Aku adalah seorang pria yang tertawan dalam sebuah penjara bernama cinta. Ah, andai saja itu adalah dalam mencintai Tuhan. Aku tengah mencintai seorang wanita yang tak akan kusebutkan namanya, sebab manfaat falsafi apa yang akan kau dapat dari sekedar sebuah nama? Aku jatuh cinta pada tanggal dua bulan dua tahun dua. Unik, begitu? Apakah isyarat takdir? Jangan bodoh, tak ada yang mengerti rumitnya goresan takdir. Kita hanya makhluk yang hanya bisa mengharap yang terbaik.
Sayangnya kita tak dapat pelajaran mencintai di sekolah atau sesedikitnya satu bab pelajaran tentang mencintai. Kalau boleh, mari kita demoi bersama Bapak Menteri beserta para jajarannya agar bisa menambahkan pelajaran mencintai di sekolah. Bukannya mencintai itu butuh persiapan dan latihan dahulu? Bukannya pelajaran mencintai akan lebih bermanfaat bagi siswa dibanding pelajaran aritmatika yang aplikasinya pun kita tak paham bagaimana? Atau rumus-rumus fisika, yang, apakah akan kita gunakan untuk menghitung kecepatan sebelum mengendarai motor menuju tempat kerja di pagi hari buta? Bukan begitu?
Dan kumohon jangan heran dengan gaya bicaraku yang sering menelurkan ‘bukan begitu’ atau ‘begitu’ atau apapun. Sampai mana tadi? Pelajaran mencintai, bukan? Kita perlu tim perumus pelajaran mencintai yang penuh kemumpunian dan pengalaman dalam cinta. Tim perumus yang benar-benar kompeten dalam hal mencintai dan dicintai. Begitulah sehingga para siswa tidak gelagapan saat menghadapi cinta.
Mencintainya adalah hal yang sungguh berat. Ketika bangun tidur, yang paling pertama melintas di benakku adalah tentangnya. Ketika menyuapi diri dengan sesendok sarapan, yang kupikirkan bukannya bagaimana lezatnya makanan yang kumakan, namun dia. Ketika berjalan ke kampus, yang kupikirkan bukannya bagaimana sulitnya pelajaran aritmatika nanti, namun apakah dia juga memiliki rasa terhadapku? Sejujurnya, di sisi lain aku malu; bukannya harusnya tentang Tuhan yang seyogyanya selalu terlintas dalam benak-sanubari hamba yang baik? Sehingga aku bukan hamba yang baik, sama sekali tak baik.
Waktu yang terus berjalan maju terkadang membuat dadaku semakin sesak. Semakin sesak oleh jejalan bayangan-bayangan akan masa depan yang suram. Aku membayangkan suatu saat nanti aku menyatakan perasaanku yang lalu ditolaknya sehingga membuatku bungkam, bisu, lalu menangis seharian di pojok ruangan gelap ditemani sedikit berkas-berkas cahaya kecil atau segelas teh tawar hangat yang bisa sedikit melegakan.
Apakah sedemikian buruk nasibku? Sedemikian bengisnya perasaan bernama cinta? Sedemikian kejamnya, sedemikian hina? Apakah nasib yang kuanggap baik kelak akan berpihak padaku atau justru menghujamku hingga remuk rusuk-rusuk? Aku tak tahu. Begitulah, dan aku maupun kau akan tetap tak tahu. Tatapan mataku jauh ke depan, dan lebih jauh lagi hingga menerobos sekat-sekat waktu. Namun sekat-sekat itu begitu hitam sehingga yang kulihat tidak lain tidak bukan adalah ketidakjelasan, seperti gaya hdupku yang juga tak jelas, seperti semangkuk sereal yang disiram kuah teh manis dingin yang entah kenapa selalu kujadikan makan pagi atau kebiasaan jogging di malam hari—dan aku belum pernah sama sekali jatuh sakit karena itu.
