Entah apa yang kulakukan seharian ini, rasanya aku hanya sibuk bergelung dibalik selimut sambil berusaha mengabaikan suara rintik hujan di luar sana. Hatiku semakin sesak, aku juga tidak tau apa sebabnya. Padahal aku sendiri yang sudah memutuskan untuk tidak lagi mengharapkan apapun, biarkan aku sendiri memendam semuanya.
Sejujurnya aku sibuk menyesali kebodohan yang pernah kulakukan. Kata orang, kita tak akan tau kemungkinan baik atau buruk jika tidak memiliki keberanian untuk mencobanya. Dan bodohnya aku yang mempercayai perkataan itu, aku malah membuat semuanya jadi berantakan.
Andai hari itu aku tak melakukannya, mungkin saat ini semuanya akan jauh lebih baik… meskipun sama-sama menyakitkan.
—
Kisah teman masa kecil hingga tumbuh dewasa bersama-sama dan akhirnya timbul perasaan suka, benar-benar kisah klasik yang aku saja sudah bosan mendengarnya. Tapi siapa sangka aku malah menjadi salah satu karakter dalam kisah membosankan seperti itu,
Ya, aku jatuh cinta… pada teman masa kecilku.
Sejak kecil kami selalu bersama, kuakui dia memang keren. Aku yang lemah sejak kecil seringkali menjadi korban perundungan.
Bukannya aku tidak mau melawan, tapi memang aku tidak bisa melakukannya. Setiap kali aku mencoba melawan, mereka akan merundungku semakin parah. Karena itu aku memilih diam dengan harapan ada suatu titik dimana mereka bosan menggangguku dan pergi dengan sendirinya,
Tapi ternyata saat yang aku tunggu-tunggu tak juga tiba, mereka terus menggangguku hingga aku muak. Aku lelah, aku membenci diriku yang lemah.
Saat aku mulai lelah dan hampir tidak peduli lagi dengan kehidupanku, dia datang. Dia datang seperti seorang pahlawan yang menarikku dari kegelapan, Dia,
“Salam kenal, aku Nagase Ren”
Sejak dia hadir kehidupanku mulai berubah. Dia yang bahkan menjadi sosok populer sejak sekolah dasar tanpa rasa gengsi mau mengajakku bicara bahkan tidak malu mengakui diriku sebagai teman. Dan lucunya lagi rumah kita berdekatan, aku tidak tau apakah Tuhan memang sengaja mengirim seseorang untuk menyelamatkanku atau ini hanya kebetulan. Apapun itu, aku merasa sangat bahagia.
Mulai hari itu dia menjadi pahlawanku, dan selalu begitu. Dia melindungiku apapun yang terjadi. Dia membuatku berubah, aku bukan lagi seorang gadis cupu yang menjadi korban perundungan. Berkatnya kehidupan sekolahku menjadi normal, persis seperti apa yang aku inginkan.
Seperti yang sempat kukatakan, kami tumbuh bersama. Kami selalu masuk di sekolah yang sama karena kami memang memiliki kesepakatan untuk itu.
Pada awalnya aku selalu mengagumi sosoknya sebagai pahlawan yang menyelamatkan hidupku, tapi tanpa sadar perasaan itu berubah menjadi perasaan suka. Perasaan yang bahkan tidak pernah aku bayangkan sebelumnya.
Kalau dipikir-pikir, takdir itu lucu ya sampai-sampai bisa mempermainkanku seperti ini.
Aku selalu mencoba bersikap natural, aku berusaha mengabaikan perasaan yang mulai tumbuh ini. Kuharap perasaan itu bisa mengering dengan sendirinya jika aku tidak mempedulikannya.
Tapi tidak semudah itu, aku malah semakin menyukainya dan perasaan ini jauh lebih jelas dari sebelumnya.
—
Aku menatap kosong langit senja dari jendela ruang kelas dan membiarkan angin dengan lembut mengusap pipiku. Seisi gedung sekolah sudah mulai hening, menyisakan kesunyian. Mengingat bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak 40 menit yang lalu.
Beberapa saat kemudian terdengar decit langkah dari arah pintu kelas, namun hal itu masih tak lantas membuat atensiku pada langit senja berpindah.
“Lihat apa kau?” suara yang sudah tak asing itu menembus indera pendengaranku Aku masih sibuk menatap langit petang yang terlihat indah dengan semburat warna jingga “nggak lihat apa-apa” sahutku masih tak menoleh Sosok itu, Ren merangkul bahuku sekilas. “Yaudah, yuk pulang” Aku mengangguk mengiyakan sementara Ren berjalan terlebih dulu di depanku, “Ren, tunggu” aku berlari kecil mengejarnya, ya kuakui meski keren dia memang menyebalkan. “cepetan dong haha” ucapnya dari kejauhan disertai tawa yang terdengar seperti meledekku “berisik” teriakku sambil mengejar langkahnya.
Aku menepuk bahunya kesal ketika berhasil mensejajarkan langkahku. “nggak bisa jalan pelan-pelan, ya?!” nafasku masih tak beraturan, sementara itu dia hanya tertawa dengan entengnya. “ahaha maaf” Aku memasang ekspresi kesal dan menggembungkan pipi, “Jangan marah haha cuma bercanda, kok” Aku berpura-pura tak menghiraukannya dan masih memasang ekspresi kesal.
“jangan cemberut gitu, mirip tupai haha” ucapnya sambil mencubit pelan pipiku “Sakit bodoh!” protesku tidak terima, dan lagi-lagi dia hanya tertawa
Saat itu denyut jantungku seakan berhenti sesaat, entah sejak kapan wajahnya yang tertawa terlihat begitu menyilaukan. Dan sesaat kemudian dadaku menjadi sesak menyadari bahwa bagaimanapun juga kita hanya sebatas teman. Padahal sudah sedekat ini, tapi mengapa aku tak bisa menggapainya.
Mengapa hanya aku… yang jatuh cinta.
Cerpen Karangan: Sleepy Koala