Senja sudah bosan pada burung-burung imigran yang entah pindahan dari negara mana. Matahari sore juga sudah curiga pada awan yang setiap hari memeluk pucuk gunung. Awan pun tak lagi bersahabat dengan angin sehingga ia malas untuk enyah menuju ke tengah lautan, sebab lautan enggan untuk menerima kedatangannya. Daun-daun yang berguguran pun tak sudi menjatuhkan dirinya pada bumi. Seperti halnya manusia yang sudah bosan tersebab setiap memasuki bulan Juli-Agustus angin muson timur yang dikenal dengan nama angin gending berembus dari Benua Australia dan berlari dengan sekencang-kencangnya menuju ke daerah-daerah tapal kuda yang dikelilingi oleh pegunungan mahatinggi yang berbaris-baris seperti barisan prajurit perang Zulkarnaen.
Suara lantunan azan Maghrib bersenandung indah di telinga sore yang baru saja datang bertandang menyapa alam. Cahaya matahari juga baru saja tenggelam di kaki barat. Langit bersaputkan awan yang berwarna keemasan. Di jalan raya pusat kota Jember berbagai kendaraan berlalu-lalang dengan tergesa-gesa menuju rumah masing-masing. Ada pula yang berhenti untuk mampir di masjid untuk shalat berjamaah. Alun-alun perlahan menyepi.
Seorang pemuda mengenakan kemeja lengan panjang warna cokelat dengan bawahan celana hitam yang hanya tampak sampai bajunya saja baru saja kembali dari seorang pedagang asongan paro baya yang duduk di trotoar depan Masjid Baitul Amien dengan membawa dua botol minuman rasa jeruk. Ia berjalan menuju ke arah seorang gadis yang duduk di lantai serambi masjid yang hanya tampak jilbabnya saja.
“Ada apa?” tanya pemuda, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Azis. Suaranya begitu lembut dan kalem sampai meresap ke dalam pori-pori jiwa orang yang mendengarnya. Tangannya menjulurkan sebuah botol pada gadis yang menunggunya itu. “Aku hanya kepikiran sama ibu, Mas,” jawab gadis yang duduk di teras masjid yang tidak lain adalah Bela.
Penampilan Azis kini lebih tampan dengan rambut dipotong rapi dan pendek lalu diolesi dengan minyak dan disisir belah tengah. Wajahnya terlihat lebih kuning dan jenggot tipisnya dicukur sampai habis. Pembawaannya jauh lebih tenang dan damai, setenang dan sedamai dasar lautan paling dalam. Dia duduk di sebelah gadis yang mengenakan gamis warna cokelat muda yang dipadu dengan jilbab warna senada itu. Begitu juga dengan penampilan Bella. Ia tampak lebih dewasa. Kedua pipinya agak tembam dan sekarang ia sudah pandai berhias.
“Tidak akan terjadi apa-apa dengan ibu.”
Bella memperbaiki letak duduknya dan kini bersisian dengan Azis dengan menghadap ke depan masjid. Tampak para jamaah yang terdiri dari berbagai kalangan datang dengan berbondong-bondong. Ada yang pakai jas lengkap, ada yang hanya memakai kemeja putih dan berdasi merah, ada yang mengenakan seragam dinas, seragam dinas apa pun, ada yang mengenakan baju koko berbagai warna, sarung juga berbagai warna, dan kopiah juga berbagai bentuk dan warna. Meskipun berbeda yang datang untuk menghadap pun sama. Sama-sama ruh Allah. Pakaian hanyalah penutup aurat. Kalau tidak menutup aurat bukan manusia namanya melainkan binatang yang tidak memiliki rasa malu. Jadi, meskipun tidak mengenakan baju koko maupun sarung atau kopiah, dalam menghadap Tuhan yang penting adalah menutup aurat dan dalam keadaan suci.
“Aku tidak ingin terjadi apa-apa sama ibu hanya karena kita, Mas.” Lanjut Bella dengan memasang wajah sedih. “Apakah kamu tidak yakin bahwa Allah melindungi ibumu dari manusia yang ingin mencelakainya?” tanya Azis dengan menatap wajah bidadari yang setiap waktu selalu membuat bergetar hatinya itu. “Tiada sebaik-baik penolong selain daripada Allah. Dan Allah bukan manusia yang suka ingkar janji.” “Bersamamu hatiku merasa jauh lebih tenteram, Mas.” Gadis itu mengulum senyum.
