Ceritaku memang seperti drama korea ataupun film-film romansa cinta pada umumnya. Waktu umurku masih seumur jagung, pertama kali aku menjadi santriwati cilik di Pesantren Al-Barokah namanya. Ustadz Ajuk adalah guru terbesar di Pesantren itu, santiawan dan santriwati disana cukup banyak, disana aku belajar banyak ilmu yang bisa aku amalkan sampai hari ini. Santriawan dan santriwati disana digabungkan menjadi satu saat mengaji dari mulai anak-anak, remaja dan dewasa. Saat adzan magrib berkumandang Pesantren itu begitu ramai oleh semua santri, ada yang terbirit-birit berlari karena baru keluar dari sarangnya, ada juga yang mengentri wudhu berjejer dari barat ke timur.
“Tidak pernah bosan kamu melamun, May?” Andin yang tiba-tiba mengagetkanku. “Siapa yang melamun? Orang aku lagi dzikir.” Jawabku “Dzikir? Ya kamu dzikir yang isinya, minta jodoh 3x.” Memperagakan dengan nada dzikir “Kamu ini pemimpi yang hebat.” Lanjutnya mengejekku “Ahhhhhh …, kamu ini penghancur mimpi.” “Tak pernah bosankah kamu menatap bintang itu?” tanya Andin sedikit ingin tahu “Bintang?” Tanyaku heran “Iya bintang, bintang di Pesantren ini hahaha.” “Ah sudahlah, bintang itu milikku dari Allah.” Jawabku sambil tersenyum manis dan segera mengikuti barisan untuk shalat berjama’ah.
Waktu itu adalah shalat yang berbeda untuk pertama kalinya sang Ustadz mengutus muridnya untuk menjadi imam nama laki-laki itu adalah Shaleh. Santri terbaik yang hafal semua jenis kitab beserta artinya. Nama yang sesuai dengan akhlaknya tak heran jika dia disukai banyak orang dari ibu-ibu sekalipun dan aku juga hehe…
Cintaku ini hanyalah sebatas cinta monyet, cinta yang tumbuh di era tahun 2008 ketika aku masih kelas SMP. Malu malu kucing, itulah istilah Andin meledekku. Tapi ada hal yang sangat aku sesalkan, Shaleh adalah sahabat dekat kakakku dan sudah berusia lebih tua dariku. Sulit bagiku untuk dekat dengannya, yang ada aku diledekin kakakku karena dibilang kecentilan.
Waktu demi waktu pun terus berlalu, suatu hari ada santriwati baru yang masuk ke Pesantren itu, namanya Dini, berparas cantik, hijabers, dan tutur katanya yang lembut. Semua mata tercengang ketika sang Ustadz mengenalkannya.
“Husss… !! Zinah mata.” Kata Aldo, salah satu santriawan di Pesantren. “Husss …!! Cuci mata.” Balasnya santai “Ehmmmmmm !!” Ustadz mengeluarkan suara geramnya Maka semua mata kembali normal, semua santriawan dan santriwati mulai mengaji dan Dini dipersilahkan duduk. Aku agak sedikit iri sih dengan kecantikannya, singkat cerita semua laki-laki disana pun terpesona dengannya, seperti umpan lalu mendapatkan ikan. Semua berlomba saling memperkenalkan diri padanya dengan mencoba menjabat tangannya
“Namaku Aldo.” Menyodorkan tangannya “Dini.” Menutup kedua tangannya dengan senyuman “Loe gimana, kan bukan muhrim kok pake jabat tangan segala.” Saut irfan Memang Aldo dan Irfan adalah dua santriawan yang cukup kocak dan sulit mendapatkan pacar karena tingkahnya yang selalu konyol, upppssss … kan di Pesantren ini dilarang pacaran hehe. Namun santriawan dan santriwati kami sangatlah terjaga dari hal-hal yang dapat merusak agama, tak hanya pengawasan ketat dari sang guru ngaji kami juga mendapat pengawasan ketat dari orangtua.
