“Apa kabar?” Pertanyaan pertama dari Adrian setelah sekian tahun tidak bertemu. Jujur, ingin rasanya Dina berucap bahwa dia tidak baik-baik saja. Tapi tak etis bukan jika masih mengharapkan laki-laki beristri?
“Alhamdulillaah, baik. Kamu gimana?” “Ahamdulillaah baik juga.”
Deg! Sontak Dina menoleh, tuh kan? Kalimat itu tak seharusnya dia ucapkan, kan?
“Kamu pasti bingung ya karena aku bilang hamdalah?” Adrian terkekeh.
Mereka duduk di bawah pohon besar di atas kursi yang tersedia di taman. Di depan matanya, Rivano sedang memancing ikan mainan bersama anak yang lain.
Nanda mengangguk tanpa jawaban dari mulutnya.
“Dua tahun lalu, aku masuk Islam. Dibimbing seorang Ustaz di Rumah Mualaf. Waktu itu aku lagi berada di titik terendah, hingga lantunan Alquran membuatku tenang. Jujur, seperti kehausan di tengah terik matahari, alquran menjadi air yang mengalir di tenggorokan. Aku putuskan untuk memeluk Islam.”
Kaget? Benar Dina sangat terkejut. Keluarga Adrian menjunjung tinggi agamanya, mana mungkin Adrian bisa memeluk Islam semudah itu? Atau jangan-jangan dia memang kesulitan hanya belum terucap dari mulutnya saja.
“Keluargaku menentang keras, tapi aku sudah yakin. Sampai aku disuruh untuk keluar rumah dan memilih hidup sendiri. Lebih tepatnya teman-teman di Rumah Mualaf merangkul dan tidak membiarkan aku merasa salah memilih. Mereka baik. Seperti keluargaku sendiri. Hingga saat ini.”
Baru Dina mengerti, bagaimana beratnya Adrian menghadapi ini semua. Tidak menyangka, tahun-tahun yang Adrian lewati mungkin lebih berat dari apa yang Dina Alami. Dia jadi malu sendiri, pekerjaannya hanya pergi ke kantor, pulang, sibuk lembur, thats it. Sedangkan Adrian mungkin lebih dari itu.
“Lalu Rivano?”
Sedetik kemudian, Dina merutuk karena mulutnya tidak bisa di kontrol. Dia mau tahu soal isi hatinya Adrian, begitu? Seketika Dina menyesali ucapannya.
Adrian mengangguk. “Rivano terlahir dari sebuah jebakan, dimana waktu itu aku dijebak hingga aku minum dari gelas yang sudah berisi obat. Ibunya pun sama, kami bercampur hingga lahirlah dia.” Adrian menunjuk anaknya yang sedang cekikan. “Tapi.. meskipun begitu aku tidak menyesali kelahiran Rivano. Dia penguat di saat aku lemah sekalipun.”
Menoleh ke arah yang sama, Nanda mengangguk setuju. Seorang anak tidak bisa memilih untuk lahir dari rahim siapa. Namun kehadirannya ke dunia bisa menjadi penguat bagi siapa pun, terlebih orang terdekatnya.
“Kami menikah, namun setahun setelah kelahiran Rivano, sesuatu terjadi kepada keluarga kecilku. Waktu itu kacau, suasana udah sulit bikin pikiranku udah nggak karuan, tapi aku menguatkan diri untuk melewati ini. Terlebih aku punya Rivano. Dia seperti kekuatan, dia harus hidup layak dan tidak harus merasakan kehancuran orangtuanya. Hingga Islam membawaku pada cahaya.”
Panjang lebar Adrian menceritakan semuanya hingga Dina tak bisa berkata-kata. Dia bungkam. Ternyata begitukah yang terjadi pada mantan pacarnya? Serumit itukah? Sesakit itukah?
Seketika Nanda merasa malu yang teramat mendengarkan kehidupan Adrian yang sebenarnya. Cobaan hidup Dina tidak ada apa-apanya.
Adrian menghela nafas kemudian terkekeh. “Maaf nih jadi canggung begini, bukan maksudku untuk dikasihani, aku tidak perlu. Entahlah kamu anggap apa, tapi yang penting adalah kamu tahu bahwa aku sama tersiksanya dengan kamu.”
Apa? Apa ini obrolannya sudah menyeret masa lalu mereka? Dina antisipasi jika Adrian menyinggung kebersamaan mereka dahulu.