Lalu Azis membuka tutup botol minuman ringan yang habis dibelinya dari pedagang asongan paro baya ringkih yang dimasa tuanya masih bekerja demi menghidupi dirinya sendiri itu. Begitu pun Bella. “Kasihan bapak pedagang asongan itu,” kata Azis setelah meneguk minumannya tiga kali hingga kerongkongannya menjadi basah. “Mengapa memang, Mas?” Tanya Bella memandang ke arah muka Azis yang meneduhkan itu. “Usianya sudah 80 tahun tapi sampai detik ini ia masih harus bekerja dengan berjualan minuman ringan keliling di pusat kota ini. Ia bekerja untuk mencukupi kehidupan istri dan kedua cucunya yang masih kecil-kecil,” tutur Azis bercerita seperti apa yang disampaikan oleh pedagang asongan tua itu tadi. “Lalu ke mana anak-anaknya? Mengapa mereka begitu tega membiarkan ayahnya bekerja sendirian di masa tuanya dengan menjadi pedagang asongan?” selidik Bella. “Anaknya meninggal dunia karena penyakit kencing manis stadium 4. Penyakit ganas itu menggerogoti tubuhnya sampai ajal menjemput lantaran tidak memiliki biaya untuk ke rumah sakit. Sedangkan kartu berobat nyasar ke orang-orang kaya yang ingin hidup gratis. Sama seperti bansos yang hingga kini masih selalu nyasar ke kantong orang-orang beruntung.” “Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.” Bella mengucapkan doa Istirja’. Lalu ia melanjutkan, “Meskipun usianya sudah tidak muda lagi tapi semangat Bapak itu untuk memenuhi kebutuhan keluarganya masih menyala.” Azis menganggukkan kepalanya.
Tidak beberapa lama kemudian, seorang pria bertubuh tegap, tinggi, rambut dipotong cepak, dan mengenakan seragam cokelat seperti polisi berjalan menghampiri keduanya. Pria itu tersenyum dengan sinis. “Apakah Mas dan Mbaknya bukan muhrim sehingga berduaan di serambi masjid ini?” Tegurnya. Tanpa menjawab terlebih dulu, spontan tangan Azis memegang tangan Bella dengan erat. “Ini adalah istri saya, Pak. Dan saya suaminya.” Jawab Azis dengan mengulum senyum. Bella juga mengulum senyum ke arah sekuriti masjid paro baya itu. “O begitu. Maaf. Saya kira Anda berdua masih berpacaran.” Sahutnya dengan memasang ekspresi wajah malu. “Bapak sudah berburuk sangka kepada kami berdua, padahal di dalam Al-Qur?an sudah jelas bahwa berburuk sangka itu sangat jelas dilarang. Dan menurut saya, Bapak saban hari mendengarnya.” “Iya, Mas. Sekali lagi saya meminta maaf.” “Kalau berburuk sangka tanpa alasan dan bukti yang jelas apa yang seharusnya Bapak lakukan?” “Meminta maaf dan mengucapkan istighfar.” “Bapak ngerti juga. Tapi jangan diulang lagi. Kalau Bapak jatuh ke lubang keledai sama saja juga dengan bohong.” “Iya, Mas. Sekali lagi saya meminta maaf kepada Anda berdua.” Setelah itu, Azis menarik tangan Bella untuk pergi mengambil wudhu. Dan Bella bangkit dari duduknya. Mereka berdua pun meninggalkan sekuriti masjid yang ketiban malu itu. “Nek mangan salak kari isine.”
Tapi benarkah, Kawan, mereka berdua adalah sepasang suami istri? Inilah bagian kisah kali ini. Keduanya saat ini berada di pusat kota Jember, tepatnya di Masjid Agung Baitul Amien yang legendaris itu. Sebenar-nya, mereka berdua habis pulang dari Bondowoso tapi mampir sejenak di Jember.
Turun dari bus di Terminal Tawang Alun mereka berdua jalan-jalan mengelilingi kota Jember sebelum pulang ke Pasirian, Lumajang. Selama dua hari mereka berdua berada di Bondowoso, tepatnya di lereng Gunung Ijen yang sebagiannya lagi berada di Banyuwangi. Atas saran dari Suraji, Azis membawa Bella ke Bondowoso untuk dituntun ke jalan hak sebagaimana Azis yang dituntun ke jalan hak terlebih dulu oleh Suraji. Setelah diruwat, mereka berdua melanjutkan proses pernikahan secara siri. Sebab jika mereka berdua ingin menikah secara resmi di Kantor Urusan Agama, maka suasana di Pasirian akan menjadi kacau.
Ketika hendak berangkat ke Bondowoso secara diam-diam sebagaimana kaum Muslimin yang secara diam-diam meninggalkan Kota Mekkah menuju ke Kota Habsyah di masa itu, Azis meminta izin terlebih dulu kepada ibunya, Bu Sulastri bahwa dia ingin tetap menikahi pujaan hatinya, Bella. Bu Sulasti memberikan restu kepada putranya agar menikahi Bella. Lalu, dia juga meminta restu dari Bu Tijah dan ketiga kakak lelaki Bella terutama Munajat untuk menikahi Bella. Dan keluarga besar Bella pun merestui pernikahan mereka berdua. Lantas, dengan bantuan Suraji, Azis dan Bella pada tengah malam itu langsung menuju ke Bondowoso dengan naik mobil yang disopiri oleh Mas Rahmat.
Di tengah perjalanan menuju ke Bondowoso, mereka bertiga tiada henti membaca zikir dan tasbih kepada Allah. Dan atas izin dari Allah, mobil yang mereka tumpangi selamat sampai di lereng Gunung Ijen.
