Perjumpaan ini mengagetkan. Bersama anaknya, aku menjumpai Lisa di salah satu sudut di kota Blora. Dia terkejut, pun aku. Kami canggung.
“Lisa?”. Matanya membulat. “Romdhoni?…” Kami dipertemukan dalam situasi yang tidak aku harapkan. Bak opsir penjara, Lisa menahanku agar jangan lekas pergi. Sebuah meja dengan kursi besi menjadi cairan tembaga, mengikatku. Lisa menyuruh kedua anaknya untuk bermain di wahana. Sebelumnya memperkenalkan diriku sebagai teman ibunya. “Om ini teman ibu jaman sekolah dulu”. Keduanya mengerti dan menjauh.
“Kamu kelihatan bahagia”. Perkataanku menyebabkan rona merah di wajahnya. Kenapa? Dia mengangguk seraya menggerakkan bahu. “Apa yang kau buat di kota ini?”. Lisa langsung menusuk. Biasanya, orang akan menanyakan kabar bila lama tidak bertemu dengan seseorang. Dia lain. “Hanya sekedar mampir”, kataku. “Sekedar mampir? Aneh serta janggal”. Lisa mencoba melemparkan skeptisnya. Aku melihat dia sangat berubah. Jauh bila ditarik di dua puluh lima tahun yang lalu.
“Rumahmu kurang begitu terawat”. Aku memberi kabar “Kamu kesana? Ngapain? Memang sudah lama kami biarkan tanpa penghuni”, katanya. “Kami bayar seseorang untuk membersihkannya sebulan sekali” “Eman-eman” “Semua punya keluarga. Kami pindah mengikuti takdir beberapa tahun lampau. Apalagi sejak bapak Ibu meninggal”. Aku ucapkan turut belasungkawa, walau putarannya telah usang.
“Anak-anakmu sudah besar”. Pandanganku menangkap kembali tingkah remaja yang bersendau gurau beberapa langkah dari tempat kami. “Ya”. Lisa menjawab tanpa melepaskan bibirnya dari sedotan. Dia menikmati tegukan dingin. “Arini sudah bekerja di Jakarta” “Arini?”. Aku tidak mengerti arah ucapannya. “Ya Arini. Dia tak kuberitahu siapa kau”. Butuh beberapa detik sampai aku paham. “Kenapa?” “Dia sudah nyaman”. Lisa menuntaskan isi gelasnya. “Aku tidak mau namamu membikin guncang hidupnya”.
—
Blora, sebuah kabupaten di utara Jawa Tengah. Sebelah timur wilayahnya berbatas dengan propinsi tetangga. Ibu kotanya terletak di cekungan pegunungan kapur utara. Aku memasuki kota ini menjelang pukul empat sore. Sebuah losmen menerimaku dengan penuh suka cita. Rencanaku akan mengendap disini tiga hari. Ada beberapa agenda yang aku gulirkan. Diantaranya mengunjungi Pataba.
Ada apa dengan Blora? Hal apa yang menarikku ke kota yang wilayahnya terkenal dengan hutan jati. Sesosok gadis Blora yang mengais ilmu di Solo pernah menyeretku pada kebodohan cinta remaja usia belasan hingga menciptakan petaka. Kehamilan memaksa Lisa lenyap dari sekolah. Sebuah surat dengan stempel dari kabupaten Badung, Bali memperjelasnya.
Dear Dhoni, Bagaimana kabarmu? Lisa harap kamu sehat tak kurang suatu apa. Lisa disini dalam kondisi baik. Sehat wal afiat. Bapak dan Ibu marah melihat kehamilan Lisa. Tapi ibu minta bayi dalam kandungan harus dilahirkan. Oleh sebab itu Lisa dipindahkan ke Bali dititipkan pada seorang saudara. Orangtua tidak mau menikahkan dengan kamu. Mereka berharap Lisa melanjutkan sekolah dan memutuskan hubungan. Surat ini Lisa tulis tanpa sepengetahuan mereka. Semoga kamu mengerti dan Lisa harap jangan terlalu mikirin Lisa. Sudah segini dulu. Kalau ada kabar Lisa beritahu lagi.
Salam sayang, Lisa
Itu surat pertama dan terakhir. Setelah itu keberadaanya sulit diendus. Aku memutuskan pindah sekolah. Mengembara ke Ibukota aku lakukan pasca lulus. Bertahun-tahun mencoba menyingkirkan bayangan Lisa. Tidak mudah ternyata.
