumi.
Rasa sakit hati itu lebih terasa bagaikan nanah yang mengangga. Membuatku malas untuk melakukan segala hal. Aku marah karena gadis yang akan dinikahi ustadz Naufal tidak sehebat aku dalam beribadah pastinya. Siapa yang tiap hari tidak melepas dzikir, puasa senin kamis dan sholat tahajjud.
Aku berdiri di depan pasar sambil membawa banyak belanjaan bersama dua orang santri. Kami duduk di halte bus yang sudah lama tidak terpakai menunggu becak. Samar-sama aku mendengar qutbah dari masjid.
“Apakah kita merasa ibadah kita paling benar? Atau merasa lebih baik dari pada orang lain? Maka celakalah orang yang riya’ itu. Dikisahkan seorang yang ahli ibadah sedang membaca surat thaha. Tiba-tiba Sang ahli ibadah tertidur. Dalam mimpinya dia bertemu malaikat penyatat amal, dia pernasaran dan bertanya tentang amalnya. Katanya Malaikat amalnya hilang karena tadi saat orang lewat dia meninggikan suaranya-” perkataan mubalig itu membuat hatiku terketuk, selama ini aku sering menyombongkan diriku dari semua orang di pondok. Karena merasa paling ahli ibadah. Bahkan aku merasa lebih baik dari yang lain. Mataku berkaca-kaca.
“Di bulan yang penuh cinta ini, marilah kita perbanyak beribadah kepada Allah untuk memintak ampunan atas segala dosa.” Dan akhirnya air mataku lolos dari pelupuk mata, menangis sejadi-jadinya. Menyesali semua perbuatannku, dan saat ini aku iklas jika lelaki yang cintai itu bukan menjadi milikku. Karena yakin, bahwa Allah akan memberikan jodoh terbaik.
Tamat
Cerpen Karangan: Aysea Akira (Ana) Nama pena Aysea Akira, tinggal di kota patria. Suka nonton dan juga berhalu, sekarang aktif di berberapa patfoam di gitial Bisa baca karya aku di Goodnovel: Judul (Ayuna My Little wife) Novelme: Bersama Sang TuanMuda Noveltoon: Brondong My husband Fizzo: Dendam Sang Tuan perkasa
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 18 Mei 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com