“I always in your heart. I never go from beside you.”
Seorang perempuan cantik berjalan di lorong rumah sakit yang dipenuhi dengan pasien. Sudah beberapa tahun dia bekerja di rumah sakit ini, setelah sebelumnya magang. Dia dengan cekatan memeriksa pasien. Rambutnya yang sebahu dikucir kuda, agar tidak mengganggu aktivitasnya.
“Halo, Kek. Bagaimana keadaan Kakek?” tanya Lula sembari tersenyum manis. Laki-laki berparas tua itu mengangguk-angguk sambil memegang perutnya. “Perut saya masih sakit, Dokter cantik.” Nenek di sebelahnya dengan keras memukul lengan suaminya. “Jangan kamu goda dokter ini. Tidak akan ada yang mau sama kamu, kecuali aku.” Melihatnya, Lula hanya tertawa pelan. “Kek, jangan makan sesuatu yang keras-keras. Kakek cuma boleh makan bubur yang lembek. Untuk pemeriksaan selanjutnya, akan dilakukan nanti sore. Kalau begitu, saya permisi dulu, ya?” Sepasang suami istri itu mengangguk paham. Lula kembali melanjutkan kegiatannya sampai beberapa jam ke depan.
Beberapa kali, Lula mengecek ponselnya, menunggu seseorang menelepon, atau memberinya pesan. Tapi, hasilnya selalu nihil. Lula menyerah. Lebih baik ia beristirahat dulu.
Lula menyendokkan nasi goreng ke mulutnya ketika Farhan datang dan duduk di sebelahnya. Lula mendongak, lalu tersenyum tipis. “Bagaimana pekerjaanmu hari ini?” Farhan meneguk air putihnya beberapa saat, sebelum menatap Lula lebih lama lagi. Wajahnya terlihat sungguh lelah, rambutnya yang sedikit panjang untuk ukuran laki-laki terlihat sedikit berantakan. Perempuan berambut hitam sebahu itu menjawabnya, “Baik. Pasien hari ini tidak seberapa padat daripada sebelum-sebelumnya. Jadi, aku tidak seberapa lelah hari ini. Bagaimana denganmu, Far?” Mendengarnya, Farhan mengangguk mengerti. “Hari ini sungguh melelahkan.” Laki-laki itu terdiam beberapa saat. “Banyak sekali pasien darurat akibat kecelakaan beruntun.” “Ya, tadi aku mendengar kabar itu. Sungguh keterlaluan. Sudah mabuk, masih mengendarai mobil, pula, menyebabkan nyawa orang yang tidak bersalah menjadi melayang.” Farhan lagi-lagi mengangguk, tanda membenarkan. “Bagaimana dengan keadaan Joy?” Ketika nama Joy disebut, tangan Lula yang sedang bergerak menyendokkan nasi mendadak berhenti, mengambang di udara. “Yah, seperti itulah. Beberapa hari ini mungkin dia sibuk, tidak menghubungiku sama sekali.”
Joy. Pacar Lula yang sedang berada di Jerman. Yang Lula tidak tahu bagaimana keadaannya saat ini. Hati Lula sangat gelisah karena dia tidak mendapat telepon, atau pesan beberapa hari ini. Biasanya, Joy selalu menghubunginya setiap hari, tanpa pernah absen sehari pun.
“Ya, mungkin dia sangat sibuk. Atau mungkin, dia kehilangan ponselnya,” gumam Farhan pelan. Lula hanya terkekeh pelan menanggapinya, walaupun Farhan tidak sedang melucu. Detik selanjutnya, deringan dari ponsel Farhan membuat laki-laki itu dengan cepat merogoh sakunya. “Baik. Saya ke sana sekarang.” Farhan langsung membawa nampan makanannya setelah menghela napas. Kali ini, acara makannya lagi-lagi diganggu. “La, aku pergi dulu. Ada pasien darurat lagi.” Perempuan itu mengangguk singkat, bersamaan dengan punggung kakak seniornya dulu di kampus menghilang di tikungan.
