“Brakk..”. Tubuh pria itu seakan terhempas kuat ke bibir jalan. Kulitnya yang putih menabarak trotoar jalan. Tubuhnya bersimbah darah. Dalam hitungan detik sudah banyak manusia yang berkumpul menyaksikan tragedi itu. Salah satu dari mereka bahkan telah menghubungi polisi dan ambulans untuk menolong pemuda itu dan menuntaskan kasus tersebut.
Tak beberapa lama, mobil polisi dan ambulans pun datang. Seseorang digelandang masuk ke dalam mobil polisi dengan tubuh gemetar. Seseorang itu adalah pengemudi truk yang menabrak pemuda ketika mencoba menyelamatkan suster yang menyeberang tanpa hati-hati. Dan seseorang lagi terpaksa harus masuk mobil ambulans dan mendapat perawatan medis karena menderita luka yang cukup serius.
“Apa yang terjadi pada pemuda ini dok?” “Kita akan menunggu sampai dia sadar.”
Tak berapa lama pemuda setengah baya tersebut telah sadar. Ia mengernyitkan dahinya. Mengusap-usap matanya. Dengan terheran-heran ia mencoba membuka mulutnya dan berkata, “Tolong nyalakan lampunya!” “Maaf tapi di sini sudah sangat terang.” Jawab sang suster. “Tapi aku tak bisa melihat apapun. Di sini semuanya tak terlihat. Semua gelap.”
Dokter lalu memeriksa pemuda tersebut seraya berkata, “Anda mengalami kebutaan akibat benturan keras pada kepala anda.” Dokter lalu memberi isyarat pada suster untuk menjaga pemuda setengah baya itu kemudian pergi meninggalkan pemuda yang masih shock atas musibah yang telah menimpa dirinya. “Nn.. Namaku Mawar. Kamu bisa memanggilku Suster Mawar. Siapa namamu?” tanya suster mawar. “Namaku Rangga.”
Kekraban sudah kian terasa saat kedua manusia ini saling bertemu. Keduanya tak lagi canggung saat saling bercakap-cakap. “Rangga, mau jeruk nggak? Aku kupasin ya?” ucap Suster Mawar. “Boleh.” “Mmm.. Aku nanya boleh nggak? Sebenarnya kenapa sih kamu sampai kecelakaan kemarin?” Rangga masih diam membisu. Ia tak sedikitpun menjawab.
“Kalau nggak mau cerita gak apa-apa kok. Aku gak maksa.” “Hhh. Waktu itu aku sedang marahan sama orangtuaku. Karena masih pagi, aku hanya bisa menghibur diriku dengan biola bukan rembulan. Saat itu aku melihat seorang suster hendak ditabrak truk. Spontan aku berlari menyelamatkannya. Naas, aku yang tertabrak dan.. dan penglihatanku direnggut.”
Entah apa yang terjadi pada diri Mawar. Hanya ada rasa takut yang kini membayangi seluruh pikiran dan akalnya. Ia menyesal. Marah. Kecewa. Semua menjadi satu. Orang yang tengah di hadapannya kini telah menjadi korban atas kesalahannya yang tidak taat rambu lalu lintas. Bahkan pemuda tak berdosa ini pun tidak tau kalau suster yang merawatnyalah penyebab ia buta. “Mengapa aku meninggalkan hanya karena aku takut terlambat? Di mana naluriku sebagai suster?” sejuta pertanyaan membayangi pikiran Suster Mawar.
3 hari telah berlalu. Awalnya Mawar yang merasa dihantui oleh rasa takutnya akibat kecelakaan yang dialami Rangga kini telah bermetamorfosis menjadi rasa kagum yang tengah dihadapannya kini. Kagum tentang pemikiran-pemikiran luasnya serta cara pandangnya yang berbeda dengan masyarakat pada umunya. Ditengah rasa kekagumannya, ia merasakan penderitaan Rangga. Keluarganya tak kunjung datang menjemput atau sekadar menengoknya. Walaupun telah diizinkan dokter untuk pulang. Suster itu pun semakin gelisah dan khawatir akan pemuda tersebut. Merasa iba pada nasib yang dialami pemuda itu. Atas izin rumah sakit, ia membawa pemuda itu ke asrama rumah sakit. Biaya administrasi pun merasa harus ditanggungnya. Ia ingin menebus kesalahannya. Ia begitu telaten dalam mengurus pemuda itu. Memotong kukunya setiap minggu, menyuapinya ketika makan siang, menemaninya menatap rembulan dan masih banyak lagi.
Sebulan telah berlalu dengan rutinitas baru sang suster yaitu mengurus dan menjaga pemuda itu. Walaupun setelah keluar dari rumah sakit suster sudah tidak memiliki tanggung jawab atas pasiennya. Tapi itu semua ia lakukan untuk menebus rasa bersalahnya yang akhirnya berkembang menjadi kagum.
