Aku melangkah keluar dari supermarket dengan sekantung makanan bergelantung di tangan kananku. Aneh sekali, padahal sudah malam tapi udara masih hangat. Aku berjalan melewati lorong, tanpa lampu jalan, hanya berhiaskan sinar purnama di langit. Sunyi dan sepi, jendela rumah orang-orang sudah gelap. Hanya beberapa kamar yang terlihat masih menyala. Aku terus melangkah, memperhatikan setiap sisi lorong tersebut. Syukurlah, Tidak banyak yang berubah, aku masih familiar dengan bentuk rumah-rumah di sini karena bisa-bisa aku tersesat di kampung halamanku sendiri.
Aku keluar dari lorong, menapaki jalan utama. Sudah tidak ada kendaraan yang lalu lalang. Semua aktivitas orang-orang nampaknya telah digantikan oleh tidur yang lelap. Aspal yang biasanya hitam terlihat berwarna biru gelap ditimpa cahaya bulan. Di langit, bintang berderang, bergelantungan erat menemani bola terang yang sejak tadi mengawasiku dengan cahayanya.
Sepertinya apa yang orang-orang katakan itu benar. Bahwa sekolahmu akan lebih bagus setelah kau lulus. Aku bisa melihat perubahan infrastruktur dari SMA-ku dulu. Penambahan lapangan olahraga, perluasan taman, bahkan kebun atapnya dapat kulihat dari pinggir pagar.
Aku sampai di sebuah pertigaan. Tepat di depanku sebuah taman bermain berdiri di sudut sebuah lapangan berumput dengan lapangan bola sebagai tetangga satu tanahnya. Aku ingat dengan jelas tempatku bermain bola itu tapi, tidak dengan taman bermainnya. Mereka juga membangun pagar penghalang bola yang membatasi taman dan lapangan. Cukup bijak.
“Ue o Muite Arukou…” Sebuah suara memecah keheningan malam itu. Sebuah alunan, seperti suara hantu. Buluku seketika meremang mendengarnya, bukan karena lagu yang dinyanyikan melainkan suara itu pernah kudengar di suatu tempat yang lama. Sangat lama tapi tetap membekas kuat dalam hatiku. Aku memalingkan pandanganku, melihat sekeliling, mencoba menemukan asal suara itu. Tidak mungkin suara itu hanya imajinasiku. Ya, aku kenal dengan jelas pemilik suara itu!
Aku akui, aku mungkin sudah agak lupa dengan masa SMA-ku. Tapi aku ingat satu momen dengan jelas. Momen yang tak bisa dan tak ingin kulupakan. Masa di mana aku bertemu dengannya, si pemilik suara hantu itu.
Suatu malam saat aku masih tinggal di sekitar sini, aku menyelinap keluar rumahku di larut malam. Dengan mata yang masih segar dan otak yang tidak tenang karena memikirkan kelanjutan tulisanku. Aku berjalan-jalan sendirian, mengikuti ke mana angin membawaku. Aku Menengadah, di atasku—atap bumi—langit gelap membentang sejauh mata memandang berhiaskan bintang yang sebanyak buih di laut. Begitu tenang sampai suara jarum jatuh akan terdengar seperti letusan sebuah balon.
Angin menerbangkanku sampai ke depan sekolahku. Tidak ada yang spesial. Hanya sebuah bangunan besar yang gelap. Gemboknya bergantung di salah satu kisi-kisi pagar. Pintu berderit, aku masuk dengan santainya seperti saat jam sekolah.
Dengan iseng, aku mendorong pintu masuk dan abrakadabra! Pintunya terbuka tanpa ada halangan sedikit pun. Jelas itu sangat aneh. Pintu utama sekolah yang tidak terkunci di larut malam bukanlah hal umum terjadi. Aku bisa memaklumi jika hanya pintu atau pagar yang lupa dikunci tapi untuk kedua-duanya, rasanya ada yang tidak beres. Tidak ada satu pun lampu ruangan yang kuperhatikan menyala tadi dan gembok juga bukan dirusak melainkan dibuka dengan kuncinya. Apakah selama ini sekolahku memang tidak pernah mengunci pintu depan dan pagar?
Tidak pernah disebutkan larangan untuk memasuki sekolah pada saat malam hari. Dengan demikian, aku akan menganggap tidak ada larangan untuk itu. Tidak ada salahnya berjalan-jalan di sekolah saat malam dan mungkin dengan itu aku bisa mendapatkan inspirasi untuk tulisanku. Lagi pun, aku tidak ada niat melakukan sesuatu yang aneh.
“Permisi,” ucapku saat melangkah masuk kemudian menutup pintu. Di kiri dan kananku terpampang sebuah lorong gelap dan kosong yang membentang dari sisi tembok. Tidak ada satu pun makhluk kasat mata saat itu kecuali aku yang berdiri seperti orang bodoh di tengah lorong. Aku mulai penjelajahan malamku dengan mengelilingi lorong ruangan semua kelas di lantai pertama terkunci. Begitu pun dengan perpustakaan, kantor dan ruangan lainnya. Di lantai dua, semua ruangan juga terkunci sama rapatnya. Tidak ada yang aneh. Apakah benar, sekolahku tidak ada niatan untuk mengunci pintu?
