Pagi cerah. Seperti biasa aku datang ke kantor selalu lebih awal dari karyawan lainnya, untuk mengerjakan setiap tugas dan tanggung jawabku sebagai office boy. Membersihkan seluruh ruangan kantor dan menyiapkan seluruh kebutuhan yang diperlukan setiap hari. Aku hanya seorang diri bekerja sebagai office boy. Walau kompensasi atau imbalan yang aku terima tidak sesuai dengan pekerjaan yang seabrek aku terima. Meski undang-undang tenaga kerja telah direvisi beberapa kali untuk mengatur kesejahteraan karyawan, tetap saja belum memberikan dampak yang nyata bagi karyawan sendiri. Apa mau dikata semua pekerjaan harus aku lakukan, yang penting halal. Sebab sekarang ini mencari pekerjaan sangatlah susah, persaingan semakin ketat. Apalagi aku hanya lulusan SMA, masih untung aku mendapatkan pekerjaan ini daripada harus mengganggur, karena orangtua tidak mampu lagi untuk membiayai kuliah, sebab adik-adikku juga harus sekolah. Aku harus bersyukur atas apa yang aku dapatkan dan nikmati sekarang ini.
Selesai mengerjakan tugas, aku biasa duduk di pantri yang kebetulan berada dekat ruangan satpam. Jam dinding di ruangan menunjukkan pukul 07.00 WIB. Di kantor hanya ada aku dan satpam. Biasanya direktur dan karyawan lainnya datang agak nanti, karena jam kerja dimulai pukul 08.00 WIB. Aku pun santai di ruangan sambil membereskan kotoran yang masih tercecer. Kebetulan pantri menghadap ke jalan raya, jadi aku dengan leluasa dapat melihat lalu lalang orang atau kendaraan. Kantorku berada berderet dengan toko-toko yang berdiri di pinggir Jalan Mayor Syafrie Rahman, yang merupakan jalan utama di kotaku.
Di emperan toko obat samping kantor yang jaraknya kurang lebih lima meter, dua buah bola mata menembus kaca pantri hingga ke dalam dada. Seketika hatiku teraduk-aduk. Apalagi ketika senyuman itu mengembang, sungguh menawan hati. Tak pernah aku bayangkan, pagi yang sungguh mengencangkan otot-otot di seluruh tubuh dan mengalirkan aliran darah di dalam nadi begitu cepat. Pagi yang membuat jantung semakin berdetak kencang. Aku terpesona tatapan mata dan senyuman itu.
Aku mencubit tangan untuk membuktikan bahwa apa yang telah aku lihat bukan sedang bermimpi. “Aduh!” teriakku karena terlalu keras mencubit. “Ini nyata!“
“Ada apa, rul?” tanya satpam kantor yang berlarian ingin mengetahui kejadian yang sedang menimpaku. “Tidak ada apa-apa kok pak, cuma kesenggol air panas dari gelas,” jawabku malu menyembunyikan kebenaran dari kekonyolan tingkah yang baru saja aku lakukan. Karena apabila aku mengatakan sebenarnya yang terjadi, tentu satpam itu akan meledek dan membuat malu diriku sendiri.
Mataku tak lepas dari tubuh yang berdiri di emperan toko obat samping kantor. Sosoknya anggun. Rambutnya hitam berkilauan. Bibirnya mungil. Bola matanya bersinar indah.
“Siapakah dia, yang telah berani menggugah rasa yang selama ini terkubur?” kataku dalam hati.
Langkahnya gemulai saat memasuki toko obat yang berada tepat di depan tempatnya berdiri. Sungguh seperti seorang puteri keraton yang sedang berjalan-jalan di puri kedaton.
Angin semilir menyelinap di antara etalase dan jendela pantri. Membuat suasana hati semakin bergairah, merasakan kembali perasaan yang terkubur bertahun-tahun lamanya. Tatapan mata dan senyuman manis itu yang kini telah mencairkan hati. Sungguh anugerah yang tak terkira jika bisa mengenalnya, apalagi sampai memilkinya. Sebab luka yang tertanam bertahun lamanya tak ingin aku alirkan kembali.
Lamunanku pudar saat seorang karyawan menepuk pundak.
”Hayo! Lagi ngalamunin apa?” tanya Dika ”Eh, mas Dika ngagetin aja, ngak ngalamun kok mas,” jawabku tersipu
Sore hari setelah seluruh karyawan pulang kantor, aku kembali membereskan dan merapikan ruangan kerja karyawan. Tapi hati ini seharian gundah memikirkan dirinya yang telah menikam hati.
