Namaku Aisyah. Sudah sekitar tiga tahun aku tinggal bersama keluarga angkatku. Bukan angkat karena saudara, tapi karena aku harus mencari tempat inap untuk sekolah. Dan aku bukan berasal dari anak orang kaya yang bisa menyewa kos atau perumahan. Karena uang saku saja aku tidak pernah diberikan.
Aku tinggal dengan keluarga yang begitu baik. Yang terdiri dari ayah, ibu, dan 2 anak laki-lakinya. Aku biasa menyebut 2 anak itu dengan mas Rian dan mas Toni. Mereka berdua memiliki sifat yang cukup berbeda. Mas Toni adalah laki-laki pecinta rebahan. Sedangkan Mas Rian, anak yang suka bekerja. Ia rajin beribadah. Dan bahkan, kami jarang berbicara.
Namun, harus kamu ketahui. Bahwa aku mengagumi Mas Rian. Tapi bukan berarti aku suka mengintip atau memandangnya diam-diam. Tidak!. Kami sama-sama dibatasi iman kami masing-masing. Ia hanya menyapaku ketika pagi hari, atau ketika memintaku membuatkan sesuatu. Dan aku suka dimintai bantuan olehnya. Dengan hati yang sangat iklas dan lapang dada aku bisa menerima pemintaannya.
Dan mulai hari ini, aku harus menghitung waktu dengan mundur. Satu pekan lagi, aku akan meninggalkan rumah ini. Juga meninggalkan Mas Rian. Bukan karena ada masalah, tapi karena sekolahku telah usai. Dan aku, akan pergi ke luar kota untuk bekerja. Aku ingin bisa mengungkapkan perasaanku sebelum pergi. Tapi aku tidak bisa. Aku tidak bisa menjadi khadijah R.A. yang mampu mengungkapkan perasaannya pada baginda rosul. Aku hanya sebatas wanita hamba Allah yang lemah. Aku tidak mampu.
Seminggu ini, kuhabiskan waktu untuk sekedar membungkus kado-kado kecil dariku untuk Mas Rian. Karena terlalu hilang cara, akhirnya kuputuskan untuk menulis surat dan kutinggal di dalam bekas kamarku. Ada 3 kotak kado yang kutinggal di sana. 3 kado itu berisi al-qur’an, koko, sarung dan peci. Semua barang aku bungkus terpisah kecuali sarung dan peci. Surat yang kutulis berasa di tengah al-qur’an. Kuselipkan dengan kuat. Kupastikan tidak jatuh jika tidak ditarik.
“Buk, pak, saya pamit dulu”. Ucapku pada ayah dan ibu. Kucium tangannya, dan ibu memelukku. “Jangan lupa dengan kami ya”. Suara ibu membisik di telingaku di antara isak tagisnya. “Insyaallah saya tidak akan lupa bu”. Jawabku. “Mas, aku pamit dulu”. Ucapku pada Mas Toni. Yang kemudian ia tersenyum. “Hati-hati di luar sana”. Jawab Mas Toni. “Iya, Mas Toni berubah. Jangan jadi pecinta rebahan terus. Nanti jodohnya dipendem Allah”. Jawabku meledek. Ia tertawa, disusul tawa ayah, ibu, dan Mas Rian. Aku melihat Mas Rian tertawa, dan aku menikmatinya. Aku fikir, hari ini akan jadi hari terakhir aku melihat tawa Mas Rian.
“Mas, aku pamit”. Ucapku pada Mas Rian. “Iya. Kamu jaga diri”. Jawab Mas Rian. “Setelah aku pergi, Mas Rian boleh deh pake kamar itu lagi”. Ucapku sambil tersenyum. “Tentu saja, toh memang kamarku”. Mas Rian tertawa. “Mas juga jangan sampai lupa baca al-qur’an yang rajin”. Ucapku yang terakhir. “Enggak diingetin mah juga ingat Syah”. Jawab Mas Rian. Aku tersenyum.
Setelah selesai, aku lalu masuk ke mobil yang aku pesan untuk mengantarku pulang. Rencana, aku akan pulang dulu ke kampung halaman satu hari. Dan baru berangkat ke luar kota.
Untuk surat itu, aku hanya berharap Mas Rian segera menemukannya. Dan jika hari itu ketika Mas Rian menemukan surat itu dan ternyata sudah ada orang yang mengisi hatinya, maka aku iklas. Dan jika ternyata surat itu ternyata tidak pernah terbaca oleh Mas Rian, maka aku juga iklas. Hanya Allah S.W.T. yang tahu jawaban dari do’a dan usahaku.
Cerpen Karangan: Esfanida Nasa Famila Namaku Asa. Tinggal di Jeruk, Bandar, Pacitan. Mau tau lebih lanjut follow my ig ya @nashafamila12. Terima kasih.