“Betapa salah dan berdosanya kamu kepada Allah dan suamimu nanti, jika membayangkan dan memikirkan seseorang yang tidak halal bagimu”
Lima bulan yang lalu, tepatnya sejak aku dan dia duduk dibangku perkuliahan yang sama. Siang itu, aku yang sedang mencari buku untuk membuat makalah, akhirnya menemukan buku yang kucari. Tapi sayangnya karena tubuhku yang terlalu pendek, tanganku tak sampai untuk mengambil buku di rak yang paling atas. Dan ini sudah kelima kalinya aku mencoba untuk mengambil buku itu sambil berjinjit, namun hasilnya nihil.
“Boleh saya bantu ambilkan!” kata seseorang padaku yang membuatku sedikit terperanjat karena tiba-tiba sosoknya sudah ada di belakangku. “Boleh, kalau enggak ngrepotin” jawabku singkat, kemudian dia mengambilkan buku yang ingin kuambil dan memberikannya padaku. “Terima kasih” ucapku sambil mengambil buku yang dia sodorkan. “Sama-sama, sampai ketemu lagi” jawabnya yang membuatku mengerutkan keningku.
Keesokan harinya aku kembali ke perpustakaan untuk mengembalikan buku yang kemarin kupinjam. Tak sengaja kamipun bertemu kembali saat mengantri untuk mengembalikan buku. Dia pun menyapaku “hai, kamu yang kemarin saya ambilkan buku kan?” “Iya” jawabku sambil tersenyum padanya “Kita belum kenalan ya! namaku Hari, kalau kamu?” sambil menyodorkan tangannya untuk bersalaman. “Namaku Biru, salam kenal juga” sambil mengatupkan kedua tanganku agar terlihat sedikit sopan saat menolak sodoran tangannya, dan dia tersenyum malu sambil menarik tangannya.
“Bi ayo kita ke kelas keburu ada dosen!” teriak temanku. “Aku duluan ya” kataku pamit padanya, dia membalasnya dengan sebuah anggukan dan senyuman.
Saat kami di jalan menuju kelas, Nia temanku menanyakan mengenai perbincanganku dengan Hari tadi. “Kalau aku enggak salah liat tadi kamu ngobrol sama Hari ya?” Tanya Nia “Iya, kok kamu tau sih?” “Tau lah diakan temen aku waktu SMA Bi, kok kamu bisa kenal dia?” “Itu loh, kemarin kan aku ke perpustakaan buat nyari buku. Eh, pas aku udah nemuin bukunya di rak buku yang paling atas aku enggak bisa ngambilnya.” kataku pada Nia dengan serius. “Teru-terus gimana lagi” Jawab Nia dengan penasaran. “Tiba-tiba dia nawarin bantuan, yaudah apa boleh buat karena aku lagi butuh buku itu ya aku terima tawarannya.” “Haha so sweet deh kalian berdua kaya di FTV gitu.” Kata Nia dengan tertawa. “Kamu ada-ada aja deh, yuk masuk kelas udah sampe nih!” kataku sambal melangkah meninggalkannya terlebih dahulu.
Semenjak peretemunku yang kedua kali dengan Hari, kami jadi sering bertemu di perpustakaan untuk membahas materi-materi perkuliahan yang belum aku mengerti. Dan tak lupa temanku Nia, dia juga ikut bersama kami. Bahkan Nia seperti macomlang diantara kami yang sering menggoda kami.
Aku adalah sosok yang mudah terbawa perasaan, dan mudah terbawa suasana. Semenjak itu pula kami jadi sering bertukar kabar satu sama lain, bahkan dia sering bercerita untuk sekedar hal-hal yang sepele. Tak disadari akhirnya aku menjadikannya salah-satu dari nama-nama terpenting dalam kehidupanku.
