– Kania Anjasmara Pertama kali aku bertemu dengan dia di kelas. Iya. Itu merupakan cinta pandangan pertamaku padanya. Dia duduk di bangku paling pojok dekat jendela. Dia menatap jendela dengan tatapan kosong. Bulu matanya lentik, hidung yang mancung, pipinya yang tirus, serta matanya yang indah. Aku menggelengkan kepalaku. Sadarlah, dia takkan mau denganku yang seperti ini, kataku dalam hati.
Namun, tanpa sadar langkahku menuju ke tempat dimana dia duduk. Mataku fokus padanya. Ini aneh. Sungguh aneh. Ada apa denganku? Mengapa langkahku tertuju padanya? Mungkinkah aku sudah mencintainya pada pandangan pertama? Oh tentu tidak. Aku yakin ini hanya rasa kagum. Kagum melihat lelaki tampan.
Ketika langkahku berhenti tepat di sampingnya, bibirku mengucapkan sepatah-kata padanya. Apa ini? Bibirku tiba-tiba mengucapkan sesuatu. Mengapa seluruh tubuhku mendadak bergerak tanpa perintah. Bahkan sekarang aku mengulurkan tangan ke arahnya. Seolah mengajak berkenalan. Konon katanya jika sudah jatuh cinta, hati kita mulai tergerak dengan sendirinya. Begitu juga gerak tubuh kita.
“Siapa namamu?” itulah pertanyaan yang keluar dari bibirku. Dia menoleh ke arahku. Dia mengedipkan matanya berkali-kali. Aku menelan ludahku. Astaga aku malu sekali sekarang. Bola mataku bergerak ke kanan dan ke kiri. Berusaha mengalihkan pandangan darinya.
“Raihan” balasnya sambil tersenyum. Ouhh! Lihatlah senyuman itu. Senyuman itu membuatku semakin terfokus padanya. Kemudian dia mengulurkan tangan dan menjabat tanganku. Deg! Deg! Deg! Detak jantung berdebar sangat kencang dari biasanya. Sepertinya aku takkan bisa tidur malam ini.
“Nia. Senang berkenalan denganmu, Raihan” kataku sambil menjabat tangannya. Oh iya, namaku Nia. Jangan lupa bahwa namaku Nia. Setelah perkenalan itu, aku dan dia menjadi sahabat. Menjadi sahabat dengan perasaan cinta yang makin dalam. Hingga aku tak mampu mengungkapkan perasaanku.
– Ahmad Raihan Kala itu aku duduk di bangku paling pojok dekat dengan jendela. Kala itu juga menjadi pertemuan pertama kita. Aku dan Nia saling berkenalan. Kemudian menjadi sahabat hingga kini. Kita sudah bersahabat selama tujuh tahun. Dan selama tujuh tahun itu aku mencintainya dalam diam. Hati ini ingin mengutarakan namun pikiranku berkata jangan dahulu. Mungkin selama tujuh tahun itu dia hanya menganggapku sebagai sahabat saja. Tidak lebih dari itu.
Hari ini cuaca sedang tidak bersahabat. Aku tidak tahu jika akan turun hujan. Aku lupa memeriksa kondisi cuaca hari ini. Terpaksa aku dan Nia meneduh di salah satu warung yang sudah tutup. Waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Nia sudah ditelepon oleh kedua orangtuanya untuk segera pulang sejak tadi. Bahkan sampai mengirim pesan spam. Hufft, jantungku tak hentinya berdebar kencang. Ingin pulang, masuk kamar, dan berteriak di balik selimut. Astaga debaran jantungku benar-benar tak bisa menahannya lagi sekarang. Ingin segera meluapkannya.
“Kamu kedinginan?” tanyaku saat melihat dia terus-menerus mengusap pelan bahunya karena kedinginan. Dia menoleh, “Ha? Oh nggak kok hehe” jawabnya sambil tertawa. Lalu dia menatap ke depan. Melihat hujan deras yang tak kunjung reda. Justru semakin deras. Aku melepas jaket jeans milikku dan memakaikannya pada Nia. Kemudian aku berdeham pelan dan mengalihkan pandangan ke arah lain.
Dia terkekeh pelan, “Kenapa sih? Aku tahan dingin kok. Malah seharusnya kamu yang butuh jaket” katanya usai terkekeh. Aku mengerjapkan mataku lalu memandangnya, “Seriusan? Jangan ngeluh sakit panas loh besok” balasku. Dia memukul bahuku kencang.
