“Rudi.. Jangan lupain aku ya..” sebuah ucapan terakhir dan lambaian tanganya, sampai sekarang tak pernah kulupakan.
Aisyah nur aini. Adalah teman kelas sekaligus sahabatku di sekolah. Orangnya baik, pintar, tidak sombong, mudah bergaul dengan siapa saja, dan yang pasti.. dia itu cantik, sangat cantik. Apalagi penampilan yang selalu tertutup, seakan kain di kepalanya menambah keindahan tersendiri di raut wajahnya, bikin semua orang betah berlama-lama menatapnya.
Tak diragukan, banyak di antara teman cowoknya pun diam-diam naksir padanya. Walau sebenarnya ia menyadari hal itu, tetap saja Eni cuek dan tidak menjadikanya sebuah beban. Padahal hampir setiap hari ia mendapatkan godaan dari si A, si B, si C atau lainnya yang hampir-hampir mempermalukanya di sekolah, belum lagi dengan sering menyebarnya gosip tak sedap tentang dirinya.
Uchh… makin jatuh hati saja aku padanya.
Meskipun belum lama ini aku memang pernah ditolaknya via telepon, aku tak akan berhenti untuk terus mendekatinya.
Sampai pada suatu hari saat ujian sekolah sudah di depan mata, Eni mengajakku pergi ke sebuah tempat. Di sana memang awalnya untuk belajar bersama, namun seiring angin sepoi persawahan yang menyisir, udara pagi hari yang sejuk nan asri, kami terbawa suasana, lebih-lebih eni. Entah sudah ia persiapkan sebelumnya atau tidak, tiba-tiba eni terang-terangan mengutarakan perasaanya padaku.
Tersontak aku tak percaya mendengarnya, sampai-sampai buku di tanganku terjatuh begitu saja. Bagaimana mungkin sekarang dia bilang sayang padaku setelah semua rasaku padanya dulu sudah benar-benar kutanam dalam-dalam.
Mengingat ujian sekolah tinggal menghitung hari, aku harus tetap fokus dan tak ingin memikirkan hal lain selain belajar dan belajar. Akhirnya eni mengerti atas apa yang aku jelaskan padanya. Penjelaskanku mungkin cukup untuk meyakinkanya bahwa saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk berpacaran.
Usai ujian sekolah, dadaku memang terasa lebih lega, namun tak dipungkiri jika sebenarnya ada sesuatu yang masih mengganjal di sana, aku masih belum melihat Eni di bangkunya tiga hari ini. Kenapa dia gak ikut ujian? Ke mana dia?
Dari pihak guru pun tak ada yang membahas tentangnya. Bukankah biasanya jika ada satu murid tidak masuk sehari saja pasti diinfokan. Tapi kenapa untuk sekarang mereka tak memberi kabar mengenai Eni? Tepat saat dilangsungkan ujian lagi.
Karena penasaran yang membludak, akhirnya kuputuskan untuk ke rumahnya. Setibanya di sana, aku mendadak shock setengah mati melihat sosok perempuan yang tengah duduk di depanku sekarang. Eni telah berubah, eni yang dulu kukenal berkulit putih bersih dan mulus, sekarang mejadi hitam kasar berbintik seperti ayam habis dipanggang. Benarkah ini Eni?
“Tak kusangka, seperti inikah Eni sebenarnya, Bu?” “Iya, nak. Maafkan ibu dan Eni ya, ibu melakukan ini semua demi cita-cita Eni agar bisa bersekolah seperti anak-anak lainya.” “Tapi ibu tak seharusnya menyekolahkan Eni dengan kondisi yang bukan aslinya, Bu.” “Karena ibu gak mau jika pada akhirnya Eni dikucilkan atau dipermalukan oleh teman-temannya nanti, untuk itu Ibu merubahnya menjadi lebih cantik dan mulus, serta kemampuan berpikir yang cukup cerdas.”
“Rudi.. kamu masih mau berteman denganku kan?” Tak sempat berucap jawab, aku langsung pamit dan meninggalkannya. Sejak saat itu aku benar-benar tak pernah lagi bertemu denganya setelah aku dan keluarga jadi pindah rumah ke kota. Sebenarnya sungguh aku tak tega meninggalkan Eni dalam kondisi seperti itu, namun apa daya saat keadaan memisahkan.
—
Jika saja aku dulu sanggup menolak ajakan keluarga untuk pindah, pasti semuanya tidak akan seperti ini. Maafkan aku, En. Ini semua salahku, gara-gara aku yang tidak bisa setia dengan perasaanku sendiri, kau jadi berbuat nekat begini. Semoga kau bisa tenang di sana.
Nama Aisyah Nur Aini Binti zulkarnaen yang tercetak di sebuah nisan di atas gundukan tanah itu mulai nampak setelah kedua matanya yang basah kini mulai kering terusap oleh punggung tangan Rudi. Semilir angin sore di pemakaman bekas desanya itu membawa ingatan tersendiri betapa bersalahnya dia saat menyadari bahwa ucapan dan lambaian tangan mungil Eni adalah pertemuan untuk terakhir kalinya.
Cerpen Karangan: Owi Ahmad Blog: owyachmadz.blogspot.co.id