Ini salah satu pesan darinya yang diam-diam membuatku tersipu “jangan lupa makan ya Biru langitku! karena kalau kamu sakit tak ada lagi yang membuat hari-hari seorang Hari menjadi berwarna” Perempuan mana yang tak mudah baper dengan lelaki sepertimu, berpenampilan menarik, cerdas, serta asyik dan nyambung saat diajak untuk berdiskusi dan bertukar pendapat.
Tapi akhir-akhir ini aku tak lagi melihatnya, bahkan sekarang tidak ada lagi pesan darinya. Saat di perjalanan pulang aku melihat Hari bersama seorang wanita, Hari memakaikan helm di kepala wanita itu kemudian mereka berboncengan dalam satu motor dan pergi begitu saja.
Entah kenapa setelah melihatnya hatiku menjadi hancur berkeping-keping, seolah tak rela dan tak percaya. Aku yang penasaran kemudian berniat untuk menanyakan siapa wanita itu pada Nia “barangkali Nia tau” pikirku
Akupun mencari Nia dan langsung menanyakannya “hmm, tadi aku enggak sengaja liat Hari sama seseorang, kira-kira wanita itu siapanya Hari ya?” tanyaku pada Nia Denger-denger katanya Hari baru punya pacar yang kebetulan sekelas sama dia” jawaban Nia yang seolah-olah menghancurkan puing-puing harapan yang selama ini telah aku bangun, namun hancur begitu saja. “Hmm gitu” jawabku singkat dan mencoba menyembunyikan kekecewaan. “Oiya kamu belum tau ya, kalau Hari itu emang playboy. Suka ngedeketin banyak cewe gitu. Maaf ya, aku lupa ngasih tau kamu. Abisnya aku pikir dia udah enggak kayak gitu lagi”
Setelah mendengar semua itu aku hanya bisa tersenyum kearah Nia, karena memang ini sepenuhnya bukan salah Nia. Harusnya aku sadar diri, dari awal memang dia tak berniat serius, apalagi mencintaiku. Dia hanya buatku patah hati, karena ulahku sendiri. Bukan, bukan karena salahnya. Tapi salah diri ini terlalu berharap kepadanya yang tak pasti.
Aku teringat perkataan teman sekolahku lima bulan yang lalu saat kami bertemu dan dia curhat padaku “ceweknya aja gampang baperan” Tapi harusnya dia tau dan peka kalau sifat wanita itu gampang baperan, karena wanita lebih mengutamakan perasaan daripada logika. Tapi mengapa dalam berbagai kasus pengaharapan selalu saja wanita yang disalahkan karena sifatnya yang mudah baper. Dia, dan semua lelaki seharusnya tau sifat wanita itu gampang baperan. Malah datang lalu pergi seenaknya dengan meninggalkan sejuta pengharapan. Jika ingin sungguh-sungguh berilah kepastian, dan datanglah ke rumahnya untuk bertemu walinya. Bukan hanya memberi harapan tanpa memikirkan bagaimana perasaan wanita.
“Ketika hatimu terlalu berharap kepada seseorang maka Allah timpakan ke atas kamu pedihnya sebuah pengharapan, supaya kamu mengetahui bahwa Allah sangat menceburui hati yang berharap selain Dia. Maka Allah menghalangimu dari perkara tersebut agar kamu kembali berharap kepada-Nya.” (Imam Syafi’i)
Kini aku mengerti, dulu aku telah membuat-Nya cemburu, dan Dia sayang padaku karena membuatku jauh darinya agar aku tak lagi berharap selain kepada-Nya.
Cerpen Karangan: Penaabiru Blog / Facebook: Sopi penaabiru adalah nama pena saya. Saat ini saya sedang menempuh pendidikan S1 jurusan Sejarah Peradaban Islam di UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Menulislah karena Allah dan agar kamu bahagia. Tapi jangan sekali-kali kamu melupakan Al-Qur’an, karena Al-Qur’an adalah teman sejatimu di akhirat kelak.