“Ih terus aku harus ngeluh ke siapa dong kalau bukan kamu” ucapnya dengan nada sinis. “Situ bukannya lagi deket sama cowo? Ya bilang dong ke cowonya” ejekku sambil tersenyum jahil. Ya. Dia mengaku sedang dekat dengan lelaki. Katanya teman kerja sekantornya. Lelaki itu sempat mengungkapkan perasaan padanya, namun dia menolak. Aku tidak tahu apa alasannya. Oleh karena itu, aku sengaja memancing pembahasan tentang lelaki tersebut.
“Udah dehh jangan dibahas lagi. Aku malu banget kalau inget kejadian itu lagi” ujarnya lalu menundukkan kepala. Aku terkekeh pelan mendengar jawabannya, “Emang apa alasan kamu menolak dia? Kurasa dia cocok denganmu” tanyaku penasaran. Nia terdiam cukup lama mendengar pertanyaanku. “Aku suka orang lain” jawabnya setelah terdiam cukup lama. Mataku terbelalak. Siapakah orang yang disukainya? Aku ingin menanyakan itu namun tidak jadi. Aku menelan ludahku dan mengalihkan pandangan ke arah hujan. Ada banyak pertanyaan dalam pikiranku. Aku penasaran. Sangat penasaran siapa orang lain itu.
– Kania Anjasmara “Orang lain itu ada dekatku. Di sampingku. Selalu ada disaat aku butuh” lanjutku lalu mengalihkan pandangan ke arah Raihan. Yang ditatap justru sedang memandangi hujan yang tak kunjung reda. Apa dia mendengarku? Kurasa tidak. Baiklah, semoga dia tak mendengar apa yang kuucapkan beberapa menit yang lalu.
Aku mengerjapkan mata sekali, lalu bertanya padanya “Bagaimana denganmu? Apa ada seseorang yang kau suka?” Dia menoleh saat mendengar pertanyaan yang telah kulontarkan. Aku ingin bertanya juga tentang siapa gadis yang disukai Raihan. Selama tujuh tahun ini dia tak pernah mendekati gadis ataupun didekati oleh gadis.
“Tentu ada” jawabnya sambil menatapku lamat. Bola mataku bergerak ke kanan dan ke kiri. Aku menggigit bibir, alisku mengerut, jantungku berhenti berdegup kencang. Bibirku tak sanggup berkata-kata. Aku merasa ditolak sebelum mengungkapkan perasaanku. “Itu kau.” Mataku terbuka lebar. Dia sedang bergurau atau serius?, tanyaku dalam hati. Lalu dia tersenyum tipis. “Sungguh?” tanyaku memastikan. Dia mengangguk mantap. Astaga, apa ini? Pernyataan cinta ketika hujan? Ini gila. Dan berbeda dari yang lain. Aku menepuk pipiku pelan. Waw, ini bukan mimpi rupanya. “Sejak kapan dan sudah berapa lama?” “Sejak dulu sampai sekarang. Tujuh tahun”
Tujuh tahun. Itu bukan waktu yang sebentar. Sangat lama. Ternyata dia juga menyukaiku. Bagaimana ini? Haruskah aku mengungkapkannya bahwa orang lain yang kusuka adalah dia? Tidak, jangan sekarang. Aku akan memikirkan cara lain untuk mengungkapkan perasaanku.
– Ahmad Raihan Sudah sebulan sejak kejadian hari itu, namun Kania tak membahasnya lagi. Menganggap seperti tidak terjadi apa-apa. Perasaanku digantung. Dan selama sebulan itu aku tetap bersikap seperti biasanya. Begitupun dia. Jam menunjukkan pukul lima sore. Sudah waktunya pulang. Akan tetapi aku sedang lembur hari ini.
Ponselku bergetar. Menandakan ada seseorang yang meneleponku. Ibu? Tidak mungkin. Aku sudah mengabari ibu jika aku pulang telat hari ini. Aku membuka ponselku. Oh Kania rupanya. Tanpa berpikir panjang, aku pun langsung mengangkatnya. Mungkin saja dia membicarakan hal penting.
“Halo” sapaku terlebih dahulu. “Bisa kita bertemu?” tanyanya. “Bisa, dimana?” jawabku. “Aku di depan kantormu” katanya. Aku mematikan sambungan teleponku secara sepihak dan buru-buru keluar menghampirinya.
– Kania Anjasmara Kini dia sudah di hadapanku. Tanganku gemetar dan berkeringat. Aku harus mengatakannya sekarang sebelum sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Aku menarik napas lalu menghembuskannya secara perlahan.
“Maaf aku berpura-pura bersikap seperti tidak terjadi apa-apa. Sebenarnya a-a-aku juga menyukaimu” ungkapku akhirnya. Lega. Mataku dan matanya masih saling bertatapan. Hening sesaat. Lima menit kemudian Raihan memelukku dengan erat.
Cerpen Karangan: Purwati Dirahasiakan.