“Hai, Lula. Tadi Farhan ke sini, ya? Sepertinya dia benar-benar menyukaimu, dia tidak main-main.” Ucapan itu membuat Lula mendongak. Menatap sang empunya suara dengan tidak suka. Syifa, sahabat Lula, tersenyum kecil tanpa merasa bersalah. “Berhenti mengucapkan hal-hal seperti itu lagi, Fa. Aku muak mendengarnya.” Lula melambaikan tangan. “Kamu tahu, aku sudah mempunyai Joy. Dan tidak ada lagi pengganti Joy di hatiku. Maka, berhenti menjodohkanku dengan Farhan.” Syifa bergumam pelan. “Ya, ya. Aku tahu itu. Tapi aku merasa kasihan dengan Farhan yang dari dulu kamu gantung begitu saja. Lelaki baik-baik seperti dia mengapa bisa menyukai perempuan sepertimu, sih?” Lula meletakkan sendoknya ketika nasi gorengnya sudah habis. “Aku tidak menggantungnya. Dia pasti sangat tahu jika aku sangat mencintai Joy.” Syifa menghela napas panjang. “Dan kamu menyakiti dirimu sendiri, La. Joy tidak menghubungimu beberapa hari ini, dan aku yakin, kamu pasti sangat gelisah. Indonesia ke Jerman itu sangat jauh. Bisa saja cintanya beralih kepada perempuan lain di sana, kamu mana tahu.” “Hentikan omong kosong ini. Aku pergi dulu. Aku harus mengecek pasien lagi. Sampai jumpa, Fa.” Lula bangkit berdiri. Meninggalkan Syifa yang mengembuskan napasnya keras-keras. Bicara dengan Lula memang sangat rumit. Serumit membedah pasien.
Sinar matahari yang hangat menerpa perempuan berambut sebahu itu. Membuat rambut hitam legam itu menjadi bersinar indah. Tangan Lula menenteng tas kecil yang ia dapat dari Syifa saat ulang tahunnya. Lorong kecil itu terlihat sangat padat dikunjungi oleh turis. Makanan yang lezat, juga benda-benda yang unik, dengan harga yang tidak terlalu mahal membuat Lula betah berlama-lama di sana. Belum lagi lampu-lampu kecil warna-warni yang akan menyala saat malam datang, menambah indahnya tempat ini.
Lula merogoh tas kecilnya, mencari pesanan kue milik adiknya. Kalau tidak untuk merayakan kesuksesan adiknya memasuki universitas impiannya, Lula tidak akan pernah mau.
Bibir Lula tersenyum kecil saat menemukan toko kue langganannya. DreamCake. Aroma kue yang masih hangat menusuk-nusuk hidung Lula bahkan sebelum ia masuk ke toko kue itu.
“Selamat datang di DreamCake. Menu apa yang ingin Anda beli?” ucapan itu menyambut Lula. “Satu kue blackforest yang ini. Lalu…” Lula berpikir sejenak, apakah ia akan membeli kue untuk dirinya sendiri atau tidak. “Dan satu kue bananapie.” “Baik.” Pelayan berseragam putih itu dengan cepat mengambil pesanan Lula. Memasukkannya ke kotak berwarna hijau. “Terima kasih telah memesan. Totalnya 150 ribu.” Lula mengangguk sekilas. Tangannya mengambil dompet di tasnya, bersamaan dengan ponselnya yang berdering. Lula melafalkan kata maaf sejenak, sebelum tangannya meraih ponsel. Melihat nama Joy terpampang di sana, wajah Lula langsung berseri-seri.
“Halo, Joy.” “Halo, La. Aku sedang di Indonesia sekarang. Apakah kau terkejut dengan kejutanku?” Lula terperangah. “Oh, ya? Di mana kau sekarang? Aku akan pergi ke sana.” Terdengar kekehan pelan di seberang sana. “Kau begitu merindukan diriku, ya? Aku di Cafe Rainbow.” “Baik. Aku akan ke sana sekarang. Kamu tahu, beberapa hari ini kamu tidak menelepon membuatku sangat cemas.” “Kamu pikir aku akan mengkhianati kamu, gitu? Tidak mungkin, La. Aku akan menepati janji aku untuk selalu berada di sisimu.” “Iya, Joy. Aku sungguh percaya dengan kamu.” “I love you, La. Aku akan tunggu kamu di sini. Aku tidak akan pergi ke mana-mana.” Lula menahan senyumnya. “I love you too.” Lalu, sambungan pun terputus. Lula dengan terburu-buru menyerahkan uang kepada pelayan yang dari tadi menunggu. Lalu dengan cepat mengambil kuenya.
