Jalanan Seoul tampak sepi disaat awal musim semi ini, padahal jika dipikir-pikir banyak orang yang akan menyaksikan bunga sakura yang tumbuh dengan suburnya. Berwarna pink yang melekat pada kelopaknya yang kecil dan indah. Tentu saja aku menantikan musim semi sejak aku mulai ada di Korea karena beasiswa yang kuterima di salah satu universitas.
Hari ini aku tidak sendiri, bersama seorang pria yang sedang berjalan di sampingku bertubuh tinggi dan tentu saja sangat tampan. Aku bisa melihat pahatan wajah yang seolah disentuh oleh tangan dewa, matanya begitu bening dan korneanya terlihat legam. Laki-laki berdarah campuran antara Jepang dan Korea ini memiliki sifat dingin namun dia sangat perhatian, by the way namanya adalah Kak Hamada Asahi, dia senior sekaligus orang yang dekat denganku. Aku memanggilnya Kak Asahi.
“Apa kau sangat suka musim semi?” tanyanya padaku. Aku mengernyit heran dengan pertanyaannya. “Tentu saja, sangat indah melihat bunga yang bermekaran setelah tertutup dinginnya salju,” ungkapku pada kak Asahi. “Terimakasih.” Aku menaikkan salah satu alisku dan menatapnya lekat-lekat. “Terimakasih buat apa?” umpanku balik. “Iya terimakasih sudah mencairkan hatiku yang dingin, dan sekarang banyak bermekaran bunga di dalamnya,” jelasnya. Aku mematung dan mendesah pelan, kemudian berbalik badan serta mengatur napasku yang tak karuan agar bisa bernapas dengan normal. Karena, kata-kata kak Asahi benar-benar membuatku berdegup kencang hingga pipiku terlihat merah sekarang.
Bagaimana ini, aku sangat takut untuk menatapnya kembali. Sehingga, aku memutuskan untuk mempercepat langkahku dan kak Asahi tertinggal di belakangku. Namun, sebelum aku benar-benar mempercepat langkahku dia menarik tanganku dan badanku terdorong ke belakang di dada bidang kak Asahi. “Mau kemana? Masa aku ditinggal sih,” dia terkekeh kecil melihat tinngkahku. Aku melepaskan peganganku padanya dan menatapnya. Kemudian, aku langsung lari begitu saja dan dia mengejarku di belakang. Aku tidak pernah sebahagia ini.
“Mau makan gak? Hampir hujan juga nih,” ucap kak Asahi sembari dia menggandeng tanganku dan mencari tempat berteduh karena akan hujan. Aku menurutinya dan mengekor kemanapun dia membawaku.
Kami segera meneduh ketika rinai hujan mulai jatuh di kota Seoul, angin dingin pun berhembus menelisik jaket yang sedang kugunakan. Kami duduk di halte bus yang sepi sambil berbicara banyak hal. “Kau tau bagaimana hujan menyimpan perasaannya?” tanya kak Asahi yang lagi-lagi membuatku berpikir. Aku tak bisa mendeskripsikan lebih tentangnya, ini terlalu sulit. Selalu banyak hal yang dia lakukan padaku, laki-laki ini selalu menstabilkan rasa yang singgah di hatinya.
Aku memandangnya lurus-lurus. “Hujan selalu menyimpan perasaannya, dia tidak pernah sedikit pun melupakan rasanya. Bahkan ketika salju membekukan, dia tetap bertahan menyimpan rasanya yang selama ini dia pegang rekat-rekat. Tak peduli apapun yang akan membuatnya hancur. Pada akhirnya dia akan melepaskan semua itu dan membaginya pada bunga-bunga dan pohon. Supaya setelah musim semi semua tanaman itu tumbuh subur, hujan akan rela melepaskan perasaannya ketika itu di tangan yang tepat,” ungkapku.
Kak Asahi terdiam mendengar pernyataanku kemudian dia menautkan kembali tangannya padaku yang terasa hangat. “Sekarang, tutup matamu aku akan menjadikan hujanku lebih indah.” Aku mengernyit dan tiba-tiba jantungku berdegup sangat kencang, aku mencoba menarik napasku pelan dan kemudian menuruti katanya. Ku menutup kedua mataku dan hanya kurasakan tangan kak Asahi yang begitu erat mengenggam. Tiba-tiba dia mengecup keningku dengan bibirnya. Aku benar-benar mematung, tak berani membuka mataku dan hanya mendengarkan suara hujan yang terus menelisik telingaku.
“Kau bisa buka matamu, terimakasih hujanku yang telah membuatku bahagia. Terimakasih atas perasaan yang selama ini kau jaga. Sekarang perasaan itu telah menjadi lebih indah.” Dia tersenyum ke arahku dengan sangat menawan, aku membalasnya dengan senyuman simpul yang tersinggung di wajahku.
Dia menghela napasnya sambil terus memandangku yang menunduk malu. Aku tidak tahu harus mengatakan apa lagi di saat semua benar-benar membuatku sangat bahagia. Antara kami berdua yang berkolerasi dengan alam dan dunia. Asmaraloka yang benar-benar menyisir seluruh hati kami menjadikan renjana yang begitu kuat. Rinai dan hujannya selalu memegang kendali, suasana yang begitu lekat membalut kisah tentangku dan kak Asahi.
Cerpen Karangan: Eksan Syawaludin Blog / Facebook: Coretanpena_26 Alamat: Bojonegoro, Jawa timur Ig: @Coretanpena_26