Aku kembali menaiki tangga hingga ke lantai ketiga, lantai terakhir tapi bukan yang paling atas. Semuanya juga terkunci. Aku sampai ke salah satu sudut bangunan melihat keluar jendela, orang-orang tidak perlu turun untuk menonton pertandingan olahraga. Mereka bisa menontonnya dengan jelas dari lantai tiga.
“Tsuki na kimi sora ni… kirameku hikari.” Aku mendengar nyanyian, begitu lembut dan merdu, membuat sekujur tubuhku merinding ngeri karena hanya aku satu-satunya manusia di lantai ketiga saat itu. Suaranya tidak terlalu besar, tapi aku tahu bahwa asalnya ada di dekatku.
“A aso no hoshi kage…” Aku lanjut berjalan mencari asal suara itu. Tapi suara tersebut semakin redup. Kelas sedang terkunci, lantai dua kosong. Artinya hanya ada kemungkinan terakhir, suara itu berasal dari atap. Aku mempercepat langkahku, menaiki anak tangga. Ada satu hal yang tidak kuketahui saat itu. yakni bahwa suara tersebut yang akan menjadi kunci utama bagi kisah-kisah selanjutku.
“Kibou no sugata…” Pintu berderit, nyanyian terhenti. Dari ambang pintu, tatapanku bertemu dengan tatapan seorang gadis di pinggir pagar atap. Angin tiba-tiba bertiup membelai rambut panjangnya. Sangat jelas bahwa itu adalah manusia dan bukan hantu atau sejenisnya. Selama beberapa saat, kami berdua seperti patung yang saling menatap dalam ketidaktahuan. Aku tidak bisa melihat dengan jelas wajah gadis itu dikarenakan langit yang terlalu gelap. Aku baru mengenalinya setelah ia menyadari betul keberadaanku.
“Heh? Fujimura-san?! Kenapa kau ada di sini?” tanyanya dengan raut wajahnya seperti telah melihat keanehan dunia. Aku memicingkan mata. “Eh? Yamamoto-san?” Yamamoto Hoshino, seorang teman kelasku selama tiga semester. Aku kurang mengenalnya, tapi dia cukup baik sebagai teman satu kelas. Suatu kebetulan yang aneh bertemu—berdua—dengannya di sini.
Aku menjulurkan kepalaku, melihat sekeliling. “Yah, singkat cerita, aku insomnia karena tidak bisa melanjutkan tulisanku dan diterbangkan angin ke sekolah yang tidak terkunci. Lalu menjelajahi lorong yang gelap dan berakhir di sini karena mendengar nyanyian yang kurasa berasal dari atap. Kau sendiri, apa yang kau lakukan malam-malam di atas sekolah?” Ia menyanyikan lagu yang kudengar tadi lalu tertawa. “Maaf, maaf, aku tidak mengira suaraku bisa semenakutkan itu. Kalau kau tidak keberatan, kau boleh bergabung denganku melihat langit malam. Langit itu tidak terbatas, ada kemungkinan kau bisa mendapatkan sesuatu darinya.” Aku akan lakukan apa pun demi tulisanku meski harus melintasi lembah tandus sekalipun! Lagi pula, rasa penasaranku belum terjawab semua. Aku menutup pintu lalu duduk salah satu bangku taman atap.
“Ngomong-ngomong, Yamamoto-san, aku mengembalikan pertanyaanmu. Kenapa kau ada di sini?” Ia tetap menengadah, menatap lautan bintang yang membentang di atas kami. “Aku suka langit malam. Di saat langit cerah, orang lain sedang bermimpi indah, aku akan ada di luar dan menatap langit.” “Bukan itu maksudku. Kenapa kau bisa sampai ke atap?” tanyaku “Soal itu…” Ia memasukkan tangannya ke dalam saku jaketnya, mengeluarkan sesuatu. Sebuah kunci. “Klub astronomi punya izin khusus memasuki sekolah saat malam. Ah soal kau, tidak perlu khawatir. Para guru tidak perlu tahu keberadaanmu malam ini. Lagi pun aku sendiri yang sengaja tidak mengunci kembali pintu depan.” Aku berhutang budi soal itu. “Kau tidak takut naik ke sini sendirian?” “Tidak ada alasan untuk takut. Manusia bukan takut akan kegelapan. Mereka takut jika mereka tidak sendirian di kegelapan. Begitulah yang kutahu.”
Memang benar, langit terlihat berbeda malam itu, rasanya begitu tenang. Atau apa mungkin yang aku rasakan adalah aura kebahagiaan Yamamoto-san? Sejauh yang kupelajari, manusia bisa menularkan auranya ke manusia lain. Seperti dalam suasana sedih yang kuat, seseorang yang instingnya tajam bisa memunculkan rasa iba dalam hatinya.
“Yamamoto-san, aku penasaran akan satu hal.” