Aroma kopi yang semerbak dipagi hari membuat siapa saja yang melewati cafe itu akan tergoda. Terlihat jalanan kota yang mulai ramai. Banyak manusia yang berlalu lalang dan memulai pagi dengan kesibukan. Begitupun dengan diriku yang sedang sibuk dalam meracik kopi. Tanganku dengan lihainya menakar bubuk-bubuk yang beraroma khas tersebut.
Aku adalah seorang pelayan disebuah café dipinggiran kota. Namaku Cira seorang gadis biasa yang suka datang paling awal untuk membuka café, memulai hari baru dengan semangat baru.
Waktu berlalu dengan cepat, semakin siang café pun semakin ramai. Para pelayan pun mulai sibuk dengan tugas masing-masing. Diriku dengan telaten mencatat dan mengantar berbagai pesanan dari para pelanggan.
“Ciraa, tolong antarkan pesanan ini di meja sudut dekat jendela itu” ucap seorang pelayan café pada Cira sambil menunjuk meja yang ada disudut sana. “Iya mbak akan Cira antar kesana” jawabku
Setelah sampai di meja tersebut aku segera meletakan menu yang dipesan oleh seorang pelanggan pria sambil terus menunduk tak berani menatap pelanggan pria itu. “Ini tuan pesanan anda, saya permisi” ujarku sambil mengangkat wajah. Aku sempat merasa kesal karena wajah pria itu yang sangat datar dan cuek. Padahal aku sudah mencoba untuk tersenyum dan terlihat ramah. Setalah itu diriku langsung pergi tanpa melihat wajah pelanggan cuek itu
“Kamu kenapa Ci mukanya masam begitu” Tanya Mbak Sri dengan senyuman mengejeknya yang membuatku semakin kesal. Mbak Sri adalah salah satu pelayan yang sangat akrab dengan Cira, Mbak Sri dua tahun lebih tua dari Cira. “Itu mbak pelanggan cowok yang di meja sudut itu, cuek sekali, padahal Cira udah ramah dan senyum ya setidaknya senyum balik gitu, eh ini malah cuek cuek bebek” jelasku panjang lebar pada Mbak Sri. Dan sialnya lagi mbak Sri malah menertawaiku.
Sang surya perlahan mulai redup, cahaya jingga yang indah mulai menelisik masuk melalu jendela yang tak tertutup tirai membuat suasana menjadi hangat. Suara dentingan lonceng menjadi tanda kedatangan pelanggan. Tak banyak pelanggan yang datang diwaktu petang. Seorang lelaki berpostur tinggi dengan setelan jas hitam dan wajah yang menawan melangkah menuju sudut ruangan café, seperti sudah menjadi tempat favoritnya saat berkunjung.
Sudah sekitar seminggu pria itu selalu datang berkunjung dan memesan menu yang sama di meja yang sama dan tentunya dengan pelayan yang sama pula. Ia selalu meminta Cira untuk mengantar pesanannya. Biasanya pria itu akan datang di siang hari tetapi hari ini berbeda, ia berkunjung di sore hari.
“Ciraa pujaan hatimu sudah datang, pasti dia akan memintamu untuk mengantar pesanannya” ejek Mbak Sri sambil menatapku dan tersenyum jahil. “Pujaan hati dari mana mbak, jangan asal bicara yah, aku ngak mau punya kekasih model begitu yang nggak pernah senyum dan dingin macam kulkas. Masa sudah seminggu datang tapi raut wajahnya tidak nampak sedikit lebih baik” ucapku panjang lebar sambil memasang wajah cemberut. “Hati-hati loh, biasanya benci akan jadi cinta hahahaaa” goda mbak Sri “Astaga mbak, nggak usah bahas cinta cintaan ya” pipiku sepertinya sudah merah bukan karena malu tapi kesal.
