Sakit memang. Dan ini karena kebodohanku sendiri. Andaikan aku tak hancurkan kepercayaanmu, maka ini semua tak akan terjadi. Percuma saja. Aku tutupi semua ini dengan tawa dan senyum palsuku.
Bodoh. Aku menyiakan semuanya. Menangispun tak ada gunanya. Andaikan aku bisa menemuimu, akan kubuat kau mengerti. Tapi apa? Kita hanya bisa LDR. Dan kenapa harus ada jarak?
“Bisakah aku meneleponmu? Video call?” Send. Aku menunggu balasan darinya. “Bisa.” Balasnya singkat. Langsung saja aku meneleponnya.
Oh sungguh. Pangeran yang sangat menawan. Tanpa senyuman. Wajah yang sangat dingin. Tatapan setajam pisau.
“Kenapa?” Tanyanya. “Bukan apa apa. Aku hanya ingin melihatmu. Kau tau? Aku rindu padamu,” “Terus?” “Kenapa cuek begitu? Itu sakit sayang,” “Terus?” “Kenapa? Apa kamu menemukan yang lebih baik dariku?” Hening. Kau tak menjawab dalam beberapa detik. Aku masih menunggu.
“Tentu saja tidak. Kau menghancurkan kepercayaanku. Dan ini sudah kedua kalinya,” Kini giliran aku yang diam. Maafkan aku, sayang. Aku diam cukup lama. Lama sekali. “Baterai hp ku mau habis.” “Ya sudah. Kamu cas sana,” aku mati matian menahan air mataku agar tak jatuh. Aku tetap tersenyum meski itu senyuman yang kupaksakan. Ah, sial. Air mataku sudah tak terbendung lagi. Jatuh sudah. Tetes demi tetes air mata memenuhi wajahku. Kamu? Reaksimu seperti apa? Tentu saja diam. Apa pedulimu? Aku menangis pun kamu tetap tak merespon.
“Hp nya mau aku cas. Sudah matiin teleponnya,” Cuek sekali. Jujur, rasanya seperti tombak menusukku ribuan kali. Sakit. Aku masih bisa menahannya selama masih ada yang tetap membuatku tertawa. “Ya sudah sana. Assalamu’alaikum,” “Wa’alaikumussalam.”
Aku matikan teleponnya. Tersenyum dalam kesedihan. Hahaha, itu sudah biasa terjadi padaku. Tak ada yang peduli? Sudah biasa kurasakan. Dunia membenciku sekalipun siapa yang mau peduli? Dunia memandangku sebelah mata, siapa yang mau peduli?
Hei, ini sakit. Jujur saja, aku ingin melampiaskan semuanya. Ingin kulampiaskan pada cermin di sana. Agar kesakitanku teralihkan. Boleh kan aku menghantamnya? Sekali saja. Tapi, sebaiknya aku menghantam tembok.
Dan kamu benar benar offline. Bagaimana jika aku tak memberimu kabar? Bagaimana jika aku menghilang sehari? Apa kamu mencariku atau sebaliknya? Aku ingin tau. Aku ingin mencobanya. Tapi aku takut. Aku takut kamu marah.
Aku rindu kamu menjahiliku dengan pura pura dingin padaku. Aku rindu rengekanmu yang seperti anak kecil. Aku rindu senyumanmu. Aku rindu mendengarmu tertawa.
Kini semuanya hilang karena kebodohanku. Bodoh. Benar benar bodoh. Aku sudah menyiakan lelaki yang dengan tulus menyayangiku.
Ya Allah, bisakah Kau mempertemukanku dengannya? Aku ingin memeluknya. Aku ingin membuatnya tertawa. Tapi tak bisa. Aku sendiri tak bisa tersenyum tulus walau hanya sedikit.
Hatiku hancur. Hancur berkeping keping. Sakit sekali. Teman temanku pun, apa kalian peduli? Kakak, apa kakak peduli? Ayah dan ibu pun? Tak ada satupun. Biarkan aku sendiri. Kadang, aku ingin hilang dari dunia. Hanya ada aku dan kesedihanku. Aku ingin nyawaku diambil sehari. Aku ingin tau siapa saja yang merasa kehilangan diriku. Termasuk kamu? Mungkin. Antara iya dan tidak.
Aku ingin tidur sehari. Tanpa ada siapapun yang mengganggu. Tanpa ada yang membangunkan. Tanpa ada tangan yang mengguncang pelan. Yang aku maksudkan, tidur untuk selamanya. Dan semoga, kamu menemukan yang lebih baik dariku.
Aku mengambil sebuah silet diatas meja. Kuamati sebentar. “Jika aku mati, mungkin mereka lebih senang. Jadi, bolehkan?” Kugesekkan secara perlahan di pembuluh nadiku. Sakit memang. Darah mulai menyembur keluar. Wajahku kembali dipenuhi air mata. Sebelum aku mati, akan kupotret wajah terakhirku.
“Sayang, kuharap kamu bisa menemukan wanita yang lebih baik dariku. Wanita yang bisa menjaga kepercayaan dan perasaanmu. Terima kasih atas waktu nya selama ini. Love you,”
Aku mengirimkan foto dan kata kata terakhirku. “Terima kasih atas kepedulian kalian yang tak kuhargai.” Badanku tergeletak. Rohku terbang, meninggalkan raga yang bersimbah darah disana. Kulihat sejenak layar ponselku. Aku harap ada balasan darimu.
“Kenapa kamu bunuh diri? Padahal aku sudah berdiri di depan pintu rumahmu. Aku sengaja seperti ini. Memang kamu menghancurkan kepercayaanku. Tapi, aku ingin melamarmu. Kamu malah meninggalkanku. Kembalilah.”
Keterkejutan menguasai diriku. Seseorang sudah duduk di sebelah jasadku. Kamu kemari untukku? Aku menghampirinya. Membisikkan sebuah kalimat di telinganya. “Carilah wanita yang lebih baik dariku karena aku tak pantas untukmu.”
Entahlah. Aku akan tenang di alam baruku. Semoga kamu hidup bahagia dengan wanita barumu. Maafkan diriku ini. Aku pantas menerima ini.
END
Cerpen Karangan: Qoylila Azzahra Fitri Blog / Facebook: qoylila azzahra fitri