“Ayolah Pak beritahu aku dimana Suster Mawar sekarang?” “Sudah kubilang aku tidak tau. Aku ini bukan ayahnya tau! Tanya saja pada rumput yang bergoyang.” Jawab sang Satpam. “Hhh.. Eh, maaf dokter tau di mana Suster Mawar?” “Sepertinya dia tidak masuk hari ini karena masih berduka. Rangga meninggal.” “Kenapa semua orang tidak ingat aku? Aku dulu pernah di sini kan?” tanyanya dalam hati. “Emm.. Kalau begitu saya boleh tau berapa nomor kamar Suster Mawar?” “Maaf saya juga tidak begitu tau akan hal tersebut.” Jawab sang Dokter.
Pemuda berkulit bersih itu pun pulang ke asrama rumah sakit. Beruntung ia masih mengingat nomor kamarnya. Dan yang terpenting kuncinya pun berada di saku celananya. Ia menunggu barangkali Suster Mawar mengunjungi kamarnya untuk memotong kuku dan menyuapinya seperti saat dia buta dulu. Setelah malam tiba, dan rembulan pun menyapa dengan senyumnya yang manis, ia pun berharap kala itu Suster Mawar akan datang. Dengan gairah yang tinggi, ia menunggu di rooftop rumah sakit. Namun, harapannya telah sirna. Suster Mawar tak kunjung datang.
Hari pertama misi telah gagal. Sekarang hari kedua bagi pemuda itu untuk menuntaskan segala urusannya dengan mawar. Api semangatnya membara. Ia bertekad kuat agar di hari kedua ia dapat berhasil. “Suster Mawar.” Sapa pemuda berkulit bersih itu. “Ya. Maaf anda siapa?” “Akk.. aku.. Aku Rangga Mahemba. Aku..” “Rangga? Engga. Rangga udah meninggal. Jadi kamu enggak mungkin Rangga” “Tolong percaya Suster Mawar. Aku benar-benar Rangga.” “Wajah kamu memang mirip dengan Rangga. Tapi kamu bukan Rangga.” “Suster Mawar..” Suster Mawar terus berjalan tanpa menghiraukan pemuda yang terus menerus meyakinkannya bahwa dirinya adalah Rangga Mahemba.
Pemuda itu duduk termenung di sudut rumah sakit menantikan Suster Mawar keluar kembali. Ia tak mungkin kembali ke kamar asramanya dan hanya berharap kalau-kalau Suster Mawar mau mengunjunginya. Itu tak mungkin terjadi. Kali ini, ia lebih memilih menunggu sampai Suster Mawar pulang. “Suster Mawar.. Suster Mawar.. Tunggu. Tolong dengarkan penjelasanku. Kamu harus percaya kalu aku adalah Rangga Mahemba.” Sepanjang jalan pemuda itu terus berteriak dan menjelaskan bahwa ia adalah Rangga Mahemba. Namun, Suster Mawar sama sekali tak menghiraukannya. Hingga akhirnya ia telah sampai di depan pintu kamar Suster Mawar. “Braaakkk..” Pintu ditutup dengan sangat keras.
“Tolong dengarkan aku sekali saja. Aku Suster Mawar. Pemuda yang sangat mengagumimu. Yang mengagumi rembulan. Yang..” “Berhenti mengaku sebagai Rangga. Kamu bukan Rangga. Pergi kamu. Pergii. Aku gak amu ketemu kamu lagi. Pergiiii..” Sahut Suster Mawar dengan terisak-isak. Pemuda berkulit putih itu pergi dengan langkah gontai. Api semangatnya yang beberapa saat lalu masih membara kini telah padam. Disitulah angin dingin terus bertiup. Menusuk hingga relung hati yang terdalam. Menjadikan api semangat yang dimilikinya padam.
Kini pemuda berkulit putih itu membuka pintu dan menutupnya dengan kasar. Ia geram akan takdir yang memilukan ini. Ia menangis di kegelapan. Untuk pertama kalinya pemuda perkasa ini meneteskan air mata. Membasahi raut mukanya yang suram. Sungguh menyesakkan dada bagi yang melihatnya. Ia merasa takdir tak lagi memihaknya. Ia telah berputus asa. Ia merasa semua takdir memilukan hanya untuk dirinya. Seakan semua beban diletakkan di pundaknya. Tersungkur dalam tangisan yang memilukan nan kegelapan itulah dialaminya kini. Dalam kegelapan dan kesunyian, ia menemukan tape recorder dan mulai berpikir untuk memberikan kenangan untuk Mawar. Ia tak ingin pergi tanpa satu kenangan apapun. Ia mulai merekam apa yang ingin ia sampaikan pada Suster Mawar melalui tape recorder. Selesai. Klik. Pikirannya mulai mengingat sesuatu.
