Aku teringat sebuah cerita.
Sebelumnya, perlu aku ceritakan sedikit bagaimana alur perjalanan kami. Ya, aku dan suamiku sudah saling kenal dari tahun 2017. Kami berteman sampai 2019. Lalu, bulan Juni 2019, dia menembakku untuk yang pertama, dengan penolakan sebagai jawaban. Dia menembakku lagi bulan Agustus, dan kali ini aku terima. Namun, Januari 2020 kami harus putus karena perbedaan prinsip yang tidak bisa diubah. Hubungan pertemanan kami mengalami pasang surut yang cukup mengerikan, hingga akhirnya pada Agustus 2020 dia putus dan pacarnya saat itu dan kembali menembakku. 6 September 2020 kami bertunangan, dilanjutkan dengan pernikahan pada 11 Maret 2021.
Nah, di masa pasang surut itulah cerita ini terjadi.
Aku sedang rebahan santai di kursi ruang tamu kontrakan, menikmati masa senggang setelah 8 jam shift pagi yang sangat menguras jiwa dan tenaga. Langit sore yang gelap menyelimuti kota diiring serbuan hujan yang deras juga berangin. Tidak ada TV sebagai hiburan. Ditambah, aku hanya seorang diri di dalam kontrakan berwujud rumah tipe 36. Cukup luas untuk ditinggali sendirian, sehingga kesepian yang menemani begitu pekat mengudara.
Di tengah selonjoranku dan lamunan yang tak tentu arah, pandanganku tertumbuk pada sudut ruangan tempatku menggantung pakaian. Ada sebuah jaket parka berwarna cokelat di sana, sendirian mengawang dekat pintu penghubung kebun belakang kontrakan. Warnanya sudah lumayan luntur karena terlalu sering dicuci. Permukaannya terlihat lembab bekas dicuci subuh hari dan tak sempat kering.
Melihat jaket itu, ingatanku tiba-tiba tertuju pada memori beberapa bulan lalu. Ya, ketika mendung yang kurasa menggantung di atas kepala belum pekat gelapnya.
Aku lupa bulan apa ketika aku pertama kali melihat jaket itu. Yang pasti, hari sudah malam. Aku duduk sendirian di taman terminal kota. Dia sedang dalam perjalanan dari kota sebelah. Dan jika menurut waktu dari jam tanganku, harusnya kurang dari satu jam lagi dia sampai terminal.
Setelah waktu yang berlalu hanya diisi oleh melamun dan berkelana di social media, akhirnya yang kutunggu datang juga. Dia berjalan cepat menuju tempatku dari arah kantor informasi. Senyum terkembang lebar dari bibirnya. Ia menggendong sebuah tas ransel besar dan menenteng sebuah kresek plastik cukup besar. Aku lantas melambaikan tangan menyambutnya.
“Aku beliin ini buat kamu,” katanya begitu ia sampai di depanku sambil menyodorkan kresek plastiknya.
Aku yang tidak mengharapkan apapun awalnya hanya menatap bawaannya dengan bingung, menerka apa yang kira-kira dia bawa. Tanpa berkata apapun, aku menerima kantung itu. Rupanya sebuah jaket berwarna cokelat. Mataku spontan terbelalak.
“Kamu beliin aku jaket?!” tanyaku. Dia hanya tertawa ringan sebagai jawaban. Masih dengan keterkejutan, kukeluarkan jaket itu. Kubentangkan untuk melihat detilnya. Sebuah jaket parka dengan warna cokelat tersaturasi sempurna. Aku kemudian memakainya untuk mengecek ukuran. Tanpa kuduga, jaket itu mematut dengan baik di badanku, tidak terlalu besar maupun terlalu kecil. Mendapat oleh-oleh sebagus itu, aku tak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum lebar.
“Kamu suka?” tanyanya. Aku hanya mengangguk antusias, tidak bisa berkata apapun. “Syukurlah,” ujarnya. “Tadi sebelum ke sini, aku mampir dulu ke distro. Aku lihat jaket itu. Gak tau gimana, jaket itu ngingetin aku sama kamu. Jadi aku beli deh.” “Aaaah,” aku hanya melenguh mendengar penjelasannya, benar-benar tak bisa berkata apa-apa saking senangnya. Seumur hidup, baru mamaku yang memberikan hadiah tanpa aku minta. Di tambah, hadiahnya ini sangat pas dengan kondisiku saat itu yang kelupaan bawa jaket. Sebuah kebetulan yang sangat indah sekali.
Malam itu, akhirnya kupakai jaketnya langsung dalam perjalanan pulang, dan dia menghabiskan semalam di rumah kami.
Mataku seketika berkaca-kaca. Jaket yang kupandangi dari tadi kini mengabur. Entah bagaimana aku bisa masih mempertahankannya, sementara kehadirannya menjadi stimulus kenangan masa lalu yang menyesakkan dada. Jahatnya lagi, warnanya yang memudar seolah benar-benar merepresentasikan kisahku yang telah usang dan tak ada gunanya lagi dikenang.
