Dua jam yang lalu kau telah berjanji untuk menemuiku di sini. Di sebuah halte bus tempat pertama kali kita bertemu. Saat itu hujan deras, aku melihatmu dengan mengenakan baju kemeja berwarna biru dan celana dasar berwarna hitam serta sepatu hitam yang mengkilap dan berhiasakan titik-titik air hujan di sepatumu. Kau berlari-lari kecil menyeberangi jalan yang berada di hadapanku, dengan menadahkan tangan di atas kepalamu sebagai pengganti payung agar kepalamu tidak basah. Aku memperhatikan setiap gerak-gerikmu. Kau berdiri tepat di sampingku. Dengan menghentak-hentakkan kedua kakimu bermaksud agar tetesan air hujan di sepatumu turun. Saat itu aku takut sekali melihat wajahmu, aku menundukkan wajahku. Kau tak berkata-kata, begitupun dengan aku. Kita hanya berdua saja berdiri di sini. Tak seorangpun terlihat belalu lalang ataupun pengendara motor yang melintas. Hanya ada mobil-mobil milik orang kaya yang berlalu lalang. Mungkin karena hujan yang turun dengan begitu deras sehingga terlihat sepi sekali di sini. Bahkan bus yang kutunggu pun tak kunjung tiba disaat hujan deras seperti ini.
Saat aku memberanikan diri melihat wajahmu. Aku melihat utuh wajahmu. Wajah oval, mata bulat, hidung mancung, bibir tipis serta janggut tipis menghiasi dagumu. Kau melemparkan senyum manismu kepadaku. Aku pun melakukan hal yang sama, aku memberikan senyuman kepadamu, orang yang tak kukenal saat itu.
“Hujannya deras sekali ya.” Ucapmu memecahkan keheningan diantara kita saat itu. “Iya. Hujannya awet.” Balasku. “Oh ya. Namaku Sulaiman Arif.” Kau mengulurkan tanganmu. “Aku, Aisyah Az Zahra.” Aku tak membalas uluran tanganmu. Aku hanya mengatupkan kedua tanganku. Sebagai wanita aku tak mungkin berjabat tangan, bersentuhan kulit dengan kulit bersama orang yang baru saja aku temui. Dan kau memaklumi hal itu. “Emangnya mau ke mana?” “Aku mau pulang.” “Masih kuliah atau kerja?” itu pertanyaanmu ketika melihat aku membawa map berwarna biru dan beberapa buku dalam pelukkanku. “Aku udah kerja.” “Emangnya kerja di mana?” “Aku bekerja di kantor notaris di ujung sana.” Kataku sambil menunjuk papan plang besar bertuliskan ‘Kantor Notaris’ tak jauh dari halte tempat aku dan kau berdiri. “Kebetulan sekali, aku bekerja sebagai pengacara di sebuah kantor lembaga bantuan hukum. Mungkin kita jodoh, hehe.” Candaan garingmu tak membuat kita tertawa.
“Kamu sendiri kenapa hujan-hujan begini kemari.” tanyaku. “Motorku baru saja mogok, untung saja matinya tepat di depan bengkel motor itu.” Katanya sambil menunjuk ke arah seberang sana, memang di seberang itu ada bengkel motor tertulis besar-besar nama merek dagang nama perusahaan besar motor produksi Jepang. “Katanya motorku mungkin besok bisa diambil. Lagipula sore begini tak mungkin mereka memperbaiki dan kelar sore ini. Oh iya, kamu mau pulang ke mana?” Belum sempat aku menjawab pertanyaanmu, terlihat mobil bus mendekati halte dimana saat ini kau dan aku berdiri. “Hanya cukup untuk satu orang saja.” Teriak kernet bus yang menjelaskan bahwa bus itu penuh dengan penumpang. Memang benar itu terlihat sekali banyaknya penumpang dari jendela kaca bus itu. Mungkin banyak orang yang menggunakan bus karena sore ini memang waktunya jam pulang kerja.
Aku menatap wajahmu, kau mempersilahkan aku untuk naik bus itu. Kau memilih mengalah dan tetap tinggal di halte bus dengan hujan yang masih berguyur walau tak selebat tadi. Di dalam bus aku masih melihat kau sendirian saja di halte, ditengah senja dan hujan seperti ini. Aku melihat kau sesekali melirik arlojimu tangan kirimu. Hingga bayanganmu hilang karena laju bus yang aku naiki melaju dengan cepat. Itulah pertemuan kita yang sangat singkat kala hujan yang deras.
Dua jam yang lalu, kau berjanji akan menemuiku di halte ini. Aku masih berdiri di sini menunggumu. Pesan darimu saja masih menempel erat pada handphoneku. Aku membaca satu persatu pesan percakapan di antara kita, untuk membunuh waktu. Aku masih ingat dengan setiap pesan dan cerita di dalamnya. Pertemuan kita yang kedua kalinya di halte ini, dengan memakai motor gede berwarna hitam kau hentikan laju motormu tepat di depanku. Di pertemuan kedua itulah kau meminta nomor hapeku. Sepertinya kau sengaja menemui aku di sini dan mengantarku pulang ke rumah.