Senyumnya membuka jendela hati yang terkunci luka. Dengan gemulai menyusup di antara jeda jendela dan pintu kantor yang berderet dengan toko–toko Jalan Mayor Syafrie Rahman. Semilir mengitari ruang kosong di hati. Sungguh sejuk dan segar rasa yang tercipta. Mengisi hampir separuh nafasku dengan penuh semangat. Semoga rasa ini tidak pernah salah lagi.
Sungguh tak pernah aku bayangkan akan bisa kembali merasakan rasa yang lima tahun lalu terkubur. Sebab rasa itu tak pernah aku rasakan lagi. Lenyap bersama waktu. Mungkin karena diriku tidak mau mengenangnya atau mengukirnya menjadi prasasti di dalam hati. Mungkin terlalu egois untuk tidak mau menerima semua kenyataan yang terjadi saat itu. Karena sakit yang terasa sungguh telah melukai hati. Aku limbung karena tak dapat berbuat banyak untuk menyelamatkan perasaan.
Diriku dikhianati. Dirinya memilih cinta berlimpahan materi ketimbang cinta yang lahir dari murninya nurani. Memang kuakui diriku tidak seperti lelaki yang dirinya impikan. Sebenarnya sah-sah saja apabila dirinya memilih lelaki yang pantas untuknya. Sekarang bukan lagi seperti zaman sebelum RA Kartini, lelaki berhak menentukan pilihan sesuka hati. Sekarang wanita pun telah mempunyai porsi yang sama dengan laki-laki untuk menentukan pilihannya.
Kenapa diriku merasa seperti dipecundangi, ataukah diriku memang pantas untuk dipencundangi atau memang diriku seorang pecundang? Entahlah. Tapi sungguh aku merasakan sakit yang tak terperi. Sungguh kematian cinta yang tak pernah kuinginkan.
Aku biarkan semua mengalir menganak sungai melintasi muara bahkan ke lautan lepas sekalipun. Aku biarkan terbang melintasi samudera dan pegunungan yang luas. Aku biarkan sayapnya berhenti ketika lelah, karena tak satupun yang mampu menjadi rumah bagi hati. Mungkin akan kubiarkan menjadi perjaka tua karena telah menyerah tak pernah menemukan cinta sejati. Ataukah sebenarnya diriku takut untuk menerima rasa itu lagi? Padahal selama ini diriku selalu berada di antara bunga-bunga yang bermekaran bak jamur yang tumbuh di musim penghujan. Tapi tak satupun sosoknya mampu menggetarkan hati.
Hari itu seharian di kantor aku tidak merasa nyaman. Selalu terbayang dirinya. Hampir pekerjaan yang aku kerjakan berantakkan karena konsentrasi buyar. Untung semuanya bisa aku atasi dengan segera sebelum semua menjadi tambah runyam.
Malam harinya tidurku pun tak nyenyak. Tatapan mata dan senyumannya tidak mau keluar dari kamarku. Dirinya telah merusak selera tidurku. Lebai! Tapi itulah yang saat ini sedang aku rasakan. Aku habiskan malam di depan komputer untuk bercerita tentang perasaan yang saat ini kurasakan. Karena dirinya telah memporakporandakan hati.
Esok harinya aku kembali melakukan aktivitas rutin, walau mata merasakan kantuk yang sungguh luar biasa karena semalaman tidak bisa tidur. Hanya memikirkan dirinya: wanita yang tak pernah kuharapkan kehadirannya.
Tidak seperti biasanya aku berada di luar ruangan kerja, mondar–mandir. Akhirnya aku putuskan untuk langsung ke misi utama, yaitu menyelidiki siapa wanita yang telah berani mengganggu saat ini. Apakah Tuhan telah sengaja mengirim tulang rusukku yang sekian lama terpisah tak tahu entah di mana dan baru sekarang akan dipertemukan, atau dia sengaja diutus dari negeri antah berantah yang tak jelas di mana keberadaannya hanya untuk menggangguku dan kaum adam lainnya? Ataukah dia adalah obat yang selama ini aku cari?
Cerpen Karangan: Herlambang Kusuma Wardana Blog / Facebook: Lambang Pisungsung Herlambang Kusuma Wardana, lahir di Klaten. Sekarang tinggal di Semarang. Karyawan swasta. Puisinya dimuat di beberapa antologi puisi bersama. Cerpennya juga dimuat di cerpenmu.com. Dan juga menulis di Kompasiana.