“Aduh gawat, tadi aku habis makan terong.” Ucap Andin sedikit menyesal. “Terus?” Jawabku sambil berjalan dengan tatapan lurus ke depan. “Kira-kira siapa ya yang dipilih untuk baca Al-Qur’an malam ini sama Ustadz.” “Memangnya ini malam apa?” Tanyaku kepada Andin dan seketika langkahku berhenti “Malam senin.” Jawabnya “Waduh aku juga ga sempet latihan Qiro’ah.” Menepuk jidatku seketika “Ya sudah kita cepetan ke mesjid yuk May, kita berdo’a sama Allah mudah-mudahan bukan kita yang dipilih Ustadz.” Ajak Andin padaku sambil memboyong tanganku dan kita hendak lari terbirit-birit menuju mesjid di Pesantren itu.
Sesampainya disana keadaan Mesjid begitu ramai oleh para santri yang hendak latihan qiro’ah. Ada yang berlatih sambil berjalan mondar mandir santai, ada yang berlatih saling bergiliran dengan temannya, dan ada pula yang berlatih seperti hendaknya qiro’ah handal.
Aku terhenti seketika melihat pemandangan yang begitu indah, Shaleh adalah nama yang indah dengan paras tampan. Senyum dan lesung pipinya senantiasa membuat aku jatuh hati padanya. Entah kenapa alasanku menyukainya karena dia dapat diyakinkan mampu menjadi imam terbaik yang diberikan Allah untukku. Terlalu banyak kata-kata cinta yang aku tuliskan dalam dairyku untuknya. Dia adalah salah satu alasan yang menarikku untuk berada di Pesantren ini dan aku pun lantas menarik Andin mengaji di Pesantren ini agar aku memiliki teman.
“Buka surat Al-Baqarah ayat 50.” Perintah Ustadz kepada santrtiawan dan santriawatinya. Semua santriawan dan santriwati lantas membuka Al-Qur’annya masing-masing dengan wajah tegang dan takut seperti yang hendak aku rasakan.
Seperti biasa mengaji di Pesantren ini memang dituntut untuk menghafal semua tentang agama islam, makanya setiap malam dan subuh memiliki jadwal pembahasan masing-masing. Seperti sekarang malam senin adalah jadwal membaca Al-Qur’an yang dimana semua santriawan dan santriwati akan diperintahkan membacakan Al-Qur’an dengan surat dan ayat yang telah ditentukan oleh Ustadz, hal itu dilakukan agar kita kelak mampu menjadi qiro’ah yang baik meski pada kenyataannya kita menjadi seorang pembisnis sekalipun ketika dewasa nanti. Semua dirandom dan dipilih satu orang untuk membacakan Al-Qur’an dan yang lain mendengarkan dengan senyap.
“Maya silahkan bacakan.” “Sa… sa…saya Ustadz? Tanyaku gugup “Iya, Kamu.” “Tamatlah riwayatku, aku kan ga bisa Qiro’ah, nafasku terlalu pendek.” Gumamku dalam hati. Aku mulai panik dan keringat pun mulai membanjiri tubuhku.
Tak lama saat aku membacakan ayat pertama yang diperintahkan, suaraku tiba-tiba serak seperti ada yang menahan. ”Waduh kenapa ini, padahal kan yang habis makan terong si Andin, kenapa malah aku yang serak.” Bisikku dalam hati. “Kamu bisa baca Al-Qur’an? Tanya ustadz dengan tegas padaku “Bisa Ustadz.” “Coba ulangi sekali lagi.” Perintahnya padaku dengan nada sedikit lebih tinggi dari sebelumnya.