Kalau kau menanyaiku kenapa aku mencintainya? Aku tak bisa jawab, dan aku masih tak tahu jawabannya apa. Aku tak begitu mengenalnya, muka pun tak cantik-cantik amat, cantik standar begitu, dan entah mengapa auranya meledak-ledak di bola-bola mataku. Dan ketika pertanyaan itu ditanyakan yang kuingat adalah bagian dari Norwegian Wood, ketika Midori mengatakan sebenarnya dia ingin jatuh cinta pada orang yang lebih tampan. Ah, novel itu, sebuah masterpiece!
Ngomong-ngomong soal novel, Norwegian Wood racikan Murakami adalah yang paling kukagumi, setelah novel pertamanya yang tipis Hear the Wind Sing yang dia tulis setelah tujuh tahun bekerja di sebuah bar. Mungkin suatu saat nanti aku bisa menerbitkan sebuah novel juga. Tidak usah tebal-tebal, cukup beberapa puluh halaman.
Dan melanturku pagi ini diakhiri dengan sebuah buku yang meluncur lurus ke atas kepalaku. Kamarku memang penuh buku dan cukup berantakan. Nyerinya masih terasa di kepala ketika mandi, sebab yang terjatuh dari atas lemari itu adalah buku tebal yang berat. Aku mandi seadanya, lalu sarapan semangkuk sereal yang disiram teh manis dingin (lagi), berpakaian, kemudian berangkat ke kampus yang sedikit jauh dari sini menggunakan sepeda butut tua seharga cepek.
Kritik sastra. Dosen menerangkan definisi-definisi awal, hal yang lumrah diawal-awal perkuliahan. Namun lagi-lagi aku sedang tidak berpikir keras tentang asal-muasal kata kritik dari bahasa Yunani atau tentang ruangan kelas yang terlalu pengap sebab jendela-jendela yang entah mengapa lupa dibuka, namun (lagi-lagi) tentangnya yang pagi ini duduk di bangku paling depan sebelah kanan. Iya, dia sekelas denganku, namun kuharap kau bisa menutup rapat-rapat mulutmu sebelum aku sendiri yang akan menjahitnya paksa dengan benang-benang merah yang tebal.
Hari ini yang dia kenakan adalah kemeja hijau panjang dengan terusan rok batik lebar dengan motif mencolok serta selembar kerudung yang juga hijau. Aku bukan orang yang pintar tentang fashion, tapi kalau boleh jujur itu sangat cocok baginya. Ah, andai aku bisa dengan sendiri mengatakan itu di hadapannya.
Aku bukan seorang gentleman? Bukan begitu. Keberanian bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Namun keberanian sejati adalah keberanian dengan timing yang tepat. Kau lihat singa? Apakah cukup singa itu berani untuk menerkam seekor rusa pejantan dengan dua tanduknya yang tajam? Tentu tidak, bodoh! Timing yang tepat adalah bagian dari keberanian! Demikian halnya aku, aku hanya perlu momen yang tepat. Sebab aku bukan laki-laki dungu yang baru saja seminggu jatuh cinta namun langsung memberanikan diri mengatakan I love you. Itu adalah dungu bin tolol bin goblok. Yang kau perlukan adalah meyakinkan diri, lalu menunggu momen. Itulah sikap seorang singa yang bijak.
Namun setidaknya, kau mengingatkanku bahwa aku hanya sebatang kara. Aku tak punya siapa-siapa. Pun di kota ini. Aku adalah anak rantauan yang tak begitu mengenal arah. Dan mungkin saja univeritas ini adalah Universitas Antah-Berantah, sebab aku sendiri tak ingat namanya apa. Dan semua ketidakjelasan ini mulai buyar ketika gadis di depan itu lewat di hadapan bola mataku sebulan yang lalu. Bocah sebatang kara ini seakan baru saja menerima secercah harap, dengan sedikit dramatisasi, sehingga sendi-sendinya goyah berjatuhan.
