Ada yang tiba-tiba mengukuhkan kembali rindunya. Lelaki itu sengaja datang ke jembatan gantung yang sudah ada sejak lama. Berdiri di persimpangan pagar jembatan. Memandangi pantulan cahaya bulan dan bintang di atas air kali. Memang terlihat indah pada waktu ini, meski siangnya keruh dan berwarna hitam. Ya, itulah kondisi perairan di Ibu kota ini. Dia melipat kedua tangan sambil bertumpu pada besi pagar, memperhatikan sekumpulan kunang-kunang yang terbang di antara ilalang. Tak ada satu pun kendaraan atau pejalan kaki yang melintas di sini pada waktu ini. Tapi memang inilah yang ia inginkan. Ia berpikir mungkin dirinya kesepian, mungkin orang-orang yang tinggal di bantaran kali ini juga kesepian, mungkin juga di luar sana ada seorang kesepian. Mungkin seorang gadis. Atau kunang-kunang.
“Apa yang membuatmu datang kemari?” gadis itu kembali menjelma di dalam bayangannya. Seorang bidadari yang memakai kemeja putih panjang dengan rok selutut. Seorang malaikat dengan rambut hitam lurus yang diikat model Twintail. Tak mampu ia menjawab, sebab ia sendiri pun tak tahu mengapa. Hanya saja langkah membawa serta dirinya, lalu berhenti tepat di tempat ini. “Kamu sepertinya tidak ingin bicara,” “Aku sebenarnya juga tidak tahu.” Lelaki itu akhirnya bicara. “Sudah, tidak usah dibicarakan lagi. Aku mengerti, kok. Sebenarnya kamu hanya sedang kesepian, iya kan?” Gadis itu hanya menahan tawa. Tawa tertahan yang mampu membuat wajah lelaki itu memerah. “Yah, sebenarnya aku pun begitu. Makanya aku datang kemari. Semua hal di tempat ini atau yang kulakukan. Mungkin akan membuatku melupakan semuanya. Walaupun itu hanya sesaat.” Lelaki itu diam pada awalnya. Tapi kecanggungan di antara mereka segera berakhir. Bersamaan dengan angin yang memnbawa aroma baru. Lelaki itu memutuskan untuk ambil peran. Mereka lalu mengobrol sepanjang malam, membicarakan apapun yang terlintas di benak mereka. Dan tanpa disadari. Hal itu telah mengawali kisah mereka.
“Apa yang membuatmu mencintaiku?” “Matamu, senyummu, tanganmu, segalanya,” jawab lelaki itu dengan lancar. “Kamu tidak romantis, itu seperti gombalan murahan.” “Maaf sayang, tapi kata-kata tak bisa menjelaskan cintaku. Terlalu mainstream.” Gadis itu hanya tersenyum malu. Senyuman yang mampu membuat lelaki itu semakin jatuh cinta. Terkadang ia berpikir, seharusnya ia tak memiliki cinta yang seperti itu, seharusnya ia memiliki cinta yang biasa-biasa saja yang mudah dilupakan. “Aku ingin mati sekarang. Mati disaat seperti ini, saat aku bahagia bersama orang yang kucintai dan mencintaiku. Sungguh.” Gadis itu terisak, perlahan ia menjatuhkan kepalanya kepelukan Lelaki itu. Waktu itu ia tidak begitu serius menanggapi perkataan si Gadis, dan menganggap itu hanya omongan yang berlebihan.
Suatu hari gadis itu pun pergi. Ia tidak akan datang lagi ke tempat itu untuk mengusir sepi, untuk menghabiskan malam, atau untuk bertemu dengan lelaki itu. Tubuhnya telah hilang dibawa oleh arus air Kali entah ke mana. Seperti yang ia katakan di dalam surat kecil itu. Surat yang mengatakan bahwa ia ingin pergi bersama perasaan bahagia yang ia banggakan.
Satu hari dalam setahun. Lelaki itu pergi ke jembatan ini untuk mengenang kembali memori yang telah mereka ukir di sini. Memandangi sepasang kunang-kunang menari diiringi melodi sendu di sana. Bertahun-tahun, selalu begitu. Sampai tak ada satu hari yang seperti itu lagi. Sampai ia menjelma kunang-kunang. Sama seperti gadisnya.
Cerpen Karangan: Akhyar Al Ansory Facebook: facebook.com/akhyar.al.ansory