Perempuan itu sungguh tidak sabar melihat Joy. Melihat senyuman laki-laki itu, atau memeluknya dengan erat. Dengan kecepatan cepat, Lula berlari mengejar bus yang sebentar lagi akan berangkat. Lula duduk di bus barisan paling belakang, satu-satunya kursi bisa ditempati oleh Lula. Tangannya membuka kunci ponsel, lalu mengamati foto dirinya bersama Joy yang diambil beberapa tahun yang lalu. Rasa rindunya sudah teramat besar sekarang.
Bibir Lula tidak pernah berhenti tersenyum. Jantungnya berdentum-dentum riang di dalam sana. Dia berdiri di depan pintu cafe sebelum masuk. Mengembuskan napas kuat-kuat melalui bibirnya. Letak cafe ini cukup dekat dengan rumahnya. Sehingga tempat ini dijadikan Lula sebagai tempat nongkrong favoritnya bersama Joy dulu. Dulu sekali, sebelum Joy memutuskan untuk pergi ke Jerman.
Dahinya mengernyit ketika tidak melihat ada tanda-tanda kehadiran Joy. Apakah Joy sedang membohonginya sekarang? Ah, tapi itu sungguh tidak mungkin. Lula duduk di meja paling ujung, bersebelahan dengan jendela besar yang dapat menampilkan keindahan kota Jakarta. Tempat favoritnya bersama Joy dulu, saat mereka masih SMA. Kenangan manis kembali menyerbu Lula tanpa bisa Lula hindari. Lula membiarkan dirinya kembali mengingat-ingat kenangan manis itu beberapa saat.
Beberapa menit Lula menunggu, kehadiran Joy masih belum dapat ia temukan. Dirinya dilanda perasaan cemas. Tangannya bergerak mengambil ponsel. Menghubungi seseorang yang ia cintai. Tapi sayangnya, hanya suara orang perempuan yang menjawab. “Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi. Co-” Dengan kasar Lula mematikannya. Ia merasa dipermainkan oleh Joy. Apa mungkin, Joy sedang menuju ke sini? Ah iya, mungkin saja seperti itu.
Lula menyerah. Akhirnya perempuan itu memilih untuk memesan minuman terlebih dahulu. “Satu Americano Coffee.” Beberapa saat menunggu, pesanannya sudah datang. Ponselnya kembali berdering ketika Lula ingin menyesap minumannya.
Nama Tante Reina terpampang di layar ponselnya. Lula mengernyit, untuk apa mamanya Joy menghubunginya? “La..” Nada suara perempuan tua itu terdengar sangat lirih, bercampur dengan suara tangisan. Lula menegakkan posisi duduknya, berusaha mendengarkan. “Iya, Tante? Ada apa, Tante?” “Joy, La… Joy..” Sosok perempuan di sana masih terus menangis histeris. “Joy kenapa, Tante?” Lula menggigit bibir bawahnya dengan cemas. Matanya berkaca-kaca, takut sesuatu terjadi kepada laki-laki yang dicintainya. Ia sangat khawatir. Dan jawaban Tante Reina selanjutnya, membuat Lula ingin menenggelamkan diri di laut saja. Dadanya sesak, seperti oksigen sudah habis untuk dihirup.
“Dia kecelakaan pesawat saat menuju Indone…sia.” “Nggak mungkin. Tapi dia menghubungi Lula tadi, Tan.” Air mata Lula meleleh di pipinya yang dingin. “Dia kecelakaan, La. Dan dia… meninggal.” Ponsel yang sedang Lula pegang meluncur jatuh ke lantai. Bersamaan dengan hancurnya ponsel yang bunyinya memekakkan telinga. Lula masih terus menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Sebuah kecelakaan pesawat terjadi, dari Jerman menuju ke Indonesia, dengan nomor penerbangan..” Suara berita dari televisi itu membuat Lula menutup telinganya kencang-kencang. Ia tidak sanggup mendengarnya. Ia tidak sanggup menerima kenyataan ini. Semuanya bohong. Lutut Lula seketika menjadi terasa sangat lemas. Tubuhnya jatuh luruh ke bawah. Air mata terus mengalir deras di pipinya, tanpa bisa Lula cegah. Jadi, siapa tadi yang meneleponnya? Itu Joy, kan?
I love you, La. Aku akan tunggu kamu di sini. Aku tidak akan pergi ke mana-mana. Suara itu bergema di telinga Lula. Aku akan menepati janji aku untuk selalu berada di sisimu.
Cerpen Karangan: Shandez Darlene Facebook: Shandez Darlene