Malam hari pukul 20.15 di tepian pantai Carita, ujung pulau Jawa. Deburan ombak yang keras menderu pantai seakan berlomba ingin mengalahkan suara-suara berisik bincang dan canda tawa sekelompok milenial di sebuah komplek vila yang berada tepat di sisi pantai. Mereka adalah muda mudi yang berasal dari Desa Wetan Ujung, Banten, sekira 2,5 jam perjalanan menuju tempat mereka sekarang berada. Mereka tiba siang tadi, jumlahnya 27 orang dan sedianya akan menginap malam ini di tempat itu.
Duduk di atas kursi panjang di sisi pantai, Asma dan Dita menikmati minuman hangat sambil memandang ke arah lautan. Mereka, yang telah lama bersahabat tampaknya sengaja menepi dari teman-teman lainnya, berbincang berdua tentang kejadian siang tadi. Mereka berdua anggota termuda dan paling junior dalam kelompok yang bernama Pertawu itu alias Perkumpulan Taruna Wetan Ujung.
Saat ini Pertawu diketuai oleh Arya, lelaki tinggi, karismatik dan ramah, yang kebetulan anak orang terpandang di desa Wetan Ujung. Saat ini ia masih menjalani perkuliahan di sebuah Universitas negeri di Depok semester 5. Ia di Depok tinggal bersama paman dan keluarganya dan jika ada waktu luang ia pulang ke desa sekali atau dua kali tiap bulannya, jika sedang sibuk, ia sempatkan pulang dua bulan sekali.
Di kejauhan tampak kerlap kerlip cahaya yang berasal dari lampu-lampu perahu nelayan yang mulai menjalankan aktifitasnya melaut. Menjadi suatu pemandangan indah tersendiri.
Dita memulai percakapan mereka. “As, gimana keadaan lo sekarang, udah bener-bener sehat kan?” “Iya, alhamdulillah..” “Syukur deh, tadi sore gue bener-bener kuatir lo kenapa-napa, untung ada ka Arya” kata Dita sambil menyeruput minumannya. “Tapi As, gue iri… lo beruntung, menang banyak lo!?” lanjut Dita, kali ini sambil terkekeh. “Gue tau ka Arya yang nolongin, gue juga lom sempet bilang terima kasih, tapi… sahabat lo hampir mati tenggelam malah iri, di bilang beruntung… menang banyak? Aneh deh!” sungut Asma kesal. Dita mendekatkan bibirnya ke telinga Asma dan berbisik… “Tadi siang ka Arya nolongin lo, susah payah bopong-bopong terus kasih CPR? Pertolongan nafas buatan, lips to lips… owww… so sweet, wkwkwk…!” Dita memang suka sekali menggoda sohibnya yang pemalu itu. “Ya ampun, serius? separah itukah?“ tanpa sadar Asma menyentuh kedua bibirnya dan membayangkan apa yang telah terjadi padanya sore itu. Yang ditanya mengangguk-angguk dan tersenyum nakal. “Lumayan parah, lo kan lama ngga sadarkan diri” “Terus kenapa bukan lo aja yang CPR Dit? Kasih nafas buatan? Kak Ratu, Kak Mia emang ga bisa?” lanjut Asma. “Ya kan ngga sempet manggil yang lain As, harus ada tindakan cepat dong, makanya ka Arya langsung bertindak”. “Sebenarnya ka Arya udah nyuruh gue, tapi gue panik banget sampe ga bisa ngapa-ngapain. Akhirnya ka Arya lah yang ngelakuin”.
Malam merambat kian larut dan dingin, semua bersiap mengikuti acara inti di sebuah aula. Para anggota sudah berkumpul, duduk bersila membentuk setengah lingkaran dua baris, sedangkan para panitia, ketua dan wakil ketua berada di depan. Dimulai dengan doa, sambutan panitia dan akhirnya tiba saatnya Arya sebagai ketua berbicara.
“Assalamualaikum, malam temen-temen… udah pada ngantuk belom?” Arya tertawa sambil melirik jam tangan hitam di pergelangan tangannya. Ada yang jawab belum dan ada yang jawab sudah sambil senyum-senyum. “OK..” kata Arya lagi tak lupa dengan senyum. “Ngga lama-lama deh ya, gini… seperti tahun-tahun sebelumnya, kita berkumpul dan bersilaturahmi di sini dalam rangka untuk menambah keakraban dan kekeluargaan di antara kita dan sedikit membahas kegiatan-kegiatan sosial kita bulan ini … bla… bla… bla…” Arya menyampaikan sambutan dan wejangannya dengan wibawa tapi tetap santai.