Perbincangan kita berlanjut dengan pesan-pesan selanjutnya yang belum pernah kuhapus. Saat kau memintaku menemanimu untuk buka puasa bersama teman-teman sekantormu di sebuah panti asuhan. Saat itu kulihat kau asik bercengkrama dan sesekali tertawa berasama anak-anak yatim piatu itu, sebelum menunggu buka puasa. Aku juga ingat saat kau memintaku untuk melantunka ayat suci Al-Qur’an pada acara buka puasa bersama anak-anak panti asuhan itu. Suaramu masih kuingat saat kau menjadi imam sholat magrib usai berbuka puasa. Suaramu begitu merdu terdengar saat melantunkan ayat demi ayat pada rakaat pertama dan kedua. Suaramu yang menyejukkan qalbu, membuatku yakin bahwa kaulah kelak yang akan menjadi imam dalam setiap sholat berjamaah kita. Imam dalam hidupku dan ayah bagi calon anak-anak kita kelak. Aku selalu berdo’a kepada Rabb-ku, meminta agar kaulah sosok imam yang Allah pilihkan untukku.
Dalam setiap sholat malamku aku selalu berharap kelak kau yang akan menjadi imam sholat malam kita. Kaulah sosok imam yang baik untukku. Yang menentramkan jiwaku kala mendengar suaramu. Aku selalu berharap kaulah jawaban do’a ku selama ini.
Dalam pesan yang kau layangkan ini, kau berjanji padaku untuk menemui orangtuaku sore ini. Dan kita bersama-sama menemui orangtuaku, meminta kepada orangtuaku untuk menghalalkan hubungan kita.
“Lama banget sih ini bus nongol, udah pegal kakiku menunggu.” Ujar seorang ibu-ibu yang berada di sampingku. Dari kata-katanya sepertinya ia telah lama di sini bersama orang-orang yang menunggu bus di halte ini. Tapi aku tak menyadari akan hal itu. Kata-katanya malah menyadarkan aku dari lamunanku yang hanyut dalam kenangan masa lalu, saat membaca pesan darimu. “Mending naik ojek online saja.” Ujarnya lagi. Terlihat ibu itu asik mengotak atik handphone di tangannya.
Tak berapa lama, seorang pengendara ojek online datang menghampirinnya. “Ini bus ditunggu tak ada yang datang.” Ujar ibu itu sembari menaiki ojek online pesananya. “Ada kemacetan Buk, di ujung jalan sana.” Jawab sang pengendara ojek online itu. “Hah, macet? Ini bukan kota besar. Seperti jakarta saja pake macet.” “Spertinya ada kecelakaan Bu.” jawab pengendara ojek online itu. “Kecelakaan? Mobil dengan bus?” tanya ibu itu lagi, karena bus tak kunjung tiba. “Gak. Motor dan mobil. Si pengendara motor mengunakan hanphone saat berkendara.” “Makanya aku takut kalau anakku menjawab telepon sambil berkendara. Karena kecelakaan bisa menghampiri siapa saja yang tak mematuhi peraturan lalu lintas …” ibu itu berlalu bersama pengendara ojek online. Sesekali aku berpikir bahwa telah terjadi apa-apa padamu di sana, seperti percakapan ibu-ibu dan ojek online tadi. “Astaghfirullah.” Aku menepis segala pikiran buruk tentangmu. Aku berharap kau baik baik saja dan segera menemuiku di sini.
Dua jam yang lalu kau berjanji menemui aku di sini. Aku mulai letih menunggu di sini. Setiap kali aku coba menghubungimu tak pernah ada jawaban. Padahal kau sudah berjanji menemui orangtuaku sore ini. Umi dan Abi pasti sudah menantikan kehadiranmu di rumah. Apalagi umi, ia telah memasak makanan yang enak untuk menyambut calon menantunya. Sedangkan Abi udah bela-belain cepat pulang dari dinas nya di kantor kelurahan. Tapi sepertinya kau tak ada kabar.
Aku mulai resah, kau membuatku panik. Chat yang kukirimkan saja masih D belum R. Apakah kau sengaja tak membacanya, apa emang kau masih dalam perjalanan. Kakiku mulai pegal berdiri dan duduk. Itu yang aku lakukan. Kala melihat seseorang dengan mengendarai motor berwarna hitam aku selalu berdiri. Berharap bahwa itulah kau yang akan menemui aku di sini. Tapi setelah motor itu berlalu, dan ternyata bukan kau, aku duduk kembali.
Dua jam aku berdiri di sini. Ada ribuan motor dan mobil berlalu lalang di hadapanku. Ada orang yang turun naik dari bus di halte ini. Ada juga ambulan melaju sangat kencang. Tapi kau tak sedikitpun terlihat. Mungkin kau lupa padaku, apa mungkin kau sebenarnya suami orang lain, yang tak mungkin kau menepati janjimu untuk menemui aku di sini. Entahlah segala pikiran aneh bergelayutan di benakku.
