Pagi yang redup karena mendung masih setia menaungi kotaku. Semalam hujan turun menumpahkan air dari langit namun tampaknya akan terus berlanjut pagi ini. Begitulah di Kota Dingin ini jika sudah musim penghujan. Itu yang aku suka dari kota ini: hujan sepanjang hari. Hujan itu rahmat dan semalaman kota ini diliputi rahmat. Semoga aku juga mendapatkan rahmat itu.
Dengan agak mengantuk aku berangkat ke kampus untuk kuliah jam pertama. Semalam aku tidur cukup larut malam karena harus menyelesaikan makalah untuk presentasi pagi ini sehingga tak ada alasan untuk tidak kuliah hari ini.
“Kalau tidak presentasi makalahnya, berarti tidak lulus,” kata dosenku yang masih kuingat dengan jelas. Itu adalah kontrak kuliah yang simple tapi killer. Tentu saja aku tak berani berspekulasi dengan mengabaikan peringatan itu. Begitu pula semua teman sekelas.
“Sudah siap tampil?” tanya Dwi. “Insyaallah,” jawabku. “Kamu tampil dulu ya?” kata Dwi. “Lho, kamu juga waktunya tampil?” “Iya. Kan kita pasangan serasi?” jawab Dwi sambil tertawa. “GR lho aku…” jawabku. “Boleh, asal siap patah hati,” kata Dwi sambil tersenyum. Senyum manis yang menambah kecantikannya. Senyum yang selalu terbawa dalam tidurku.
Aku dan Dwi semakin dekat. Tugas demi tugas kuliah mendekatkanku dengannya. Ia teramat sering dalam satu kelompok dengan aku untuk tugas-tugas kuliah. Kerja kelompok demi kerja kelompok mempertemukanku denganku pada urusan di luar tugas kuliah, urusan pribadi.
“Nonton yuk hari Sabtu,” ajakku di suatu sore sehabis kuliah di akhir pekan. “Boleh, di mana?” jawabnya. “Kelud, hahaha,” jawabku sambil tertawa. “Lho emangnya kenapa nonton di Kelud?” ujarnya santai. “Ah, kamu jangan nonton di Kelud,” kataku. “Kenapa?” tanyanya. “Gak pantas,” jawabku. “Itu kan memang bioskop kelas mahasiswa?” “Iya sih, tapi di Balkon. Kalau di bawah jangan,” jawabku serius. “Kenapa?” “Gak enak. Kadang ada keributan.” “Kok bisa terjadi keributan?” “Macam-macamlah sebabnya. Kan yang di bawah itu kelas misbar. Mungkin kesenggol sedikit saja, trus tersinggung dan ribut. Berkelahi kayak di film yang lagi ditonton,” jelasku. “O…” katanya agak terkejut. “Bulat,” sahutku.
Dinoyo Theater malam itu begitu banyak pengunjung yang akan menonton film yang diputar hari itu. Kebanyakan muda-mudi. Beberapa tampak berpasang-pasangan. Mungkin juga mereka memang pasangan kekasih. Aku bisa melihat gelagat mereka seperti saling bergandengan tangan dan kemesraan-kemesraan kecil lainnya. Dan mungkin hanya aku dan Dwi yang tampak tidak mesra sama sekali.
“Tunggu di sini, aku beli karcisnya,” kataku. “Ini,” katanya sambil menyodorkan selembar uang biru. “Yang ngajak yang traktir,” kataku sambil menolak uangnya. Dia tersenyum dan memasukkan lagi uangnya ke saku jaketnya.
“Sering nonton di sini?” tanya Dwi ketika aku sudah mendapatkan 2 karcis dan kembali ke ruang tunggu dan duduk di sampingnya. “Sering,” jawabku. “Sering? Berarti kiriman uang dari orangtuamu banyak ya?” “Enggak juga. Kiriman ortu pas-pasan saja dan tentu tidak untuk nonton. Aku kerja. Lumayan ada sedikit salary.” “Lho iya ta? Kerja apa?” tanyanya. “Freelance saja, di penerbitan.” “Bagian apa?” tanya Dwi lagi. “Editor,” jawabku. “Wuik, keren,” pujinya. “Masih asisten editor, belum keren,” ujarku. “Kamu sudah dapat kerjaan. Itu keren,” kata Dwi lagi. “Aku enggak berani ngajak kamu nonton kalau aku enggak kerja,” kataku. “Maksudmu?” tanya Dwi “Gak ada maksud apa-apa,” jawabku sambil cengingisan. “Lho?” “Maksud hati memeluk kamu, apa daya kamu gak mau,” candaku. “Bisa aja, aku mau kok. Tapi kamu harus ngelamar aku dulu,” jawab Dwi. “Wah, berat syaratnya,” kataku. “Masa?” canda Dwi. “Enggak ah, aku nunggu patah hati saja,” kataku.