Malam itu aku menjudge adalah malam terburuk bagiku, tetap saja aku tak bisa membacakan ayat yang diperintahkan Ustadz, aku tak bisa menjadi qiroah yang baik untuk Pesantren ini. Malu rasanya menunjukkan ketidak mampuanku di depan santriawan dan santriwati lainnya. Terlihat pada saat itu semua mata tertuju padaku dan terlihat Ustadz pun ikut kecewa padaku, mungkin dia malu juga ada santrinya yang tak bisa membaca Al-Qur’an dengan lugas dan lancar seperti yang lainnya.
“Dini silahkan baca.” Perintah Ustadz kepada Dini untuk menggantikanku “Baik Ustadz.” Jawabnya sigap
Dari ayat pembuka saja semua santriawan dan santriwati dibuat terpukau oleh suaranya. Andin pun sampai tercengang dengan mulut sedikit terbuka. Lantunan ayat yang dia bacakan begitu indah dan benar ilmu tajwidnya. Seketika akupun menyinggung bahu Andin yang hampir tak berkedip mendengar Dini membacakan Al-qur’an.
“Napa sih?” Tanya Andin padaku “Ga usah segitunya kali lihatnya.” Pintaku pada Andin “Paras cantik, suara cantik, paket komplit.” Ucap Andin seolah memanas-manasiku. Saat itupun aku merasa kacau dan bete, “sungguh perbedaan aku dan dia bagaikan langit dan bumi.” Bisiku dalam hati sambil menghelakan nafas.
Aku berjalan dengan pandangan kosong menuju kamar di Pondok Pesantren itu. Namun tiba-tiba saja jalanku terhenti ketika aku melihat Shaleh menghampiri Dini. Entah apa yang mereka bicarakan saat itu, tapi pertemuan mereka membuatku hendak cemburu akut.
Sesampainya di kamar, aku mulai menuliskan kejadian hari ini dengan tubuh tengkurap di kasur tua kepunyaanku. Semua tentang kisah cintaku terkunci rapat dalam diaryku yang berukuran kira-kira 9×7 cm atau sebesar buku sekolahku.
“Maya ayo bangun, sebentar lagi adzan subuh kamu kan harus mengaji.” Andin berusaha membengunkanku dengan menggunjing-gunjing tubuhku dan menarik selimutku “Aku hari ini absen aja ya Ndin.” Rayuku pada Andin “Kamu kira ini sekolahan, kalo kamu absen nanti masuk surganya absen juga, mau?” Tanya Andin padaku “Iya iya aku berangkat.” Sambil sesekali menguap karena separuh nyawaku masih tertinggal di bantal.
Jarak 50 meter sudah terdengar adzan di Pesantren itu, semua santiawan dan santriwati terlihat sedang antri wudhu. “Aduh.” Tubuhku terguncang ketika aku ditabrak oleh seseorang “Jalan itu pake mata bukan pake dengkul.” Ucapku sambil menepuk-nepuk bahuku tanpa melihat wajah seseorang disana. “Maaf maaf aku ga sengaja May.” Seseorang dengan suara merdu itu ternyata Shaleh. “Iya gapapa.” Seketika amarahku terkubur dan terus menatap wajahnya dengan senyuman paling ampuh. “Woooyyy udah komat tuh, kamu belom wudhu.” Andin mengagetkanku yang sedang melamun. Aku pun bergegas mengambil wudhu dan memasuki shaf wanita.
Hari ini adalah hari minggu, seperti biasa semua santriawan dan santriwati seminggu sekali ditugaskan membersihkan area Pesantren. “May tuh bintangmu lagi ngelap kaca, bantuin gih.” Perintah Andin padaku “Malu.” Jawabku singkat “Helllooooowww, seorang Maya yang suka bertingkah konyol bilang malu, mimpi apaan gue semalem.” Teriak Andin meledekku
Tiba-tiba dari arah yang sama datang wanita hijabers tak lain adalah Dini. Mataku menatap tajam dengan sedikit kesal. Aku lemparkan kain pel dan berjalan ke arah Shaleh dan Dini. Aku tarik-tarik telingaku mencoba menguping pembicaraan mereka sambil berpura-pura mengelap kaca.
