Lontaran panah cintaku Melesat padamu Kasih Akankah kau buka gerbang Atau kau biarkan tertutup
Aku menulis puisi, empat baris. Sebelumnya telah berbaris-baris puisi kukarang pada lembaran-lembaran. Aku menulisnya kadang juga mengetik dengan mesin tik punya Ayah yang seorang wartawan. Bagiku puisi adalah wadah yang menampung perasaan, sebagaimana kopi butuh cangkir, harimau butuh hutan, dan paus butuh laut. Aku butuh puisi untuk terbang bebas, puisi akan menjelma sayap yang abadi.
Dari puisi pula aku menemukan cinta pada bahasa Indonesia. Begitulah alasan kukirimi puisi-puisiku padanya – terbungkus amplop seperti surat. Barangkali ia akan menemukan cinta pada bahasanya sendiri. Kukirimi dia puisi sebab pula puisi adalah sastra. Sastra adalah seni. Seni adalah keindahan. Dan ia yang merupakan keindahan kujadikan objek puisi-puisiku, begitulah aku telah mencipta karya paling indah – menurut perspektifku seperti itu.
Puisi-puisi yang kukirim padanya juga bersama dengan kukirimkan cintaku ini. “Hey sedang apa?” “Mencari buku.” “Aku ingin memberimu sesuatu.” Fokusnya kini teralihkan ke arahku. Wajahnya membiaskan penasaran. “Ini surat? Mengapa tak kau kirim lewat tukang pos saja?” Dengan tingkah hangat dan senyum madu. “Bungkusnya memang amplop,” aku tersenyum sedikit “tapi isinya kejutan.” “Boleh aku buka sekarang?” “Buka. Tapi jangan sekarang. Nanti saja di rumah, kan kejutan.” “Jangan-jangan! Kamu ya, pengirim rahasia itu?” “Sekarang ketahuan.” Kali ini wajahnya sebal, dan aku merasa gemas.
“Puisi-puisi kamu itu nyiplak di mana?” “Kurang spesial tahu enggak kalau aku nyiplak. Aku buat sendiri. Spesial untuk kamu.” Aku merasa begitu jantan bisa tak kaku berada di dekatnya ini, meski dadaku berombak.
“Puisi-puisi kamu bagus. Aku suka.” “Kalau sama orangnya suka gak?” Sekarang ia yang gemas serta merta mencubit lenganku. Keheningan menyerobot, hanya mata kami yang saling berbicara.
“Aku mau ngomong sesuatu.” Aku setenang ini, meski jantungku tak karuan tetap bisa kukontrol. “Apa?” Ia mengernyitkan dahi – tak sabar menunggu ucapanku. Lalu aku menunduk dalam: “Aku cinta kamu.” Kudongakkan kepala padanya. Dia sekarang yang menunduk dalam. “Aku juga.” Pipinya memerah. Ia salah tingkah saat itu: kepalanya celingak-celinguk ke arah samping, kadang bawah, sambil tersenyum.
Andai bisa semudah itu, akan kulakukan kemarin di perpustakaan kampus. Sayang hanya imajinasi. Kemarin justru aku melewatkan kesempatan emas. Malah gemetaran tak karuan seluruh tubuhku. Padahal aku telah merencanakannya dalam khayalan, tapi saat di hadapannya lisanku tercegat, dan sangat grogi. Kata-kata yang sudah kutimbun dalam otak tak keluar, malah yang keluar tak berbobot.
Saat kusudah menyapanya kemarin: “Ehhh, nyari apa?” “Buku tentang psikologi nih.” Aku tak bisa tenang, sementara ia begitu tenang menjawab. Aku tak kuasa untuk mengatakan apa-apa yang telah kuimajinasikan. “Hhhhmmm. Gak masuk kelas?” Padahal saat itu jam istirahat. Aku salah bicara – bodohnya diri ini. “Belum bel. Kalau kau sendiri sedang apa di sini?” “Mengobrol denganmu. Ehh, hhmm maksudku yaa. Gak ngapa-ngapain.” Benar kan, ditanyanya jawabku malah tak berbobot. Lalu ia memalingkan fokusnya dariku dan mencari-cari apa yang dikehendakinya. Ia tampak sibuk sementara aku masih mematung. Ingin kuberi puisi padanya saat itu – yang tengah kugenggam. Ingin kusampaikan bahwa akulah selama ini yang mengiriminya puisi dalam amplop – kutulis: dari pengirim rahasia, untuk Amelia. Ingin kukatakan bahwa aku mencintainya – dalam posisi badan berhadapan dan mata saling bertemu. Tapi semua tak kuasa dan hanya: “Mel. Aku ke kelas duluan ya.” “Silahkan.” Jawabannya itu sambil memunggungiku – sebab sibuk mencari buku yang ia maksud pada rak buku perpustakaan ini – tanpa menengok ke arahku apalagi tersenyum madu.
Aku sulit berkomunikasi dengannya di dunia nyata. Entah kenapa setiap mengobrol dengannya, kata-kata yang telah kukomunikasikan dengannya di dunia imajinasi tercegat. Hanya puisi mengantarkan diriku ke dalam dirinya – tanpa komunikasi pun.
Sudah seribu lima ratus empat puluh tiga puisi kukarang untuknya, dan kubacakan sendiri di hadapan malam – tak kuasa kubacakan padanya. Beberapa telah kukirim (sudah dua puluh empat puisi kukirim), entah ia baca atau tidak. Setiap sebelum tidur pula, bayangnya membacakan puisi – yang kukarang sendiri – padaku dalam khayalan.
Aku yakin bahwa ia, yang bernama Amelia Puspita Sari itu, adalah puisi Tuhan yang Tuhan ciptakan untukku dan kunikmati keindahannya.
Bangkalan, 02 Agustus 2021
Cerpen Karangan: Muh. Rosul Blog / Facebook: Rosul Jaya Raya Bio: Muhammad Rosul kelahiran kota Bekasi pada 24 Mei 2002. Sekarang bermukim di pesantren sebagai santri pondok pesantren Syaichona Moh. Cholil sekaligus mahasiwa STAI Syaichona Moh.Cholil Bangkalan. Tergabung dalam komunitas pencinta literasi. Karyanya pernah dimuat di beberapa media daring dan cetak. Dan sastra menjadi bagian dari tujuan hidupnya.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 11 April 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com