“By the way, ayo cari makan dulu. Lapar nih…” ajakku pada Dwi setelah nonton film itu. “Waduh aku masih kenyang nih,” kata Dwi. “Makan dikit aja,” ujarku. “Gak usahlah. Nanti aku gendut kalo makan mulu,” jawabnya. “Gak apa-apa gendut. Kamu tetap cantik kok meski gendut,” ujarku sambil tertawa. “Ih…” ujarnya sambil mencubit lenganku.
Tak terasa kuliah sudah memasuki semester enam. Jika lancar, setahun lagi aku lulus. Tugas-tugas kuliah semakin banyak dan berat. Namun, aku tetap santai saja menjalani kuliah. Mungkin karena ada Dwi yang menjadi spiritku. Di mana ada Dwi, pasti ada aku. Itu kata teman-temanku. Dan mereka mengira kami sudah pacaran. Padahal sebenarnya tidak. Mungkin Dwi tahu aku menyukainya tapi aku memang tak pernah mengatakannya. Aku juga merasa dia menyukaiku tapi aku selalu mengingkarinya. Aku rasa aku hanya GR saja. Mungkin aku hanya kekasih bayangan saja baginya.
Dan semester tujuh telah tiba. Di semester ini kuliah tinggal menyisakan beberapa SKS saja. Tinggal PPL atau magang dan KKN. Dan saat itulah yang memisahkan aku dan Dwi. Kami tak mungkin minta ditempatkan di tempat yang sama. Sejak itu intensitas pertemuan aku dan Dwi semakin berkurang. Aku jarang bertemu dengannya semenjak KKN dilaksanakan. Desa tempat KKN antara aku dan Dwi sangat saling berjauhan.
Dan ketika menempuh skripsi pun jarang bertemu karena beda pembimbing. Jadwal konsultasi pun beda hari. Sempurna sudah bagiku jalan untuk tidak lagi bersama Dwi. Waktu telah membentangkan jarak antara aku dan Dwi untuk sebuah perpisahan.
Ujian skripsi tiba. Semua teman sekelasku lulus, kecuali aku. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku dan abai dengan tugas akhir itu. Sehingga aku masih harus berkutat dengan skripsiku hingga semester depan. Mungkin juga tahun depan. Mereka segera yudisium dan wisuda. Mereka segera lulus dari kampus ini dan mungkin pulang kampung.
“Aku pamit mau pulkam,” kata Tarlan, teman sekelasku dari Bima, NTB. Dia datang ke rumah kostku untuk pamit dan mengembalikan buku-buku yang ia pinjam untuk skripsinya. Satu satu teman kuliahku kembali ke kota asalnya. Pulkam. Sedang aku tetap melanjutkan langkah, menyelesaikan skripsi. Dan aku mungkin tidak pulkam seperti lainnya karena aku telah mendapat pekerjaan di kota ini. “Iya, maaf ya bila aku ada salah sama kamu,” jawabku. “Iya, sama-sama. Terima kasih,” jawab Tarlan sambil menjabat erat tanganku.
Lama tak kudengar kabar Dwi. Mungkin ia juga pulang kampung seperti lainnya. Aku tahu di kota ini ia ikut neneknya. Sedang orangtuanya jauh di luar pulau, di Kalimantan.
Beberapa bulan setelah wisuda kudengar Dwi telah menikah. Aku tak diundangnya. Entah mengapa. Itu berita duka bagiku. Aneh, aku merasa patah hati. Tapi kusimpan saja perasaan broken heart itu tanpa seorang pun yang tahu.
“Kukira kau yang menikah dengan Dwi. Ternyata kamu hanya kekasih bayangan Dwi?” kata Sam, teman sekelasku. Aku cuma tersenyum. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutku. Tapi kurasakan kebenaran kata-kata Sam itu. Aku merasa benar-benar menjadi kekasih bayangan dan ternyata menjadi kekasih bayangan itu menyakitkan. Aku sekarang benar-benar patah hati.
Cerpen Karangan: Suwarsono Blog / Facebook: Suwarsono S