“Yang dicari ketemu, mas”. Aku geragapan oleh suara bapak tua pemilik Pataba. Sosok Lisa membuat pikiranku terpecah. “Belum, pak”. “Diminum dulu tehnya. Santai saja”, kata pak Soesilo Toer. “Memang berantakan. Tapi pasti ketemu. Buku itu sudah dikembalikan. Paling terselip” “Iya, pak”. Tanganku memilah-milah, mengaduk gundukan buku. “Tahu darimana tempat ini?” “Media sosial, pak”. Tanganku membongkar deretan buku. “Beberapa akun mengangkat keberadaan tempat ini”
PATABA(Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa), sebuah perpustakaan yang didirikan oleh mantan tapol(tahanan politik), Soesilo Toer, Adik dari sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Rumah warisan yang sekaligus perpustakaan ini terletak persis disebelah gapura kampung. Model kotangan, setengah tembok setengah papan kayu. Beberapa bagian dari itemnya dicat hijau dan kuning. Sedang dinding dipoles warna putih. Di rumah sederhana inilah lahir orang-orang yang menjadi bagian dari sejarah Indonesia.
“Saya tidak mengganggu kan, pak?” “Ya nggaklah. Sebelum kamu sudah banyak yang kesini. Biasa saja”. Koran bekas menutup wajah beliau. Membolak-balik mencari apa yang dirasa menarik. “Dari Solo, kapan berangkatnya?”. Aku menoleh. Pak Soesilo kian asik menelisik halaman koran. “Kemarin jam sebelas pagi” “Rencana memang mau kesini?”. Pria sepuh usia 81 tahun mempunyai kekuatan multitasking yang memadai. Dia sanggup membaca sambil melakukan obrolan. Tanpa tepedaya oleh suara atau kebohongan. “Iya, pak. Sekalian melihat Blora dengan segala perniknya” “Tak ada yang istimewa dengan kota ini”, ucap penulis banyak buku. “Setiap kota pasti ada istimewanya, pak”, bantahku. “Kota ini menjadi perbincangan karena Toer bersaudara, selain komunitas Semin Surosentiko” “Ternyata kamu kurang mengenal Blora”. Pria itu melipat koran dan siap menghadapiku dengan argumennya. “Blora itu kota stagnan, mistik. Berbau kemenyan, dupa bersama gulungan kemiskinan”
Sebagai tamu yang tahu aturan, melihat sikap beliau, gundukan buku aku tinggalkan. Beringsut mendekati pria kelahiran 1937, berhadapan dengan sebuah meja sebagai pembatas. “Maksudnya?”, tanyaku antusias “Blora itu dibangun dengan meniru kota lain” “Semua kota juga saling menjiplak. Tidak hanya Blora, pak” “Ya itu masalahnya”. Rambut, Kumis, jenggot telah berubah perak. Bulu-bulu peneduh menghiasi wajah, menutupi sebagian bibirnya. “Apa yang akan orang cari selain kedua yang kamu sebut?” “Wisata, kuliner, sejarah…” “Wisata apa? Kuliner apa? Sejarah apa?”, Potongnya. “Berapa lama wisatawan betah disini? Apa yang akan dikunjungi?…” Anak ke tujuh pasangan Mastoer dan Siti Saidah mengungkapkan opininya. “Tapi saya lihat dan dengar, orang-orang menikmati hidupnya. Kelihatan bersyukur”, kataku. “Kamu pendatang dan hanya melihat sekejab sudah sembrono ambil kesimpulan. Karaktermu dimiliki sebagian orang Indonesia-umumnya, khususnya Jawa. Kamu hanya mendengar. Harusnya cari fakta dan data. Jangan menoleransi ketidaktahuan”. Beliau melanjutkan paparannya, memberikan pendapat yang membuat aku kalangkabut. Menurut beberapa orang, Blora sebuah kota yang kontradiksi. Wilayah yang sebagian hutan jati dan memiliki timbunan minyak bumi, tapi nasib ekonomi rakyatnya terendah di Jawa Tengah. Sumber daya alamnya gagal mengangkat taraf hidup serta ekonomi penduduk. Lucunya, yang menikmati malah orang luar yang bekerja pada perusahaan serta pemerintah pusat.
“Pendapat saya boleh dibantah, syaratnya, pakai argumen yang lebih baik”. Aku terkapar oleh serangan terakhirnya. Pria lulusan universitas Patrice Lumumba serta Doktor of Phillosophy dari Institut Perekonomian Rakyat Plekhanov Uni Soviet membuktikan kelincahan pikir. “Ayo diminum tehnya. Sudah dingin pasti”. Memenuhi harapan, aku teguk isi gelas. Rupanya masih hangat. Pria fasih bahasa Rusia sesekali bersenandung, “Senja itu angin laut, sepoi membisu….” Mengobrol dengan beliau membuka cakrawala berpikirku. Keramahannya sungguh mengetuk hati.
Lisa meraih tanganku. Menggenggam penuh harap. Betapa erat jemarinya. Rasa hangat menyergap penuh ancaman. “Jangan memercikkan api, Lis” “Aku kangen..” “Suamimu menunggu di rumah” “Dia sudah meninggal” “Bohong” “Kau mengenalku. Pernahkah kamu kubohongi?”
