Angin pagi berhembus begitu segar. Aku menghirup udara pagi dengan perasaan bahagia. Aku pun memutuskan untuk bersepeda di jalanan kompleks ini. Kompleks yang baru aku dan keluargaku tinggali. Kami baru pindah kemarin sore dan ini adalah pagi pertama yang aku jalani di sini.
Aku bersepeda sambil mendengarkan musik dan melihat ke sekeliling. Rumah-rumah di sini nampak memiliki bentuk yang sama. Aku terus melihat ke sana kemari hingga tiba di sebuah rumah yang jendelanya cukup besar. Aku melambatkan laju sepedaku bukan karena tertarik pada jendela rumah itu. Tapi, aku tertarik pada seseorang yang berdiri di balik jendela itu dengan tatapan lurus ke depan. Matanya nyaris tak berkedip. Aku terus memerhatikan sosok itu hingga melewati rumah tersebut. Aku pikir untuk apa memedulikan urusan orang lain. Mungkin orang itu punya masalah hingga ia melamun seperti itu.
Hari pertama di kompleks menyisakan hal yang menyenangkan sekaligus menyejukkan buatku. Hal itulah yang membuat aku memutuskan bersepeda setiap pagi sebelum memulai aktifitas sebagai seorang jurnalis. Anggap saja itu sebagai olahraga untuk menjaga staminaku dalam melakukan pekerjaan yang kebanyakan dilakukan di luar ruangan.
Hari kedua pun kumulai dengan bersepeda ria. Aku melalui rute yang sama seperti kemarin. Aku juga mengulangi hal yang sama, mendengarkan musik dan menyanyi-nyanyi kecil sambil mengayuh sepedaku.
“Bukankah, itu rumah yang kemarin?” tanyaku pada diri sendiri begitu melihat rumah dengan jendela besar itu lagi. Aku berpikir untuk menengok ke jendela dan melihat apakah orang yang kemarin masih berdiri di situ. Aku memperlambat laju sepedaku lagi sambil menengok ke arah jendela dan ternyata orang itu masih berdiri dengan tatapan kosongnya. “Apa dia tidak pernah meninggalkan jendela itu dari kemarin?” tanyaku dalam hati.
Aku jadi takut sendiri melihat kelakuan orang itu. Hal yang membuat bulu kudukku semakin merinding karena tak ada seorang pun yang nampak di rumah itu selain sosok di balik jendela. Aku pun segera mengayuh sepedaku lebih cepat dan meninggalkan rumah itu.
“Sofi, ayo bangun! Ini sudah jam berapa. Kamu kesiangan!” teriak mama di dekat kupingku. Aku sontak terbangun dan melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 07.15 WIB. Aku segera bersiap dan berangkat ke kantor. Ketika masuk ke mobil, aku teringat bahwa aku melewatkan kegiatan bersepeda hari ini. Tapi, aku akan tetap melewati rumah dengan jendela besar itu kalau ingin keluar kompleks. Aku penasaran dengan wajah di balik jendela itu. Aku berpikir untuk menengok ke jendela itu ketika aku melewatinya nanti.
“Apa dia masih ada di situ, ya?” pikirku dalam hati. “Ahh, tidak mungkin! Pasti dia butuh istirahat. Tidak mungkin dia berdiri di situ terus, kan!” kataku pada diri sendiri.
Setibanya di depan rumah itu, aku menengok ke jendela. Namun, aku tak melihat wajah itu lagi. “Tuh, kan! Dia tidak ada lagi!” kataku tanpa melepaskan pandangan ke jendela yang tertutup gorden itu. Tiba-tiba, gorden itu seperti ditarik dan muncullah wajah itu lagi. Aku terkaget dan langsung mengerem mobil. Bulu kudukku merinding lagi. “Apa yang aku lakukan di sini? Sebaiknya aku pergi saja,” kataku dan berlalu dengan perasaan yang masih tak menentu.
—
“Kamu kenapa, Sof?” tanya mama begitu melihatku pulang. “Memangnya kenapa denganku?” tanyaku tak mengerti. “Wajah kamu pucat. Kamu ada masalah di kantor?” tanya mama perhatian. Aku duduk dan menyandarkan kepala di sandaran kursi. Aku menghela nafas panjang.
“Kalau kamu ada masalah cerita sama Mama,” kata mama lagi. “Ma! Apa Mama sudah bersosialisasi dengan orang di kompleks ini?” tanyaku. “Bersosialisasi? Memangnya kenapa? Kamu ada tugas meliput suasana kompleks?” tanya mama. “Tidak, bukan begitu! Sofi hanya ingin tahu tentang sesuatu di komples ini,” jawabku. “Sesuatu? Apa itu?” tanya mama ikut penasaran. “Itu loh, Ma! Sofi kan setiap hari bersepeda keliling kompleks. Nah, Sofi selalu melewati rute yang sama di mana ada rumah dengan jendela besar. Di situ, Sofi selalu melihat seseorang yang sama berdiri setiap hari di balik jendela. Apa Mama pernah dengar tentang orang yang tinggal di rumah itu?” tanyaku. “Tunggu dulu, sepertinya Mama pernah dengar cerita itu!” kata mama sambil mengingat-ingat. “Ahh, Mama ingat! Bu Alfin, tetangga sebelah rumah cerita sama Mama. Katanya, dia kasihan sama anaknya Bu Vera yang seperti tidak waras setelah ditinggal oleh istrinya. Istrinya itu meninggal karena kecelakaan pesawat padahal mereka baru satu bulan menikah. Mungkin itu yang membuat dia begitu terpukul dan belum bisa menerima kepergian istrinya sampai sekarang,” jelas mama panjang lebar.