“Suara kamu bagus ketika membacakan ayat Al-Qur’an.” Puji Shaleh padanya “Suara kamu bagus dan merdu ketika kamu jadi imam.” Balasnya memuji Mereka saling menatap dan tersenyum-senyum malu bak seorang romeo dan juliet yang lagi kasmaran.
“Ndin Pak Ustadz pernah bilang kalo zinah itu banyak jenisnya, ada zinah apa aja Ndin?” Tanyaku teriak pada Andin dengan pandangan melirik Shaleh dan Dini “Ada zinah mata, dan bla bla bla” teriak Andin menyebutkan jenisnya seolah faham kodeku Seketika pandangan merekapun terhenti, mendadak salah tingkah dan langsung berpencar mengambil kegiatan masing-masing.
Suatu hari, ketika aku hendak mencari angin malam di sepanjang jalan dengan menatap keatas bintang disana. Aku duduk di sebuah bangku kecil yang dihiasi oleh lampu malam. Aku ayunkan kedua kakiku dan sesekali melirik kesana kemari. Mataku menerawang ketika aku hendak melihat seseorang duduk berduaan. “OMG, ternayata Shaleh dan Dini?” “Ngapain mereka malam-malam begini berduaan di taman” Bisikku. Tapi aku tidak mau semakin sakit hati melihat mereka asik berduaan dan aku pun lantas pergi dari tempat itu.
Keesokan harinya seisi Pesantren dibikin geger dengan kabar buruk, katanya Shaleh dan Dini hendak akan menikah. Tubuhku lemas mendengar kabar tersebut, rasanya bintang yang aku simpan diatas sana telah jatuh ke tangan orang lain.
Semua beramai-ramai mendatangi Shaleh untuk mendengar kebenarannya, dan benar saja dia membenarkan hal itu dan akan melangsungkan pernikahan. Semua laki-laki disana lantas merasa cintanya bertepuk sebelah tangan begitupun cintaku pada Shaleh. Meski umurku masih terlalu kecil namun aku kira dia mampu menungguku untuk beberapa tahun ke depan sampai aku lulus sekolah.
Merasa menjadi wanita gagal karena tidak mampu memikat seorang laki-laki pujaan hati. Bisa dibayangkan betapa hancurnya diriku menerima kenyataan itu, aku pun duduk dengan pikiran kosong, ingin rasanya meneteskan air mata namun aku terlalu malu oleh orang-orang sekitar. Tiba-tiba Andin datang menghampiriku. Dia duduk di sebelahku sambil mengusap-usap bahuku.
“Kamu yang sabar yah May” “It’s okey ko.” Ucapku berpura-pura tegar dengan sedikit senyuman “Wajahmu tidak bisa berbohong, aku bisa meresakan kesedihanmu saat ini, namun kamu harus percaya May, bahwa Allah telah menyiapkan laki-laki yang lebih baik dari dia, karena sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Allah lebih tau siapa yang pantas menjadi pendamping kamu.” Andin mencoba menasihatiku. “Kamu benar, hanya saja bintang disana terlalu banyak, entah mana yang akan Allah berikan padaku.” Ucapku sambil menatap langit
Mulai saat itu aku memutuskan untuk belajar mengaji lebih giat dan melupakan bintang di Pesantren ini. Pedih hatiku ini tidak akan sebanding dengan kepedihan siksa api neraka jika aku tidak bisa menyempurnakan agamaku.
Beberapa bulan setelah kejadian itu, Shaleh dan Dini tidak lagi menjadi salah satu murid di Pesantren Al-Barokah itu karena mereka telah menikah. Rasanya suasana disana sedikit lebih berbeda atau mungkin karena aku yang sedang patah hati. Tapi semenjak hari itu, aku mencoba menjadi lebih dewasa dan lebih banyak mempelajari ilmu agama daripada ilmu percintaan.
Cerpen Karangan: Yeni Komariah Blog / Facebook: yeni komariah