Dua jam yang lalu, aku masih mendengar suaramu. Kau mengatakan bahwa kau sedang dalam perjalannan, dalam hitungan menit kau akan tiba ke hadapannku, tapi buktinya apa? Sudah dua jam aku menunggumu di sini. Batang hidungmu saja tak tampak. Apakah kau lupa pada janjimu atau kau lupa jalan menuju halte ini.
Dua jam yang lalu suaramu masih terdengar di handphoneku. walaupun suaramu begitu berisik, terdengar suara hembusan angin yang membuat suaramu terdengar samar samar. “Kamu di mana Mas Arif.” Tanyaku. “Tunggu sebentar ya, Dik Aisyah. Mas sebentar lagi sampai.” Itulah kalimat yang kau ucapkan dari seberang handpone sana, kalimat terakhir setelah itu kau tak memberi kabar lagi.
Tapi itu dua jam yang lalu. Tiap kali aku mencoba meneleponmu tak pernah ada jawaban. Padahal kau telah meyakiniku akan mengunjungi orangtuaku karena di hari raya Idul fitri beberapa hari yang lalu kau tak sempat ke rumah untuk bersilaturahmi menemui orangtuaku. Alasanmu, kau sedang di kampung. Dan kini, hari yang kunantikan kau akan menemui orangtuaku, menjelaskan niatmu untuk melamarku. Di pesan kemarin kau bercerita kepadaku bahwa kau berencana akan melangsungkan pernikahan kita di sebelum idul Adha tiba. Kau juga menjelaskan akan mengundang anak-anak dari panti asuhan dalam resepsi pernikahan kita.
Walaupun perkenalan kita sangat singkat, yaitu tiga bulan yang lalu di halte ini. Aku sangat yakin denganmu. Karena saat ini kau masih menjaga kesucian cinta kita. Cinta yang berlandaskan karena Allah, berharap mendapatkan Ridha Illahi. Dan aku berharap cinta itu masih utuh hingga kini.
Dua jam adalah waktu yang cukup lama bila dilakukan untuk menunggu, sedangkan menunggu adalah hal yang membosankan bagiku. Aku telah letih menanti kehadiranmu.
Bus yang menuju ke arah rumahku mulai kelihatan. Lebih baik aku pulang, sebelum kakiku menebal dan mengeras menunggu di sini. Aku akan mencoba meneleponmu untuk terakhir kalinya. Sebelum bus yang menuju ke sini berhenti di halte ini. Bila kau tak jua mengangkat teleponku dan masih mengbaikannya. Maka dengan sangat yakin aku pulang, walaupun sendiri. Nada tunggu handphonemu menari nari di telingaku. Hijrah cinta, lagu dari penyanyi Rossa, yang kau pilih menjadi nada tunggumu.
“Hallo.” Terdengar jawaban dari seberang sana. Di sana terdengar sangat berisik sekali. Terdengar suara beberapa orang yang sedang berbincang-bincang. Suaranya riuh sekali. Alhamdulillah lirihku. Akhirnya kau menjawab teleponku setelah kau paksa aku menunggumu selama dua jam di sini. “Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumsalam.” Jawab seorang lelaki di seberang telepon sana. Eh, tunggu. Sepertinya itu bukan suara kau. Aku sangat hapal dengan suaramu. Jelas-jelas ini bukan suaramu. Mengapa kau suruh orang lain untuk menjawab teleponku. Apa maksudmu. “Maaf, ini dengan siapa ya?” tanyaku penasaran. “Kamu yang siapa?” tanya lelaki yang suaranya tak pernah aku kenal. Aku semakin penasaran apa maksud pertnyaan lelaki di seberang sana. Dengan sangat yakin aku menjawab “Aku calon istri dari yang punya handpone itu.” “Oh, baguslah kalau begitu.” Apa maksud lelaki misterisus ini. Kemudian ia mejelaskan di mana ia berada saat ini. Ternyata ia berada pada jalan yang sama. Ia menjelaskan bahwa ia berada pada persimpangan yang tak jauh dari halte tempatku berdiri.
“Boleh aku tahu di mana orang yang punya HP itu?” tanyaku. “Ia baru saja mengalami kecelakaan, mungkin sekitar dua jam lalu. Ia dibawa ke rumah sakit, mungkin pembuluh darah di kepalanya pecah. Terlihat darah mengucur deras di kepalanya. Mbak sebaiknya cepat kemari untuk mengambil motor dan handphone ini. Oh iya, kami juga menemukan cincin yang tergeletak di aspal. Mungkin cincin ini miliknya.”
Aku lemas, kepalaku pusing seribu keliling. Dunia terasa seakan berputar dengan kencang. Aliran darahku sepertinya tak melaju dengan baik sehingga tak memompa ke jantung. Darah mengalir ke ubun-ubun dengan deras. Nafasku tersengal. Kakiku tak sanggup lagi untuk berdiri. Kedua telingaku berdenging keras sekali. Pandanganku mulai terlihat kabur. Hitam dan gelap.
“BRUG”
SELESAI
Cerpen Karangan: Ali Jamal Facebook: Alhie Djamal