Setelah perdebatan dengan mbak Sri, Cira segera mengantar pesanan Sang Pria kulkas itu. Entah kenapa Cira menjadi gugup, apa mungkin karena ia sering mengantar pesanan untuk tuan yang ganteng ini? Tanpa berlama-lama aku segera meletakan pesanan pria itu di meja dan bergegas pergi.
Tiba-tiba tanganku ditahan olehnya, astaga jantungku semakin berdegup kencang dua kali lipat. Apa yang dilakukan pria ini, apa dia tidak memikirkan kesehatan jantungku. “Tunggu, jangan pergi. Temani aku disini sampai kopiku habis” ucapnya dengan nada yang datar. Satu kalimat itu sudah membuatku kaku, pikiranku entah menjelajah kemana, aku seperti orang bingung. “I-iya tuan” aku bahkan menjadi gagap dalam berucap. Apakah yang kurasakan ini? Kenapa begitu gugup, jangan-jangan aku…
Tak ada sedikitpun pembicaraan yang terjadi. Suasana hening selama pria itu menikmati kopinya. Sepertinya kita berdua sibuk dengan pikiran masing-masing. Sampai pria itu memulai pembicaraan. “Namamu Cira kan?” tanyanya sambil menatapku lekat. “Iya, bagaimana anda tau nama saya?” tanyaku balik, oh aku sungguh terkejut dengan pertanyaannya, apakah dia seorang mata-mata. “Jangan memikirkan hal-hal yang aneh, saya tidak seperti yang kau pikirkan” ucapnya sambil tersenyum. Sungguh senyum yang sangat indah. “Tidak saya tidak berpikiran yang aneh tentang anda tuan” “Jangan panggil tuan, kenalkan nama saya Dikta” ujarnya sambil mengulurkan tangan. Aku menyambut uluran tangannya sambil tersenyum malu. “Saya Cira” balasku “Saya sudah tau namamu” dengan wajah datarnya ia berbicara, membuatku menjadi sedikit kesal.
Setelah perkenalan singkat itu dia bercerita banyak padaku. Dia bahkan tau kalau aku sering datang paling awal dan suka memberi makan kucing liar yang ada dibelakang café. Sungguh malu diriku, ternyata dia sering memperhatianku.
Beberapa hari semenjak perkenalan itu, Dikta semakin sering datang ke café dan selalu memintaku untuk mengantar pesanannya. Aku baru mengetahui tentang dirinya. Ternyata dia seorang pimpinan di sebuah perusahaan dekat café tempatku bekerja. Pantas saja dia memperhatikanku, kantornya saja dekat dengan café.
Malam ini terasa sangat dingin, café tempatku bekerja biasanya tidak buka sampai malam, tapi karena banyak pelanggan diakhir pekan dan aku harus lembur. Dengan telaten kubersihkan cangkir dan piring-piring kotor agar cepat selesai dan aku bisa segera pulang. Pekerjaanku telah selesai aku pun pamit ke mbak Sri untuk pulang duluan. Dalam perjalanan pulang aku tidak sengaja melihat Dikta sedang jalan bersama seorang wanita, mereka terlihat sangat serasi. Apakah itu kekasih Dikta, kenapa hatiku sesak saat melihat dua orang itu bersama. Sepertinya diriku cemburu. Tapi apa hakku untuk cemburu, aku bukan siapa-siapanya mas Dikta. Aku segera pergi dari tempat itu, tak ingin melihat pemandangan itu lagi.
Kakiku melangkah tanpa tujuan sampai tiba di sebuah taman, aku duduk sambil menatap langit yang penuh dengan taburan bintang dan cahaya rembulan yang semakin membuat suasana hatiku tenang. Sepertinya harus ada jarak antara aku dan mas Dikta.
Sejak kejadian malam itu aku semakin menjaga jarak dengan mas Dikta. Tak mengantar pesanannya maupun sekedar tersenyum padanya, lebih banyak waktuku habiskan di dapur. Aku seakan tak ingin menemuinya, melihatnya saja sudah membuatku kesal.