Hari ini adalah hari keempat aku keluar untuk bersepeda di pagi hari. Begitu rumah dengan jendela besar itu dekat, aku teringat cerita mama kemarin tentang wajah yang selalu kulihat di balik jendela itu. Aku tidak memiliki perasaan takut lagi setelah mengetahui penyebab lelaki itu menatap lurus nyaris tak berkedip. Aku justru kasihan dan simpati padanya. Selama ini aku tak pernah betul-betul berhenti dan melihat dengan jelas wajah di balik jendela itu. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk berhenti hari ini.
Dia masih ada di sana. Aku memarkir sepedaku dan berjalan mendekati jendela. Kini, aku bisa melihat dengan jelas kekosongan di mata lelaki itu. Sejenak aku ikut terpaku hingga lelaki itu melihat ke arahku dan meneteskan air mata. Tiba-tiba ada seorang perempuan yang muncul di sampingnya. Perempuan itu tampak kaget melihat lelaki itu menangis. Aku jadi bingung dengan situasi ini. Ketika hendak pergi, perempuan itu keluar rumah dan memanggilku.
“Maaf, ya! Tapi, saya mau bertanya!” kata perempuan itu menghampiriku. “Iya, boleh!” jawabku. “Sebelumnya, perkenalkan saya Desy, kakaknya Doni. Saya mau bertanya, apa kamu kenal dengan Doni atau almarhumah istrinya, Fira?” tanyanya. “Tidak! Aku tidak mengenal mereka, Kak!,” jawabku sedikit bingung dengan pertanyaannya. “Oh, begitu ya! Saya pikir kamu kenal dengan mereka. Tapi, saya boleh tahu kenapa kamu berdiri di depan jendela tadi?” tanya Kak Desy lagi. “Sebenarnya, aku warga baru di kompleks ini. Aku hanya penasaran kenapa dia berdiri setiap hari di balik jendela itu,” jawabku menjelaskan. “Itu adalah tempat dia memandang istrinya sebelum berangkat waktu itu. Wanita itu adalah seseorang yang sangat berarti baginya. Seseorang yang bisa membawa dia kembali setelah tersesat pada kemaksiatan. Setelah wanita itu pergi dia merasa dunianya juga hilang. Tapi, ini pertama kalinya saya melihat dia menangis setelah hari kematian istrinya. Apa kamu tahu kenapa dia menangis?” tanya Kak Desy lagi. “Aku juga tidak tahu kenapa dia melihatku dan meneteskan air mata. Apa mungkin dia teringat dengan istrinya?” tanyaku.
—
Itu adalah sepenggal ingatan yang muncul tentang calon suami yang hendak menikahiku hari ini. Dia adalah lelaki yang berdiri di balik jendela besar dan menatap dengan tatapan kosong. Aku berhasil mengalihkan pandangannya ke arahku dan mengisinya agar tak kosong lagi.
Ijab qabul berjalan dengan lancar. Aku bisa melihat pancaran kebahagiaan dari wajah Kak Desy. Seperti ada kelegaan yang luar biasa dalam dirinya. Aku yakin Tuhan memilihku untuk Doni karena dia menganggap aku baik untuknya dan begitupula sebaliknya. Aku ingin menyampaikan sesuatu kepada lelaki yang sudah resmi menjadi suamiku ini. Tapi, aku menunggu momen disaat kami hanya berdua.
“Abi!” panggilku kepada Doni. “Iya, Ummi!” jawabnya. “Ummi ingin menyampaikan sesuatu pada Abi,” kataku memulai. “Apa itu, Ummi?” tanya Doni. “Ayo kita ke bawah,” ajakku sambil memegang tangannya. Ini sudah tengah malam ketika aku mengajaknya turun ke lantai bawah. Aku menarik tangannya dan mengajaknya ke tempat di mana aku pertama kali melihatnya.
“Kenapa kita ke sini, Ummi?” tanyanya penasaran. “Ummi ingin Abi melupakan masa lalu dan menatap masa depan melalui jendela ini. Ummi juga punya pesan untuk Abi,” kataku menatapnya penuh cinta. “Apa itu, Ummi?” tanyanya dengan lembut. Aku tersenyum. “Abi! Bila Ummi dipanggil lebih dulu oleh Tuhan, Ummi tidak ingin Abi berdiri di jendela ini lagi dan menatap dengan tatapan kosong. Ummi dan almarhumah Fira hanya menginginkan itu dari Abi. Itu semua karena kami mencintai Abi,” kataku membuat air matanya menetes lagi.
Cerpen Karangan: Emma J. Blog: ceritakujie.blogspot.com