“Aku tak menyukaimu.” Lagi, lagi Dera menyangkal perasaan yang selama empat bulan ini bergelut sendirian di hatinya. Pria tersebut memincingkan matanya, mencari bukti bahwa apa yang diucapkan gadis itu valid. “Aku tak yakin?” “Sungguh. Lebih baik kau pergi atau aku yang menjauh dan jangan pernah menggangguku lagi!” Gadis itu benar-benar bingung menghadapi sikap Noah yang selalu membuatnya kehabisan kata-kata. Noah menatap lekat gadis itu, mencari kebohongan atas ucapannya yang tanpa sadar telah menohok hatinya. Noah menghela nafasnya secara teratur. “Baiklah, jika itu maumu. Aku akan pergi.” Dera menatap malas pria yang tanpa sadar telah memberikan sejuta kenangan dalam hatinya. “Kalau begitu, cepatlah,” usirnya.
Sebelum Noah benar-benar melangkah menjauh dari bus halte. Pria itu tersenyum, senyuman tulus yang dapat membuat hati Dera terenyuh seketika. Dalam hatinya Ia menjerit ingin menangis di dalam pelukan hangat pria itu tetapi egonya mengalahkan hati nuraninya. “Aku ingin kamu menjaga kesehatanmu, keselamatanmu, serta aku titip cintaku untukmu yang tak pernah tahu bahwa aku selalu mengagumimu dengan cara yang berbeda. Semoga kamu bahagia bersama orang yang tepat, maaf jika aku telah menjadi pengganggu di hidupmu, tapi sungguh maksudku hanya ingin menjadikan perhatianmu sepenuhnya untukku. Mungkin ini terakhir kalinya kita berbicara. Sesuai dengan ucapanmu. Aku harus pergi ‘jauh’.” Noah tersenyum lalu melangkah menjauhi halte bus tersebut. Sejuta saksi perpisahan mereka berada di sana, kedua belah pihak yang saling mencintai tetapi rapuh karena egonya masing-masing.
Dera. Gadis itu menatap sendu punggu pria yang sedang berjalan menuju zebra cross. Bulir bening itu tanpa perintah luruh melalui pipi tirusnya. Pandangannya tetap pada siluet tubuh Noah yang lambat laun semwkin menjauh, dan ini konsekuensi saat Ia lebih memilih ego ketimbang hati yang selalu mengalah atas segala apapun, hatinya sungguh sakit saat Ia berucap sesuatu yang tak seharusnya ia ucapkan.
Dera terduduk di kursi halte tersebut, ia menopang wajah lemahnya dengan kedua telapak tangannya, bulir ini tak dapat ia hentikan walau ia sudah memaki dirinya sendiri karena terlalu lemah terhadap cinta.
“Maaf.” Berulang kali Dera juga mengatakan satu kata tersebut. Hanya kata ‘maaf’ sebagai kata pengantar kesedihan hatinya. Ia tak menyangka bahwa Noah akan mengatakan isi hatinya di penghujung perpisahan mereka. Siapa yang bodoh? Dirinya atau Noah? Jika Noah mencintainya, mengapa pria itu memilih meninggalkannya? Mengapa pria itu tidak mengelak permintaannya? Mungkin inilah waktunya, mengalahkan ego dan mengatas namakan cinta. Dirinya tak boleh egois hanya karena gengsi mengatakan ‘Ya, aku mencintaimu.’ Suatu kebohongan dan kesalahan besar yang selama ini menderanya.
Dera menghapus bulir yang tersisa di pipinya. Ia berdiri lalu melangkah meninggalkan halte, dan mulai mengejar Noah yang tengah menyeberang di zebra cross. “Noah!” Baru kali ini ia berteriak di muka umum. Ia tak peduli lagi, jika egonya menentang seluruh pergerakannya. Hatinya lebih penting daripada itu semua.
Dera berlari menyusul Noah yang telah sampai di seberang sana. “Noah!” Panggilan itu sontak membuat Noah mengalihkan pandangannya kebelakang. “Dera,” lirihnya.
Dera berlari sesekali tersenyum haru Noah masih mendengar panggilannya. Noah tertegun, saat dirinya melihat bulir air yang mengalir di wajah Dera. Apa Dera menangis untuknya? Mengapa Dera menangis?. Seribu pertanyaan menghantui pikirannya.
“Dera!” Teriakan Noah tak kalah kencang dari yang Dera lakukan. Dera mengembangkan senyumnya menatap Noah dengan tatapan cinta yang ia miliki pada pria itu. “Awas Dera!” Langkah Dera terhenti, menatap bingung wajah panik Noah. Ia menolehkan pandangannya ke seberang kanannya. Seketika tubuhnya terhantam keras, tubuhnya terasa melayang sesaat lalu terhempas dengan kasar di aspal.
Sakit. Tetapi tak sebanding dengan sakitnya hati Noah saat dirinya menginginkan pria itu pergi jauh dari dirinya.
Sebelum ia menutup matanya, akibat lelah permainan semesta. Ia menangkap sosok Noah yang tak berhenti menangisinya. Ia ingin memeluk pria itu, tetapi tubuhnya tak berdaya.
“Jangan menangisiku, mungkin ini tak sebanding dengan rasa sakit hatimu saat aku menyuruhmu pergi jauh.” Pandangan Dera mulai menipis, ia sudah lelah. Benar-benar lelah.
Noah memeluk tubuh gadis itu, tak peduli jika darah mengenai pakaiannya. “Tolong panggilkan dokter. Cepat!” Teriakan Noah menyadarkan kerumunan yang hanya berdiam tanpa bertindak. “Noah… kau masih seperti dulu. Aku salah, seharusnya kau tak perlu pergi.. biarkan aku saja yang pergi dengan membawa semua perasaanku padamu, maaf jika selama ini aku membohongimu dengan ucapanku yang berbeda makna.” Dera berkata lirih membuat tangisan Noah menjadi pilu.
“Tidak, kau tak perlu pergi. Kau harus bertahan, demi aku. Aku–” Dera menatap sendu Noah. “Aku mencintaimu, Noah.”
Mata coklat domestik milik gadis itu tertelan kelopak matanya sendiri. Bibirnya memucat, tubuhnya kaku, serta dingin seperti tak bernyawa.
“Ternyata kau lebih memilih pergi meninggalkanku karena lelah dengan permainan semesta.”
Cerpen Karangan: Salma Efizah Putri Facebook: Salma Efizah cerita ini terinspirasi oleh suwijo tejo