“Cira dari tadi kamu ditanya terus sama tuan Dikta” teriak mbak Sri dari ruangan sebelah. “Saya sedang tidak ingin bertemu dia mbak” ucapku dari arah dapur. “Ayo sana temui tuan Dikta, kasihan dia dari tadi menunggu kamu, kalau ada masalah sebaiknya diselesaikan secara damai jangan marahan” nasihat mbak Sri “Iya iyaa Cira kedepan ini temuin mas Dikta” pasrahku
Aku melangkah menuju meja disudut ruangan café tempat favorit Dikta. Suasananya menjadi sangat berbeda, aku merasa sesak saat mengingat kembali kejadian malam itu. Berada tepat didepan meja, kuberanikan diri untuk menatapnya, bersikap seolah tidak terjadi masalah dan mencoba untuk tetap tenang. Kuletakkan kopi pesanannya lalu segera pergi. Namun tanganku kembali ditahan, aku merasa kejadian itu terulang kembali.
“Kamu kenapa menghindar dari saya? Ada sesuatu yang ingin saya sampaikan” ujarnya “Beberapa minggu yang lalu saya melihat kamu di taman, sepertinya kamu melihat saya jalan dengan seorang wanita, maaf sebelumnya saya tidak menceritakan apa pun padamu, apa yang kamu lihat itu tidak benar” jelasnya dengan menatapku Ternyata aku sudah ketahuan diam diam melihat mas Dikta malam itu. Kalau sudah begini aku benar-benar malu, tapi tetap, merasa kesal. Aku telah cemburu padanya.
“Saya punya seorang adik perempuan, malam itu saya sedang menemaninya jalan berhubung akhir pekan. Apa kamu cemburu?” lanjutnya, pipiku sudah memerah seperti tomat. “Untuk apa saya cemburu, saya bukan siapa-siapanya anda” masih dengan gengsi yang selangit aku tidak mau megakui kecemburuanku. Pria itu tidak membalas ucapanku, dia hanya tersenyum sambil sedikit tertawa. Apa ada yang lucu denganku.
“Kau tau kenapa saya selalu meminta kopi buatanmu? Karena kopi buatanmu sangat enak, ada sesuatu yang berbeda, kau membuatnya dengan hati.” “Awalnya saya hanya jatuh cinta dengan rasa kopi ini, tapi lama kelamaan saya juga cinta dengan orang yang membuatnya.” Sambil tersenyum padaku dan memberikan kotak kecil yang berisikan sebuah cincin yang indah. Rasanya aku mau terbang saja kalau diberikan sayap. Hatiku berbunga-bunga melihat kilaun permata tertata rapi yang kemudian disematkan di jari manisku.
“Maukah kamu menjadi temanku, teman hidupku?” tanyanya “Iya tuan kulkas” jawabku sambil sedikit tertawa “Tuan kulkas ini telah mencair karena kopimu” candanya sambil ikut tertawa.
Inilah perjalanan kisah cintaku yang berawal dari secangkir kopi dengan rasa yang khas menjadi rasa sayang yang indah. Hubunganku menjadi semakin baik dan berlanjut ke jenjang pernikahan. Kita tidak pernah menduga rencana tuhan mempertemukan kita dengan jodoh kita. Rasa cinta terkadang muncul tanpa harus ada alasan dan timbul dengan berbagai cara, cinta kadang juga ada karena terbiasa. Dalam sebuah hubungan tidak hanya diperlukan rasa sayang dan cinta, namun diperlukan juga kepercayaan. Saling percaya menjadi fondasi dalam sebuah hubungan. Rasa cinta dan sayang yang menjadi pilar dalam hubungan itu sendiri. Semoga kita semua bisa membangun sebuah hubungan dengan rasa cinta dan kepercayaan.
Terimakasih sudah membaca 🙂
Cerpen Karangan: Illha Blog / Facebook: Tidak Punya