Hujan makin deras mengguyur di luar. Begitu pula airmataku. Tak tahan rasanya menanggung dualism perasaan yang masih terus bertarung. Satu sisi, aku begitu membenci orang ini. Dia memilih menyerah ketika aku sudah menyanggupi akan melakukan segalanya. Namun di sisi lain, aku tidak bisa menampik kalau aku masih mengharapkan dia kembali dan memperjuangkan semuanya kembali. Aku masih mengharap ia mewujudkan janjinya untuk bisa terus bersamaku. Jelas sekali dalam ingatan bagaimana dia telah memperlakukanku dengan baik, tapi juga betapa brengseknya dia yang memilih menyerah dan sudah memiliki “cadangan” lain. Bahkan hingga kini pun, jika aku mengingat apa yang sudah dia lakukan, separuh jiwaku masih meradang.
Dan hingga detik itu, aku yang dungu masih belum juga melek. Aku dengan mudah membuang cincin perak tanda janji kami ke sumur, tapi tidak bisa menyingkirkan jaket itu dari pencarianku—bahkan setelah kakakku sembunyikan. Aku bersikeras tetap memakai jaket itu, berdalih aku membutuhkannya. Tapi sebenarnya apa yang aku butuhkan? Jaket itu secara harfiah, atau kehadiran’nya’?
Dengan gontai, aku bangun dari sofa. Kucari tiang pengait, mengambil jaket itu dari jemuran, dan membenamkan wajahku ke dalamnya. Isak tangisku pecah seketika meratapi harapan yang digempur realita. Aku belum bisa melepas kepergiannya, dan alasannya memilih untuk menyerah. Berapa kali pun aku mencoba memahami betapa dia tersiksa selama bersamaku, palung hatiku masih meraung menuntut penjelasan. Terutama, tentang betapa mudahnya dia mencari sosok baru penggantiku. Sedangkan aku?
Tiba-tiba, dering ponselku menggema di sela-sela gelegar hujan. Kulempar jaket ke sofa, lalu mengambil HP yang tergeletak di meja. Dan, sudah bisa ditebak, dia yang menelpon.
Aku menarik nafas panjang. Kini, dering telepon darinya terdengar sangat… mengganjal. Ada rasa senang karena dia masih menghubungiku, namun juga kesal karena merasa diriku dijadikan ‘orang ketiga’ setelah pacar barunya. Dan juga merasa dipermainkan, karena sikapnya membuatku susah move on, juga mengingatkan betapa tidak tegasnya aku.
“Lagi ngapain?” tanyanya membuka percakapan. “Ada apa?” tanyaku langsung, tak ingin berpanjang kata. “Cuma tanya kabarmu, nggak boleh?” sahutnya dari seberang sana. Terdengar benar-benar tanpa rasa bersalah.
Aku mengepal tanganku erat-erat. Logikaku sudah memberi sinyal peringatan agar seharusnya kuabaikan saja dia. Tapi hatiku masih meronta untuk mendekatinya. Dan dualismeku bertengkar lagi. Kemudian, entah bagaimana mataku menyasar ke ujung sofa, tempat jaket menyebalkan itu tergeletak. Dan di detik berikutnya, aku benar-benar kehilangan kendali.
“Kamu tahu?” lidahku mulai bergerak. “Jaket dari kamu masih ada sama aku.” “Jaket…” Gumamnya. “Oh! Jaket yang cokelat itu? Kamu masih simpan ya?” “Ya,” jawabku dengan suara retak. “Masih aku pakai.” Dia di seberang sunyi. Tak merespon apapun.
“Dan aku masih inget, betapa senengnya aku waktu kamu kasih jaket itu,” aku lanjutkan, kini dengan getar-getar yang liar. “Aku ingat, betapa bahagianya aku karena akhirnya ada yang kasih aku perhatian selain orangtuaku sendiri. Dan setiap aku lihat jaket ini, aku inget… gimana rasanya waktu kamu peluk aku. Hangat… hangat banget…”
Pada akhirnya, aku lagi-lagi kehilangan kendali. Kubiarkan beberapa isak tangis melompat keluar dari tenggorokanku. Kubiarkan hatiku merintih menangisi keadaan yang tak sesuai ekspektasi.
Untuk beberapa saat, hanya sunyi mengudara. Saking kedapnya hingga suara hujan tak lagi kudengar. Aku tenggelam dalam marahku. Sementara itu, yang di seberang sana entah apa kabarnya.
“Aku minta maaf, Lis…” Pada akhirnya, dia bersuara, sekalipun lirih.
Cerpen Karangan: Lisa T Blog / Facebook: Lisa Suryani
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 26 Oktober 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com