Asma yang duduk di baris pertama tepat depan Arya memperhatikan wajah lelaki itu dan diam-diam mengagumi ketampanannya. Ini adalah kali pertama ia dapat memandangi lelaki itu secara dekat dan leluasa, karena ia termasuk gadis pemalu dan jarang bertemu Arya, selain itu dia dan Dita juga baru dua bulan menjadi anggota Pertawu, jadi mereka berdua baru mengikuti silaturahmi seperti ini. Sesekali Asma menunduk jika ia mengingat apa yang tadi dikatakan Dita tentang Arya yang telah menolongnya.
Singkatnya, acara inti telah selesai dilaksanakan, selebihnya acara bebas, yang mau tidur dipersilakan, yang masih mau ngopi dulu juga boleh. Sebagian besar memilih untuk istirahat di kamar yang sudah ditentukan karena saat ini lumayan sudah cukup larut, pukul 22.35. Arya dan Rendy belum beranjak dan masih terlihat berbincang di tempat mereka semula. Kesempatan ini digunakan Asma dan Dita untuk mendekati mereka. Arya dan Rendy menoleh dan tersenyum kepada kedua gadis tersebut.
“Ka Arya… hmm… Asma mo ucapin terima kasih tadi sore kaka udah nolongin Asma” suara Asma terdengar gugup. “Iya sama-sama, sekarang gimana? apa masih ada yang dirasa?” “Sudah ngga apa-apa ka, pusingnya sudah hilang, cuma aja badan masih terasa berat. Untung ada kaka, kalau ngga….” Asma berusaha menutupi kegugupannya. “Sudahlah engga usah dipikirin, kebetulan aja kaka yang ada dekat situ, nanti kalau perlu apa-apa jangan sungkan bilang sama kaka”, Arya menebar senyum manis “Oh ya, kalian masih SMU ya? Terima kasih ya sudah mau ikut gabung di Pertawu” “Iya ka, kami senang kok bisa ikut gabung di sini, karena kita berdua emang suka kegiatan-kegiatan sosial dan ingin berbuat lebih buat desa kita, iya kan Dit?” Tangan Asma menyenggol tangan Dita “Iya kak, betul banget, terutama Asma ka, dia itu jiwa sosialnya tinggi banget…” Dita tertawa, ia ingin sekali menguap lebar tapi ia tahan, ia hanya menutup mulutnya. Arya melihatnya. “Iya.. sekali lagi terima kasih”, Arya senyum manis lagi. “Sepertinya kalian sudah lelah dan mengantuk, lebih baik kalian istirahat, supaya besok badan fresh kembali!” “Inget ya, lain kali kalau belum bisa berenang main airnya jangan jauh-jauh”. Kali ini Arya tertawa meledek. Asma tersipu malu, Dita meliriknya dan terkekeh, kedua gadis pun pamit.
Tiga purnama telah berlalu, sejak itu Asma tidak bisa menghilangkan Arya dalam pikirannya. Ia selalu mencari tahu kabar Arya dari media sosialnya, Arya memang sudah punya kekasih, teman kuliahnya, tetapi Asma tidak peduli, ia tetap membiarkan rasa cintanya kepada Arya tumbuh dan mekar di hatinya, hanya dirinya dan Tuhan yang tahu, ada cinta untuk ‘dia’.
Pagi hari, Dita membawa kabar duka, ia tahu dari tetangganya yang masih kerabat dengan ayah Arya. Malam kemarin, rumah tetangga paman Arya kebakaran dan merembet dengan cepat ke rumah tinggal paman Arya karena rumah mereka bersebelahan, dan kabarnya Arya masuk rumah sakit terkena luka bakar di wajah saat berusaha menolong sepupunya. Asma sangat terkejut mendengarnya, ia begitu sedih dan cemas. Tak henti-henti ia berdoa, Ya Tuhan, semoga ka Arya baik-baik saja.
Cerpen Karangan: Zusan W Blog / Facebook: Belum ada