Melihat Dina yang diam saja, Adrian berinisiatif bertanya lagi. “Kamu sudah menikah, kan? Mana suamimu? Eh aku lupa kalau ikhwan sama akhwat nggak boleh berduaan begini, ya.” Kata Adrian tak enak hati. “Mudah-mudahan tidak termasuk berkhalwat karena kita lagi di taman, banyak pengunjung disini.” Kata Dina mencari pembenaran. Ya mudah-mudahan mereka tidak dicap sedang berduaan.
Adrian mengangguk.
“Aku belum menikah.” Ujar Nanda membuat Adrian terkejut. Dia kira seorang Dina tidak akan sulit mencari suami, bahkan banyak pria yang akan berebut untuk meminang Dina, hanya Adrian tidak tahu kenapa? “Kenapa?” Ck! Dina berdecih di dalam hati. Masih tanya kenapa? Sedangkan jawabannya ada di depannya sekarang. Adrian. Dia jawabannya. Dina belum bisa melupakan semuanya. Dina masih menyimpan cintanya.
Tapi, Dina tak berani jujur. “Belum ketemu jodohnya.” Sahutnya ringan kemudian Nanda terkekeh. “Bahkan banyak pria yang mungkin ngantri buat menikahi kamu, Dina.”
Ah kesal rasanya. Nanda memejamkan matanya erat, kemudian tangannya terkepal kuat. Ia harus sabar menghadapi laki-laki yang seperti tidak punya salah ini alias wajah tanpa dosa.
“Bisa jadi, tapi memang belum jodoh, Dri, gimana dong?” Tantang Dina tanpa menoleh. “Oh iya, istrimu mana? Kenalin dong. Dan aku baru inget Dri dia pasti cemburu lihat kita duduk berdua.” Kenapa tidak kepikiran sih? Dari tadi ngobrol berdua Dina seolah lupa kalau ada orang lain yang akan cemburu karena posisinya begitu dekat dengan Adrian. Dina menoleh ke kanan dan kiri, ke belakang juga menatap ke depan untuk mencari seseorang yang tidak lain adalah istri dari Adrian.
Adrian terkekeh, kemudian wajahnya berubah sedikit serius. “Dia sudah meninggal dua tahun yang lalu.” “Hah?” Wajah Dina menyiratkan meminta kepastian. Benarkah? Adrian mengangguk. “Aku membesarkan Rivano seorang diri. Dibantu ART sih.” Kekehnya. “Dia tumbuh hanya mengenal seorang Ayah. Meskipun sempat setahun bersama Ibunya, tapi aku yakin mungkin dia udah lupa gimana wajah Ibunya.”
Kejutan yang ke sekian dari seorang Adrian seketika membuat Dina bungkam bukan main. Terlalu banyak kejutan membuat Nanda semakin merengut tak tahu malu.
‘Yaa Allah…’ lirihnya dalam hati.
Disaat mereka tengah mengobrol berdua, Rivano kembali ke pangkuan Adrian yang dibubuhi kecupan sayang di kepalanya, membuat hati Dina menghangat. Adrian, berubah menjadi sosok dewasa, gelarnya bertambah menjadi seorang ayah.
Dina mengerjap, kemudian matanya ia alihkan ke arah depan karena gugup.
Seorang jasa foto menghampiri mereka. “Permisi, Pak, Bu, jasa foto keluarganya.” Ucapnya sambil memperlihatkan sebuah sampel foto keluarga bahagia. Mungkin.
Adrian menoleh pada Dina yang seperti salah tingkah. Usil, Adrian menyetujui laki-laki paruh baya itu memintanya mengabadikan momen mereka bertiga. “Boleh, Pak!” “Eh!” Nanda tertegun. Apaan sih? Dia jadi malu. Meskipun enggan, Dina tetap berfoto hingga tiga kali.
Hingga tak terasa, dua jam sudah mereka duduk berdua disana. Nanda harus pamit karena hari sudah siang. Niatnya pergi ke taman hanya untuk mencari inspirasi, malah ditakdirkan bertemu masa lalu.
“Aku pamit, ya.” Katanya. “Hei ganteng!” Nanda memanggil Rivano yang tengah asyik dengan ponsel papanya. “Kakak pulang dulu, ya.” Adrian mengerutkan kening ketika Dina menyebut dirinya kakak. Hei! Terlalu muda itu. Dia saja dipanggil ayah. “Ante! Bukan Kakak!” Protes Adrian yang berhasil membuat Dina mencebik. “Kan aku belum nikah, suka-suka dong!” Sungutnya kesal.
Dina hendak beranjak, namun kata-kata Adrian membuatnya membeku di tempat. “Kalau begitu, menikahlah denganku, Dina. Menjadi istriku, menjadi Ibu untuk Rivano!”
Tamat.
Cerpen Karangan: Latifah Nurul Fauziah ipeeh.h (instagram)