Rintik-rintik hujan berjatuhan membasahi kota, membuat kaki-kaki itu perlahan melangkah mencari perlindungan. Berbeda dengan para burung yang kian liar berterbangan, seolah menyambut datangnya gerimis dengan riang.
Di antara ratusan lainnya, seorang gadis bersepatu merah muda cemberut, menatap satu persatu titik air yang meluncur membasahi kaca kafe tempatnya bekerja. Bel terus bergemerincing, menandakan jiwa yang juga terus bergantian memasuki tempat dengan papan kayu bertuliskan ‘TERRA CAFE’ di sisi kanan depan itu.
Kafe yang baru berjalan selama satu setengah tahun itu biasanya menjadi tempat favorit bagi orang-orang pencari ketenangan. Alunan musik jazz yang diputar tiada henti, juga kolam ikan indoor di setiap sudut ruangan yang sengaja didesain untuk memperkuat kesan terra di kafe ini, hal-hal tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung yang tak bosan-bosan datang setiap hari, duduk berjam-jam hingga memesan beberapa kali.
Keempat kolam ikan menjadi simbol terra atau bumi yang sebagian besarnya digenangi air, menyejukkan, bahkan terkadang suara alirannya begitu membuai pendengaran. Kebun vertikal yang menempel di kaca juga tak kalah menarik perhatian, belum lagi jika bunganya serentak bermekaran.
Namun, hari ini berbeda. Lengkungan di bibir kian menjadi, ketika gadis itu menyadari suasana kafe yang semakin ramai. Sesak, sibuk, dia benci. Para pengunjung yang berteduh sekadar memesan secangkir kopi, hitung-hitung sebagai penghangat tubuh yang kini mulai gemetar. Hal itu cukup merepotkan karena si gadis harus berkeliling dengan nampan penuh akan cangkir kopi, mengantarnya ke setiap meja. Kesehariannya yang sudah melelahkan, kini kian memuakkan. Sejenak terbesit di benaknya, andai saja dirinya adalah Venus…
“Eh, ngapain ngelamun, Lun?” Gadis itu terkesiap. Ia mengerjap beberapa kali sebelum menoleh, lalu nyengir. “Kenapa?” “Pake nanya kenapa,” dengus Surya, teman seperjuangannya sembari menyeka keringat di pelipis, “cepet kerja! Bisa-bisa Bos ngamuk, kalau liat lo ngelamun di sini. Masih banyak yang harus dianter.” Luna hanya membalasnya dengan dengusan. Menyadari Surya yang masih memerhatikannya lekat-lekat, ia menghela napas. Lirih, Luna berbisik, “Kenapa gue harus jadi bulan, ya?” Surya tertegun. Gadis di depannya terlihat begitu sesat, putus asa, bagaikan berada di satu ruangan sempit yang gelap, dan fakta bahwa dirinya tidak mampu sekadar memberi Luna api kecil penerangan membuat Surya hanya tersenyum pahit. “Lun, masih inget kata Bunda?” “Udah, ah,” sergah Luna cepat. Ia bangkit dan menarik tangan Surya untuk keluar dari dapur, tak lupa membawa satu lagi nampan dengan kopi dan kue anggur yang siap diantar untuk disantap oleh pengunjung.
Suara serangga malam bersahutan, saling beradu di dalam pekatnya malam tanpa bintang. Hanya bulan purnama yang tak gentar menerangi di tengah gulita, walau dirinya dalam kesendirian. Dua anak meletakkan kepala di pangkuan bundanya, satu dengan kaki menghadap ke selatan, dan yang lain sebaliknya. Namun, mata mereka terpaku pada satu arah, satu objek, sang rembulan yang kesepian. Surya, anak laki-laki itu mulai terpejam, terlena akan suara merdu Bunda serta para serangga yang seakan mengiringinya ke alam mimpi. Sedangkan Luna, gadis kecil itu memicingkan mata dan berpikir keras.
“Bunda?” Suara khas anak kecil yang mulai serak akan kantuk memberhentikan nyanyian tidur wanita paruh baya itu, wanita yang mengabdikan sebagian besar hidupnya di Panti Asuhan Galaktika, rumah bagi Luna dan Surya. “Ya, Nak? Bunda kira kamu udah tidur,” kata Bunda lembut. Ia kembali menjalankan tangannya di rambut halus Luna. “Kenapa? Kamu mau makan kue ulang tahun kamu yang tersisa tadi?” Luna menggeleng. Tangan lentik nan mungilnya menunjuk objek yang sedari tadi diperhatikannya. “Kasihan ya, Bun, bulan harus tetap menjalankan tugasnya, padahal teman-teman bintangnya pergi entah kemana ninggalin dia. Luna nggak mau, jadi kayak bulan.” Bunda hanya tersenyum, lalu ikut menempatkan fokusnya pada benda itu, benda yang sejak tadi menarik simpati Luna karena kesendiriannya. “Luna tahu?” tanya Bunda tidak jelas. “Tau apa, Bun?” “Nama Luna itu berasal dari bahasa Rumania, yang artinya bulan.” Bunda mengangkat kedua alis, senyumnya semakin lebar melihat keterkejutan yang jelas dari mata anak asuhnya itu. “Bulan itu, Lun, anggun. Bulan itu indah, bulan mewakili sifat feminin dan sederhana. Bunda harap, kamu kelak bisa seperti itu, seperti bulan.” “Kalau Surya, artinya apa, Bun?” celetuk anak laki-laki berambut cokelat terang yang rupanya mendengar percakapan dua orang perempuan itu. Pada akhirnya, Luna merasa bahwa dirinya memang benar-benar menjadi bulan. Bukan, bukan dari keanggunan dan kefemininan yang jelas terlihat dari rok dan sepatu merah muda yang dikenakannya saat ini, melainkan dari takdir lain bulan yang Bunda tidak pernah pikirkan sebelumnya.