Kini ia dan pemuda tersebut sedang duduk di rooftop rumah sakit dan mendongak ke atas menatap rembulan yang sekarang tengah memancarkan cahaya dari senyumnya. Walaupun pemuda tersebut telah direnggut penglihatannya. “Eh kenapa sih kamu suka banget kalau lihat rembulan? Aku liat mata kamu berbinar saat kamu mendongak ke atas. Seakan kamu bisa melihat dengan jelas rembulan di atas sana. Padahal..” Ucap Suster Mawar. “Padahal aku buta.” Sahut Rangga. “Ngg, maafin aku. Aku gak bermaksud menyinggung kamu.” “Gak papa kok. Hhh.. Dari kecil aku memang suka menatap rembulan. Apalagi setiap aku ada masalah, aku selalu naik atap rumah untuk melihat rembulan. Menurutku, saat aku melihat rembulan, perasaanku menjadi lebih baik. Bahkan saat dulu aku masih duduk di Taman Kanak-Kanak, aku pernah dimarahi ibuku. Saat itu aku naik keatap rumah dan menatap rembulan di sana. Tak disangka, ibuku mencari kesana kemari dan akhirnya mendapatiku sedang turun dari tangga di belakang rumahku. Dia begitu khawatir denganku. Hhh…” Ucap Rangga sambil mencoba mengingat pengalamannya dan akhirnya tertawa terbahak-bahak. “Haha. Kamu lucu banget sih.” Sahut Suster Mawar. “Eh sekarang gantian kamu yang cerita pengalaman kamu atau hal-hal kesukaan kamu.” “Ngg, apa ya? Dulu sewaktu aku SD, aku pernah tuh kursus main biola. Udah satu tahun aku kursus biola tapi bunyinya itu masih terdengar sakit di telinga. Kayaknya aku memang gak bakat deh. Jadi, ya sampai sekarang aku tetep gak bisa main biola. Hehehe.” “Biola? Kamu punya biola? Dari kecil, aku suka main biola. Tapi karena kecelakaan kemarin, biolaku entah di mana sekarang.” “Besok aku bawain deh kalau mau pinjam.”
“ngggiikkkkkkk” Suara pintu tua yang memekikkan telinga bagi yang mendengarnya. Namun tidak bagi Rangga. Ia begitu girang dengan adanya suara ini. Mawarlah yang datang. Seperti biasa ia datang untuk mengajak Rangga ke rooftop rumah sakit sekadar melihat rembulan. Dan kini ia telah membawa kejutan bagi Rangga yakni biola. Dan kini mereka telah berda di atas. Langit begitu bersahabat. Bintang bertebaran di langit. Rembulan menunjukkan senyumnya yang manis. Dan tidak setitikpun guratan mendung kala itu.
“Mau main biola sekarang?” Rangga mengangguk pelan. Ternyata dengan tangan perkasa itulah semua orang dapat terpikat oleh merdunya gesekan-gesekan senar dari biola yang dimainkannya. Begitu juga dengan Suster Mawar. Terasa begitu menentramkan dan khas bila dimainkan oleh Rangga.
“Turun yuk udah malam. Aku akan antar kamu.” Ucap Rangga “Kok kamu yang antar aku? Gak apa-apa biar aku aja yang antar kamu.” “Engga lah. Masak kamu terus yang nganter? Tenang aja aku udah hafal kok kamar aku yang mana.” Sahut Rangga cepat. “Iya deh.”
“Hati-hati. Masih kurang 2 anak tangga lagi. Emm.. Menurut kamu, aku ini gimana?” cetus Mawar tiba-tiba. “Maksudnya?” “Ya, menurut kamu aku ini gimana?” “Aku begitu menyukai rembulan. Tapi kini penglihatanku telah direnggut. Duniaku gelap dan kosong. Namun kini telah hadir rembulan dalam jiwaku. Rembulan yang tak pernah hilang karena hari telah pagi, tak pernah lenyap karena langit yang tak bersahabat dan tak pernah hilang dari pandanganku karena rotasinya. Ia justru selalu bersamaku dan akan selalu ada dalam jiwaku. Dan kamulah rembulan itu.”
Dengan spontan Mawar pun memeluk tubuh perkasa Rangga. Ada rasa gemetar dan malu dalam dirinya saat ia menyadari tindakan konyolnya itu. Merasa malu, ia bergegas melepaskan pelukannya itu dan masuk dengan tergesa-gesa. Rangga pun tidak menampik bahwa ia juga mencintai Mawar. Ia kini seperti melayang di udara. Tanpa ia sadari, ia berlari sambil bernyanyi di dalam gelap. Ia tersandung di tengah gelapnya malam. Namun ia juga tak kunjung berhenti dan terus saja berlari dan bernyanyi seperti anak kecil yang baru pertama kali mendapat lolipop.
