Siang ini, aku berjalan bersama Wanda, sahabatku. Sejak keluar dari gerbang sekolah, Wanda terus saja mengomel soal pacarnya yang tiba-tiba minta putus dengannya. Aku hanya mendengarkannya sambil menahan kantuk. Tiba-tiba saja ada seorang cowok berseragam basket berlari ke arahku seperti terburu-buru. Ia menabrak bahuku dan aku terjatuh. Memang tabrakannya tidak terlalu keras, tapi karena aku sedang mengantuk jadi tidak bisa menyeimbangkan tubuh. Sehingga aku terjatuh.
“Duhh.. gimana sih?” Omelku. “Maaf, aku sedang terburu-buru soalnya ketinggalan final basket. Ini kartu namaku kalau ada cedera. Maaf, aku duluan ya?” Ia segera berlari begitu saja setelah meninggalkan kartu namanya.
Aku membaca kartu namanya. “Marcell Augustrian. Kelas XII SMA PELITA.” “Tuh ada alamatnya,” Wanda menunjuk sebuah alamat. “Kamu beruntung, Ya.” “Beruntung dari mana, hah? Ditabrak kok katanya beruntung. Aneh, ah, kamu!” Kataku. “Dia tuh ganteng, keren, tinggi, atletis, idaman kamu, kan?” “Udah, ah. Yuk pulang!” Ajakku.
Malam harinya, saat aku sedang menonton televisi, aku teringat ucapan mamaku tempo hari. Katanya kakak laki-lakiku akan pulang ke rumah. Sejak kecil, aku belum pernah bertemu dengan kakakku itu. Nama kepanjangannya pun aku tak tahu. Yang kutahu hanya nama panggilannya saja yaitu Acell. Usianya dua tahun lebih tua daripada aku. Dulu saat kakakku berusia satu tahun, kakakku sudah ikut nenekku ke rumah kelahiran mamaku yaitu di Padang. Sedangkan orangtuaku tetap tinggal di Jakarta. Setahun kemudian aku dilahirkan.
Tak sabar rasanya bertemu dengan kakakku. Akhirnya aku tak akan lagi merasa kesepian di rumah saat orangtuaku bekerja.
Hari ini hari Minggu, aku mengajak Wanda untuk pergi ke toko buku. Sesampainya di sana aku dan Wanda sibuk memilih novel. Dan tak sengaja aku bertemu dengan Marcell.
“Lho.. kamu?” Kataku dan Marcell berbarengan. Kemudian kami berdua tertawa kecil. Kemudian kami berdua terdiam. “Maaf ya yang kemarin.” Katanya mencairkan suasana. Aku mengibaskan tanganku, “nggak papa kok, Cell” “Lho kok tau namaku?” Tanyanya. Aku menyodorkan kartu namanya yang kemarin ia berikan kepadaku. “Oh iya, aku lupa kalau kartuku ada di kamu.” Aku tertawa geli. “Kamu udah tahu namaku, jadi aku boleh tahu nama kamu, kan?” Ia mengulurkan tangan. “Aku Dhea.” Kataku sambil membalas uluran tangannya. “Boleh minta nomor handphonemu?” Tanyanya. Aku mengangguk. “Aku dikte ya…” Marcell mencatat nomorku. “Thanks.” Aku hanya membalas dengan senyuman.
“Ma, katanya kakak pulang? Kok lama ya?” Tanyaku saat makan malam bersama dengan orangtuaku. “Iya, Dhea. Dua minggu lagi kakakmu pulang kok, sayang. Dia terpilih untuk mewakili basket antar-sekolah.” Jelas mamaku. “Trus gimana sekolahnya?” “Tenang. Dia udah dapet sekolah baru kok di Jakarta.” “Oh..” gumamku tanda kalau aku sudah mengerti.
Dua minggu kenal dengan Marcell. Kita sudah semakin dekat. Membuatku diam-diam ada rasa dengannya. Dan pertanyaan Marcell tadi pagi saat ia memintaku untuk bertemu dengannya di taman membuatku berfikir. Ia memintaku untuk menjadi pacarnya. Aku tahu kalau ini terlalu terburu-buru. Harusnya kita harus mengenal lebih dekat lagi. Dan jika sudah merasa nyaman dan cocok barulah. Tapi yang namanya cinta mau bagaimana lagi? Hingga akhirnya aku merasa mengantuk dan tertidur.
“Dhea!! Ayo banguuunnn!! Ini udah siang!!” Mamaku membuka korden kamarku lebar-lebar agar cahaya matahari dapat menerangi kamarku. Aku memicingkan mataku karena silau terkena cahaya matahari yang sudah agak meninggi. Benar, hari sudah siang. “Ini hari Minggu, kan, Ma?” Tanyaku sambil beranjak pergi ke kamar mandi. “Iya. Cepet mandi!! Kakakmu udah datang tuh!!” Hah? Kakakku sudah datang? Aku harus cepat-cepat mandi dan berdandan. Karena ini hari pertama aku bertemu dengan kakakku.
Setelah mandi, aku berjalan ke ruang tamu. Dag.. dig.. dug.. rasanya hatiku saat akan bertemu dengan kakak kandungku yang selama 16 tahun ini aku belum pernah bertemu dengannya. Sesampainya di sana, aku terkejut bukan main. Nafasku memburu. Rasanya kakiku kaku dan bibirku kelu. Aku dan kakakku saling bertatapan. Ia juga sama terkejutnya denganku. Sampai-sampai papaku menegur kami, “Dhea, Acell, ada apa? Kok terkejut?”
Kak Acell berdiri dan memelukku. Aku menangis di pelukannya. Hal ini tak pernah terbayangkan dalam hidupku. Ternyata Marcell yang kemarin menembakku adalah Acell, kakak kandungku sendiri. Hatiku benar-benar sakit. Padahal aku telah jatuh cinta kepada Marcell. “Maaf, Kak,” kataku lirih. “Aku nggak bisa nerima kamu jadi pacarku. Kamu itu kakak kandungku sendiri.”
End
Cerpen Karangan: Ida Febrianty Facebook: Ida Febrianty