Bagi Luna, bulan tidak lebih dari bongkahan batu raksasa dengan bentuk tidak sempurna karena dipenuhi lubang di permukannya. Bahkan, bulan tidak bisa sepenuhnya mandiri, hanya bergantung pada sinar matahari untuk tetap bersinar di kala gulita mengambil alih kuasa.
—
Kursi-kursi kosong perlahan mulai terisi. Pelan-pelan, semakin lama, semakin banyak kepala. Lagi-lagi, Kafe Terra sesak. Lagi-lagi, Luna benci. Kali ini bukan karena hujan. Sang mentari dengan semringahnya yang menghangatkan, menghalangi hujan memporak-porandakan aktivitas manusia untuk kesekian kalinya.
Luna yang sedang mengeringkan perabotan dengan lap terkejut ketika sebuah tangan merebut paksa lap darinya. Ia mendongak untuk mendapati Surya yang lempeng, seolah dirinya tidak berbuat apa-apa, seakan-akan bukan dirinya yang baru saja hampir membuat Luna menjerit. Luna mengernyit heran. “Bad mood banget,” komentarnya. “Nggak,” sahut Surya saat irisnya dan milik Luna bertubrukkan, “kafe rame banget.” Kening Luna semakin berkerut. Harusnya, dialah yang menggerutu demikian, bukan seorang Surya si pekerja keras. “Jam berapa acaranya?” Surya bertanya. Cowok itu memindahkan satu-satu perabotan kering ke rak. Sedangkan Luna yang menyaksikan dan membiarkan sahabatnya itu mengerjakan tugasnya, menaik-turunkan bahu. “Katanya, sih, jam tiga, tapi ini udah jam dua lima belas dan belum ada orang-orang mereka yang dateng ke sini untuk prepare. Padahal wartawan sama fans udah rame aja.”
Hari ini, Kafe Terra sudah disewa selama setengah hari untuk acara launching single perdana salah seorang penyanyi cantik, yang Luna tidak ketahui namanya. Maklum, ia harus mengurusi rumah dan Surya yang akan berangkat kuliah dari pagi hingga siang, lalu ketika matahari sudah tepat di atas kepala, Luna akan bekerja di kafe hingga malam. Saat sampai di rumahnya di malam hari, Luna lebih memilih langsung tidur, jadi televisi di rumahnya dan Surya bisa dikatakan sangat tidak berguna.
—
Kepala yang tadi memenuhi kafe perlahan pergi dan berkurang. Kini, hanya sisa para karyawan dan rombongan penyanyi cantik yang Luna ketahui bernama Vanessa itu. Berbeda dengan teman-temannya yang sedang mengambil gambar bersama Vanessa, termasuk Surya, Luna memilih duduk di belakang meja kasir dengan pandangan yang tidak terlepas dari sosok perempuan tinggi semampai berpenampilan nyaris sempurna itu.