“Ttiiinntttt… Tttiiiiiinnntttt” Sebuah truk melaju denga cepat karena jalanan yang tengah lengah. Di sudut jalan terlihat Rangga yang masih saja berlarian. Nasib malang telah menimpa diri Rangga untuk kedua kalinya. Kesalahan apa yang mungkin telah diperbuatnya sehingga takdirnya begitu menyesakkan. Begitu menggetarkan hati.
Suasana begitu khidmat. Gagak pun nampak setia untuk hinggap di dahan pepohonan untuk menyaksikan bagaiman manusia kembali kepada Penciptanya. “Rangga Mahemba Bin Wijaya Suta Mahemba. Lahir 3 Maret 1987. Wafat 15 Oktober 2015.” Setidaknya itulah kalimat yang dibaca oleh pemuda berkulit putih ini. Ia terbelalak dengan kalimat yang dibacanya itu. Berulang-ulang ia membacanya. Namun, tetap ia tak percaya. “Rangga telah wafat. Lalu siapa aku? Aku masih ingat betul kalau akulah Rangga.” Tanya hati kecilnya.
Seribu pertanyaan begitu mengganggu pikirannya dan ia akhirnya memutuskan untuk menunda pertanyaannya sampai upacara suci itu selesai. Setelah selesai, ia melihat wanita yang teramat sangat kehilangan seseorang yang bernama Rangga Mahemba itu. Air mata terus mengucur di sudut mata dan membasahi pipi yang lembut. Kesedihan begitu terpancar dari mukanya nya sabar. “Apa itu Suster Mawar?” Tanya sang pemuda itu dalam benaknya. Ia memilih untuk menjauhi wanita itu karena merasa tak akan sanggup berada di sampingnya hanya untuk melihatnya menangis. Ia bertanya pada seorang pria setengah baya tentang siapakah Rangga Mahemba, bagaimanakah ia sampai dipanggil ke Rahmatullah, dan siapakah wanita yang menangis tersedu-sedu di samping makam itu. Jawabannya sungguh mengejutkan, “Rangga Mahemba adalah seorang yang buta yang tinggal di asrama rumah sakit. Ia meninggal tadi malam karena tertabrak truk. Dan perempuan itu adalah Suster Mawar. Suster yang telah merawat Rangga.” Jawaban dari pria setengah baya itu. “Terima kasih atas informasinya pak.”
Kakinya lemas. Tubuhnya layu bak tanaman di musim kemarau panjang. Pemuda itu melangkah gontai ke sudut pemakaman. Berteduh di bawah pohon beringin yang rindang. Ia terus bertanya pada dirinya sambil mengingat apa yang sebenarnya terjadi dan siapakah dirinya ini. “Dulu kan aku buta. Sekarang.. Ah ya, sekarang aku bisa melihat. Tapi aneh sekali. Kenapa ini semua bisa terjadi? Dan kalau aku benar Rangga, kenapa waktu di pemakaman tadi Suster Mawar seperti tak mengenalku?”
“Wahai Saudaraku!” ujar sang nenek tua yang tiba-tiba saja datang. “E..e Ne.. Nenek ini siapa? Kenapa mengejutkanku?” “Kau tidak ingat aku? Semalam kita baru saja bertemu dan lihatlah di telapak tanganmu. Ada 3 titik di sana. Kau diberi waktu untuk menuntaskan segala urusan duniamu sebelum benar-benar kembali ke Pencipta-Mu.” “Jadi aku benar-benar sudah meninggal?” sahut pemuda berkulit putih itu. “Apa kau tidak ingat semalam? Kau mengalami kecelakaan. Dan kau sendiri juga sudah melihat jenazahmu kan?” Pemuda itu tak bergeming. Ia terus mencoba mengingatnya. Dan, “Tidak. Itu semua hanya mimpi. Ini tidak nyata.” “ini semua nyata. Dan kau diberi waktu 3 hari untuk menuntaskan semuanya. 1 hari 1 titik. Berkurang 1 titik, berkurang 1 hari waktumu di dunia yang fana ini. Pergunakanlah kesempatanmu dengan sebaik-baiknya.” “Tapi kenapa aku mendapat kesempatan ini?” ujar pemuda berkulit bersih itu. “Karena kau memiliki cara yang spesial untuk berkomunikasi dengan rembulan.” Jawabnya. “Tapii..” Hei, nenek itu menghilang entah di mana. “Nenek kau di mana? Nenek maya??”
Cerpen Karangan: Ririn Facebook: Ririn Setyowati