“Nenek.. Nenek Maya.. Keluarlah nek.” “Keputus-asaanmu tidak akan membawa hasil positif. Terus berusaha. Kenapa aku memanggilku nenek maya?” “Kenapa kupanggil Maya? Karena nenek semu. Nenek tidak nyata. Emm.. apa yang harus kulakuakan nek?” “Apa yang dulu sering kau lakukan bersama Mawar?” “Emm.. Naik atap, memandang rembulan, dan.. Ahh, main biola. Ya biola. Dia begitu menyukai suara biola saat aku yang memainkannya. Aku akan tunjukkan padanya besok. Terimaa ka.. hhhh. Lagi-lagi nenek itu menghilang. Terima Kasih Nenek..”
“Kkkrrriiiiiinnggg…” Hari ketiga. Hari terakhirnya dibumi yang fana ini. Kali ini api semangatnya membara kembali. Bahkan lebih dari sebelumnya. Saat matahari belum memancarkan sinarnya dan ayam pun belum berkokok, ia telah bersiap-siap. Ia sengaja memasang alarm sangat pagi. Pemuda itu bergegas ke taman rumah sakit akan tetapi ia sengaja menyembunyikan diri dan wajahnya agar tak terlihat oleh Suster Mawar. Ia selalu hafal jika Suster Mawar berangkat paling pagi dibanding suster lain. Ia kemudian mulai bermain biola. Nadanya yang khas, lantas membuat Suster Mawar benar-benar percaya bahwa Rangga ada didekatnya. Suster Mawar terus mencari. Dan alangkah terkejutnya ia. Yang memainkan biola adalah pemuda berkulit putih itu.
“Sebenarnya kau ini siapa?” ujar Suster Mawar. Sebelum pemuda itu sempat menjawab, Suster Mawar kembali bertanya, “Apa kau benar kalau kau ini Rangga Mahemba? Tunggu! Aku punya pertanyaan untukmu. Apa yang kamu ketahui tentang aku dan Rangga.” “Suster sering memotong kukuku, mengupaskan buah untukku, menyuapiku, mengajakku naik ke atas, menatap rembulan walau aku buta, dan aku selalu memainkan biola milik Suster ini. Dan suster selalu menyukai permainan biolaku ini. Suster Mawar adalah rembulan bagiku. Aku begitu menyukai rembulan. Tapi kini penglihatanku telah direnggut. Duniaku gelap dan kosong. Namun kini telah hadir rembulan dalam jiwaku. Rembulan yang tak pernah hilang karena hari telah pagi, tak pernah lenyap karena langit yang tak bersahabat dan tak pernah hilang dari pandanganku karena rotasinya. Ia justru selalu bersamaku dan akanselalu ada dalam jiwa ku.” Kata-kata itu selalu membuat hati Mawar berdesir. Kini ia yakin bahwa pemuda di depannya adalah Rangga Mahemba. Pemuda yang sangat dicintainya. Ia memeluk tubuh perkasa itu untuk kedua kalinya setelah mendengar kata-kata itu.
“Aku enggak bisa ngelihat kamu pergi lagi untuk kedua kalinya Rangga.” “Tapi aku juga engga bisa mengingkari takdirku. Aku ingin terus bersama kamu. Menjadi pengagummu. Tapi ini adalah bagian dari takdirku yang harus kujalani Mawar. Takdir yang memilukan. Setidaknya kita sudah menatap rembulan dan main biola bersama kan? Rembulanku, aku engga ingin kamu mengantarku dengan tangisan. Bagaimana perasaanku nanti jika kau menangis? Tanganku tak mampu menghapus air matamu lagi tapi aku bisa melihatmu menangis dari atas sana. Aku tau itu akan sakit. Untuk itulah aku memberi tape recorder ini. Sebagai kenangan untuk diingat di hati kita. Jangan menangis rembulanku..”
Perlahan, tubuh perkasa Rangga mulai terlihat semu. Seperti Nenek Maya. Kakinya tak lagi menjejak di tanah. Cahaya begitu terang menyilaukan wajahdan seluruh tubuhnya. Hingga akhirnya dia telah benar-benar menghilang. Dia mati untuk kedua kalinya.
“Aku tak ingin mengekangmu oleh kenangan yang tercipta bersamaku. Aku ingin melepasmu dari sangkar cintaku. Bukan ku tak lagi mengagumimu namun takdir tak membawaku bersamamu. Aku pergi bukan untuk meninggalkanmu tapi justru menjadi abadi bersamamu.”
Setidaknya itulah bunyi tape recorder yang dibawa Mawar sekarang yang menjadi kenangan di hati Mawar dan Rangga. Yang menemani tangisan sendu Sang Suster yang baik hati dan sabar. Ya, dia perlahan meneteskan air mata. Tak kuasa menahannya terus di dalam mata yang seakan telah perih melihat takdir memilukan Rangga yang tak dapat diubahnya. Pipinya kini telah basah oleh linangan air dari sudut matanya. “Maafkan aku Rangga. Tapi rembulanmu ini juga tak kuasa menahan tangisannya.”
SELESAI
Cerpen Karangan: Ririn Facebook: Ririn Setyowati