“Ceritakan tentang Arini”, pintaku “Tidak usah lari”, sergapnya “Ceritakan tentang Arini”. Aku ulangi permintaan itu. Sorot matanya menusuk, mencoba membedah mataku. Bibirnya menguraikan perjalanan Arini dari kecil hingga dewasa. “Dia cantik. Wajahnya mirip kamu”. Lisa mengucapkan sambil tak lepaskan tatapan. “Boleh kulihat fotonya?”. Lisa membuka galeri. Disodorkan smartphone warna hitam dob. “Sesuai katamu. Cantik”
“Kamu menginap dimana?”. Pertanyaan yang tak harus kujawab. Tapi Lisa mirip pemberontak. Kembali tangannya menerkam. “Boleh aku peluk kamu?”. Permintaan penuh jebakan. Aku tak ingin memberi harapan. Sudah cukup. “Banyak orang di tempat ini” “Jangan pedulikan mereka. Aku benar-benar rindu” “Usia kita…” “Tak ada sangkut pautnya”. Lisa benar-benar menggugah. Wangi tubuhnya menggoda. Menakutkan.
Pak Soesilo Toer ternyata gemar ngobrol. Kami berdua saling tukar pendapat. Bahasan meloncat mengurai apapun yang keluar dari pikiran. “Pernah dengar lagu Too Young?” “Nat King Cole”, kataku. “Nah! Itu. Lagunya bagus”. Pak Soesilo tersenyum merekah. “Lagu itu pernah saya bikin cerpen. Judulnya ‘Too Young’. Dimuat di majalah Roman”. Dari bibir beliau keluarlah senandungnya,…
They try to tell us we’re too young Too young to really be in love They say that love’s a word A word we’ve only heard But can’t begin to know the meaning of And yet we’re not too young to know This love will last though years may go And then some day they may recall We were not too young at all
Nama Kadarwati mencuat dari beliau. Perempuan Gunungkidul itu satu pengagumnya lewat cerpen tersebut. Apakah Lisa seperti Kadarwati? Begitu kagum padaku? Seorang lelaki tengik yang kepalanya penuh utopia. Perempuan Blora ini mampu memporak-porandakan jengkal demi jengkal imajinasiku.
Dulu, orang-orang mencoba memberitahu bahwa kami terlalu muda untuk benar-benar jatuh cinta. Menafikan nasehat ternyata membuat kami salah langkah. Semua sudah terlanjur.
“Dhon, bukankah menjalin kebersamaan kembali adalah baik?”. Pertanyaan berselubung permintaan. Tidak kuduga. “Menikahlah denganku? This love will last though years may go” “Kau tahu lagu itu?”. “Rangkaian liriknya mewakili cerita kita”. Helaan napasku memaksa Lisa berdoa agar permintaannya kuterima. “Aku sulit menjawab” “Kenapa sulit?” “Hidup tidak hanya hitam putih” “Kamu jangan banyak melempar retorika. Dibuat hitam putih juga bisa”. Balasan Lisa menggambarkan kalau dia tidak bisa dihentikan. “Beri aku waktu?” “Dua puluh lima tahun apa belum cukup? Waktu akan menelanmu jika kau menggumbar jeda. Kita sudah cukup umur. Bahkan lebih” “Cari pria lain yang mampu membahagiakanmu?” Plak!. Sebuah tamparan membuat wajahku tersentak. Aku kaget. “Sejak suamiku meninggal, aku berharap menemukan jejakmu”. Pernyataan itu sudah cukup jelas. Panas belum hilang dari pipi. Mata Lisa berkaca-kaca. Apakah aku akan kembali mendera hatinya? Perempuan ini sudah terlalu terluka. Sungguh kejam bila luka itu kusiram kembali. Basa-basi harus aku sudahi. Keputusan kuambil.
“Ok. Kita menikah”. Binar wajahnya terpampang. Dia melonjak. Berat tubuhnya menimpaku. Tangannya mendekap wajahku ditambah ciuman. Wangi tubuhnya membuat aku termakan emosi. Kuraih pinggangnya. Pelukanku membuat Lisa menangis. Helai rambutnya menisik kulit wajah. Dadaku menjadi selimutnya. Angin September menelusup mengumbar persembahan. Pesonamu belum mati, Lis. Lingkar waktu meneguhkan kembali serpihan asmara yang tersembunyi lama dari pangkal kebijakan. This love will last though years may go. We were not too young at all.
Cerpen Karangan: Sri Romdhoni Warta Kuncoro Facebook: facebook.com/Romdhoni.Kuncoro Buruh freeland tanpa paspor. Penyuka bubur kacang ijo dengan santan kental serta roti bakar isi coklat kacang.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 13 Maret 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com