Sejatinya, bocah sebatang kara ini ingin begitu bertindak. Sebab orang-orang di luar sana bukan lagi merpati-merpati kesepian yang tak henti-hentinya mengharap pada langit.
Sehingga, semua ini terus berputar di antara dua hal: alibi-alibi tentang keberanian sejati atau sebuah kepengecutan akan menerima rasa sakit. Aku tak ingin merasa sakit lebih awal. Sebab aku, yang akan terus menjomblo ini, ingin juga merasakan apa yang mereka sebut dengan cinta. Aku menyebutnya sebagai rasa sakit, sebab perempuan mana yang cukup bodoh untuk jatuh cinta padaku? Aku ingin sebentar saja merasakan manisnya mencintai, sebelum akhirnya dihempaskan sehempas-hempasnya, sesakit-sakitnya, selumpuh-lumpuhnya ke dalam ngarai penolakan. Sebab perempuan mana yang cukup bodoh untuk jatuh cinta padaku? Penuh ironi, bukan begitu?
Terkadang aku berpikir untuk membuat sebuah perhimpunan yang menghimpun tiap-tiap jomblo seantero negeri. Kesendirian yang menyatukan kami. Bahkan kalau boleh para jomblo nantinya akan punya partai politik sendiri? Partai politik yang baik adalah partai politik yang berisikan pemuda-pemuda jomblo, sebab kejombloan seringkali mengajarkan kita untuk tak rakus. Benar, bukan? Coba kau tengok orang-orang itu yang begitu tololnya memeras saku hingga remuk demi memenuhi kebahagiaan (mungkin tepatnya: kerakusan) pasangannya.
Ngomong-ngomong aku pernah menulis beberapa baris lirik mars bagi orang-orang jomblo. Mungkin kalau Perhimpunan Jomblo Indonesia sudah berhasil terealisasikan, mars inilah yang akan jadi lagu kebanggaan yang selalu kami gaung dan nyanyikan.
MARS PARA JOMBLO
Kau tahu? Lautan pun kami seberangi! Oh, merpati-merpati kepayahan! Bangkitlah, sebab deru angin s’lalu temanimu Cemara tak akan lagi berderai Badai akan segera membisu Dan kita ‘kan tetap s’lalu bersama Di sini Dalam riang tak berbatas Di sini Di mata-mata menyala Di sini Di bawah langit-langit biru (Siapa kita? Angkatan jomblo!) Kesendirian bukanlah kehinaan Kesendirian adalah harkat kami Kesendirian adalah perekat abadi (Jomblo!) Hidup jomblo!
Sebelum cerita ini benar-benar berakhir, aku tersambar ide untuk menempel diam-diam baris-baris marsku di mading kampus. Aku berangkat pagi-pagi sekali: mendahului mentari, angin yang berhembus, dan jarum jam berdetik. Dan coba kau lihat kerumunan itu!
Aku tertawa dalam batin. Orang-orang berebut membaca karyaku, berdesak-desakan di sana. Atau mungkin hanya penasaran. Atau mungkin mereka adalah senior-senior kampus yang akan membentak-bentak interogatif siapa orang yang berani-beraninya menempel hal yang bodoh di mading kebanggaan kampus. Atau atau-atau yang lain. Tapi batinku tentu berharap bahwa mereka adalah kerumunan orang-orang yang terkagum-kagum akan mars buatanku dan akan segera membuatnya menjadi mars yang benar-benar punya nada dan hidup. Lalu Perhimpunan Jomblo Indonesia akan segera terbentuk dengan mars itu sebagai mars resminya.
Aku menyulut batang rok*k terakhirku dan terus berjalan ke depan menjauhi arah pulang.
Cerpen Karangan: Daffa Allamsyah Blog: ivulaeeh.blogspot.com
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 2 Juni 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com