Perhatiannya tak kunjung teralihkan saat bel pintu kafe bergemerincing. “Misi, Mbak?” Baru lah ketika suara rendah itu terdengar, Luna kembali lagi dari alam khayal. “Maaf, tapi kafe kami sudah tutup,” ujar Luna perlahan sembari mendongakkan kepala, berusaha bersikap sopan di tengah muaknya dia saat ini. Namun, siapa sangka jika posisi pandangannya saat ini terasa begitu menyiksa dan membahagiakan secara bersamaan? Luna yakin, seseorang telah memukul gong dalam jantungnya dengan palu godam begitu keras, dan orang itu adalah pria di depannya. Rupanya tak banyak berubah, hanya garis wajah lebih tegas dan rahang yang semakin tajam. Pastinya, tambah tampan. Netra sehitam bulu gagak itu kembali. Kembali bersama semua kenangan, semua perasaan yang sudah Luna buang jauh-jauh ke samudera tak berdasar. Namun, semua itu terseret arus kembali ke permukaan, bersamaan dengan datangnya Marco, Mars untuk Luna. “Luna, bener?” Rupanya, pria ini masih mengenalinya. Itu saja cukup untuk membuat batin Luna bersorak. Luna mengangguk. Jika bisa, ingin sekali dirinya keluar dari bagian kasir dan memeluk tubuh yang semakin tinggi itu. Ketika pertemuan terakhir mereka, tepatnya saat kelulusan SMA, Luna masih jauh lebih tinggi dari pada Marco. Hijrah ke London ternyata merubah semua di diri Marco, termasuk aura pria itu. Entah mengapa, Luna tidak lagi bisa merasakan hangat saat Marco bersamanya, hanya kecanggunan, meski tak dapat dipungkiri debaran itu masih sama. “Apa kabar?” tanya Marco. Menyadari pertanyaannya tadi hanya formalitas belaka, ia kembali melanjutkan, “Lo… kerja di sini?” Tangan Marco menunjuk ke segala arah kafe. Bahkan, bagaimana Marco membuatnya gugup cukup mengejutkan Luna yang sebelumnya begitu santai di hadapan sahabat lamanya ini. “Y-ya, gue dan Surya.” Mendengar nama Surya, Marco menaikkan kedua alis. “Surya? Di mana tuh anak?” Luna tersenyum. Dirinya, Surya, dan Marco dulu begitu dekat. Keduanya adalah Matahari dan Mars yang memiliki peran masing-masing untuknya. Lantas, Luna memanggil satu lagi sahabatnya, melambaikan tangan; mengisyaratkan Surya untuk datang ke arahnya. Surya yang langsung menoleh, berlari kecil menuju meja kasir dengan cengiran lebar yang cukup mengerikan bagi Luna. Menurutnya, cengiran itu persis seperti seringai yang sering ditunjukkan oleh para pengidap pedofilia. Ngeri. “Ken–” “Sup, Bro?” Cengiran itu perlahan pudar, tergantikan oleh raut wajah tercengang. Namun, terlihat jelas dari kedua bola mata Surya bahwa kehadiran Marco membawa kesan menyenangkan bagi dirinya. “Lo nyata?” Surya mencubit dan menekan-nekan wajah Marco. Namun, ia segera berhenti ketika mendengar Marco meringis. “Ups, sorry.”
—
“Lun, sepatu putih gue yang lu cuci waktu itu di mana?” Surya berteriak sambil berjalan ke sana ke mari, mengecek keberadaan sepatu kesayangannya di seluruh penjuru rumah. “Lun!” “Sabar dikit, bisa?” Yang sedari tadi ditunggu pun muncul, Luna datang dari pintu belakang membawa sepasang sepatu putih yang sudah bersih. “Gue cuma sempet bikin roti isi telor doang,” kata Luna menunjuk dapur dengan dagunya, “gue mau mandi, inget tutup pintu.” Surya tersenyum. Luna pasti terlambat bangun lagi. Hal itu terlihat dari muka bantalnya, juga kotoran mata yang masih menempel, menunjukkan Luna tidak sempat membasuh mukanya. Ia lalu mengacak rambut Luna pelan sebelum beranjak ke dapur untuk menyantap sarapan.
—
“Lo sendiri kenapa ke sini? Nggak liat itu tulisan di pintu kalo kafe kita udah tutup?” Marco mendengus geli. Ia lalu membalikkan badannya, melambaikan tangannya pada seseorang. “Vanessa!” Yang dipanggil menoleh. Melihat asal suara tadi langsung merekahkan senyum gadis cantik nan langsing itu. Dengan langkah pasti, ia mendekat. “Lo dan Vanessa…” Luna memiringkan kepala. Setengah berdoa ketakutannya selama Marco pergi tidak akan terjadi. “Kami akan bertunangan dalam waktu dekat.” Cukup lima kata untuk menghunuskan pisau tajam tepat di pusat kehidupan Luna. Tangannya mulai bergetar, matanya terasa panas, dan tenggorokkannya terasa sakit menahan tangis. Dan Surya, hidup bertahun-tahun dengan Luna membuatnya mengerti keadaan ini. Jadi pria itu langsung merangkul sahabatnya, mengusap-usap bahu Luna dengan lembut. “Kamu kapan sampenya? Kok nggak nelepon?” Dan kehadiran sang Venus menambah suasana kelam pada obrolan tiga sahabat lama ini.
Venus yang cantik, Venus yang langsing, Venus yang berbakat seni, Venus yang bersinar, Venus yang didambakan. Sedangkan, Bulan… Bulan yang tidak sempurna, Bulan yang tidak berguna, Bulan yang tidak bersinar, Bulan yang diabaikan. Luna dengan mengenaskan menertawakan nasibnya, melihat ke arah pantulan wajahnya di cermin. Ia lalu melihat kembali ke arah ponsel, membaca lagi pesan dari Marco yang diterimanya tepat sebelum Luna membuka pintu kamar mandi. Mars: Lun, butuh bantuan nih. Nanti malem abis kerja bisa temenin nggak?
Cerpen Karangan: Febby Liana Blog: wattpad.com/febbyliana