“RRooaarrr!!” Suara dari mesin itu berteriak seolah dia yang terhebat. Mereka saling bersahutan seakan menantang siapapun yang ada di sampingnya. Seorang wanita berdiri tepat di hadapan mereka dengan sebuah kain di tangannya bersiap memberi aba-aba.
“Siap! Mulai!” “Rrrooaarrr!” Kelima mesin yang mereka sebut motor itu berteriak dan melesat dengan cepat. Untuk beberapa saat kelima pemuda dan kelima gadis yang duduk di belakang mereka mencoba mengadu adrenalin dan kemampuan.
“Hati-hati, di depan tikungan tajam!”, teriak seorang gadis mencoba mengingatkan pria di hadapannya. “Aku tau!”, jawabnya singkat.
Beberapa pria itu memperlambat laju mereka. Seseorang masih melaju dengan kecepatan yang sama. “Hati-hati!”, teriak gadis di belakangnya.
Tiba-tiba muncul sebuah mobil dengan kecepatan tinggi dari arah berlawanan. “Awas!!!!!!”, gadis itu berteriak. “Krrtttt! Ckittttt!!!!” “Bruaakkkkk!!!”
—
“Haaahhh!!” Dana berteriak. Dia terbangun dengan tubuh penuh keringat dari tidurnya. Sejenak dia duduk lalu mendekap kedua lututnya seolah kedinginan. Airmatanya menetes. Butiran bening itu membanjiri seluruh mata coklatnya. Mata itu semakin erat terpejam menahan air yang terus mengalir. Dia masih mencoba bertahan tapi tidak bisa. Kejadian beberapa bulan lalu itu masih terbayang jelas dalam ingatannya. Setiap malam bayangan itu selalu masuk dalam mimpinya. Dana masih terus berusaha menghapus rasa bersalahnya atas kejadian saat itu yang telah merenggut nyawa kekasihnya. “Hgghh”, tangisnya tertahan. Untuk kesekian kalinya dia merasakan sakit dan luka yang sama.
Sejenak terlintas dalam benaknya untuk pergi menyusul gadis itu ke alam sana tapi beberapa kali dia mencoba namun hasilnya nihil. Dia selalu berakhir di ruang penuh obat dan jarum di tangannya. Terakhir kali dia mencoba dia terjatuh dan membuat luka robek tepat di pelipis kirinya.
“Srrrt”, Dana membuka perban di kepalanya. Kain putih itu penuh dengan darah segar bercampur keringat. Nafasnya sesak, rasa perih itu merangsek masuk di kepalanya. Sayang, luka itu tidak membuatnya jera.
“Mau ke mana?”, sahut seseorang di belakangnya. Dana terdiam sambil mengikat kain bersih di kepalanya sendiri. “Jangan pergi dulu, lukamu cukup parah lebih baik gunakan waktumu untuk istirahat” “Aku tidak apa-apa” “Jangan memaksa” “Jangan sentuh aku!”, bentaknya seraya berlalu.
—
“Kenapa?” Dana masih terdiam. Cairan merah pekat itu masih mencoba keluar lewat pori-pori kain putih di kepalanya. Mata coklatnya menerawang jauh ke depan.
“Kau baik-baik saja?” “Kau terlihat kurang sehat”, lanjut seorang pria di sampingnya. “Aku ingin tau, bagaimana cara melampaui batas ketakutan kita” “Maksudnya?” “Terkadang aku masih takut saat aku sampai pada batas dimana aku membuat gadis itu pergi” “Sejujurnya, ada waktu dimana itulah batas akhir dari kita, kita tidak akan bisa melampauinya. Satu-satunya jalan ialah maafkan dirimu sendiri” “Apakah aku bisa?” “Tidak ada seorangpun yang tau dimana batas orang lain. Hanya kau sendiri yang tau” “Lalu, soal kecepatan itu, bagaimana cara melampauinya?” “Jangan pernah terpacu dengan tulisan di speedometermu, potong kabelnya dan lewati batasnya. Lalu cara yang paling berani adalah”, ucap pria itu terputus dan tangannya meraih kabel di samping mereka. “Potong remnya”, lanjutnya. “Tapi jangan pernah coba itu, itu sangat berbahaya” “Kapan ada race lagi?” “Nanti jam 11 malam” “Aku akan coba melampauinya” “Tapi jangan bodoh, lukamu masih belum sembuh” “Lukaku tidak akan pernah sembuh”, ucap Dana seraya berdiri dan mengendarai motornya.
—
“Siap!” “Mulai!” “Rrrooaarrr!” Dana masih mencoba melawan rasa takutnya. Di benaknya tidak ada apapun kecuali cara melewati rasa takut itu sendiri. Otaknya berputar, memorynya mencoba mengingat apa yang diucapkan pria tadi. Potong kabel speedometer dan juga. “Rooaarr”, suara motor di sampingnya berteriak dengan garang. Dana melihat jarumnya tidak bergerak. Dia merasa sedang berhenti, hanya terdengar suara mesin saja yang terus meraung. Fikirannya melayang. Kenangan itu terbayang jelas di depan matanya. “Jangan”, ucap bayang gadis di belakangnya. Wajahnya pucat pasi terbalut kesedihan. “Potong kabel remnya”, gumamnya tersenyum. “Aku akan menyusulmu sayang”, lanjutnya seraya memejamkan mata. “Brraakkkkk!!!!”
—
“Kau bangun? Kau tau, kau bodoh. Sudah kubilang jangan potong remnya. Masih untung bisa hidup sampai sekarang, kalau saja teman-teman tidak segera berlari menolongmu pasti”, ucap pria itu terhenti. Dana terdiam, butiran bening itu mengalir begitu saja dari mata coklatnya. Kepalanya penuh dengan balutan perban berwarna merah. Bibirnya tertutup rapat. Tidak ada sedikitpun suara yang keluar darinya.
“Oiya, aku hampir lupa, kata dokter tubuhmu cukup lemah. Kau tau, kau sudah tidur selama 10 hari. Katanya kau akan lumpuh sementara. Tenang saja, kata dokter cuma perlu sedikit waktu untuk membuatmu sehat kembali. Jadi jangan khawatir.” “Aku akan terus di sini, selain itu ada juga calon dokter cantik yang sedang praktek dan kebetulan akan merawatmu selama aku sibuk”, lanjut pria itu seraya menatap keluar jendela.
“Kenapa? kenapa kau tidak membiarkanku ikut denganmu? Kenapa kau tidak membiarkanku mati saja? Kenapa sayang? Kenapa?”, teriak Dana dalam hati namun bibirnya masih tetap terkunci. Hanya airmatalah yang kembali menetes.
“Kau tau, satu-satunya jalan melewati semua ini adalah” “Maafkan dirimu sendiri”
Cerpen Karangan: Wahyu Danarga Facebook: facebook.com/ergayosa Wahyu Danarga Pujangga Yang Terkurung Dalam Kamar Kosnya