Sesampainya di sana, mereka disambut oleh seorang kekasih Allah yang akan meruwat Bella sehingga ia mengenal dengan Khaliqnya dengan sebenar-benarnya mengenal. Dan setelah proses syahadatain itu, mereka berdua menikah. Kedua jiwa mereka menikah di hadapan Allah dan para nabi. Tidak lupa Azis memberikan mahar berupa cincin bermata safir merah delima. Dan kini cincin tersebut tersemat di jari manis Bella.
“Apakah kita langsung pulang ke rumah, Mas?” tanya Bella kepada Azis yang kini sudah menjadi suaminya itu. “Kita pulang besok pagi saja. Dan sekarang, sebaiknya kita menginap di penginapan yang berada di dekat-dekat sini,” ujar Azis menyarankan kepada istrinya. “Tetapi, bagaimana jika kita ditanya soal surat nikah?” wajah Bella sedikit cemas. “Itu kan kalau di hotel, Sayang?” jawab Azis dengan lembut sambil mendekap bahu istrinya. Setelah meninggalkan masjid mereka berdua mencari sebuah home stay dan akhirnya menemukannya tak jauh dari pusat kota. Penginapan tersebut merupakan sebuah rumah loji peninggalan zaman kolonial Belanda yang sampai sekarang dirawat dan dijaga keasliannya. Dindingnya bernuansa oranye. Kepada resepsionis mereka berdua memesan satu kamar dengan satu tempat tidur.
Ketika mereka berdua sudah berada di dalam kamar, Bella melepaskan jilbabnya sehingga tampaklah rambutnya yang panjang dan sedikit ikal. Lalu gadis itu duduk di depan cermin hias dan menyisir rambutnya. Sedangkan Azis melepaskan kemejanya dan membiarkan kaos kuning tetap melekat di tubuhnya. Lalu dia berjalan menghampiri istrinya yang sedang duduk. Memeluknya dari belakang dan mencium tengkuk Bella sehingga gadis itu merasakan geli.
“Apakah mas tidak menyesal menikah denganku yang sudah tidak suci lagi?” tanya Bella. “Tidak ada sedikit keraguan di dalam hatiku untuk menikahimu, Sayang. Dan hatiku berkata bahwa kamu masih suci. Kamu telah menjaga kesucian cinta kita selama aku menimba ilmu di Al-Azhar,” jawab Azis dengan nada mantap. “Lalu, bagaimana dengan Mbak Lidya?” pertanyaan yang meluncur dari mulut Bella membuat Azis teringat dengan rencana ayahnya yang bersikukuh untuk menjodohkannya dengan Lidya, putri dari Pak Mukhlas itu. “Menurutmu bagaimana, Sayang?” Azis malah meminta pertimbangan dari Bella. “Apakah mas mencintai Mbak Lidya?” Azis menggeleng. Bella tahu kalau cintanya Azis hanya untuk dirinya saja.
“Bila mas diciptakan oleh Allah untuk membimbing dua istri menuju jalan hak sebagaimana Kanjeng Nabi Muhammad Saw, yang membimbing dua istri terbaiknya, yaitu Ibunda Khadijah dan Aisyah, aku pun rela bila mas nantinya menikah dengan Mbak Lidya,” jawab Bella dengan mata berkaca-kaca. Gadis itu tahu kalau ayah mertuanya termakan oleh kejujurannya sendiri yang telah diperkosa oleh serigala-serigala di Gunung Semeru kala itu. Sehingga Pak Satiman memutuskan untuk membatalkan pertunangannya dengan Azis. Padahal pernikahan mereka berdua sudah ada di depan mata. Dan ia tidak bisa menyalakahkan takdir. Meskipun hidangan yang disajikan oleh Allah itu rasanya pahit, maka mau tidak mau dirinya harus memakannya dengan ikhlas.
“Tidak, Sayang. Aku hanya mencintaimu. Aku hanya menginginkan kamu saja untuk mendampingiku di jalan kenabian ini. Sebab meskipun kalian berdua sama- sama telah berada di jalan hak, hati perempuan itu tidak mudah untuk menerima bila dimadu. Poligami baru aku lakukan jika salah satu dari dua perempuan yang aku cinta meninggal dunia. Tetapi selama kamu masih berada di sisiku, aku hanya akan membina rumah tangga denganmu.” Jawab Azis dengan memeluk tubuh Bella dari belakang. “Kenapa begitu, Mas?” “Karena ini bukan layangan putus.”
Malam pun cemburu dengan mereka berdua. Bulan mengintip dari balik kelambu yang terbentang di jendela. Para malaikat mendoakan keduanya agar dikaruniai keturunan yang saleh dan salehah, yang kelak dapat meninggikan kalimat Allah di muka bumi. []
Selesai
Kota Pengasingan, Februari 2022 Author/Novelis.
Cerpen Karangan: Khairul A.El Maliky Blog / Facebook: @khairulazzamelmaliky
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 26 Februari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com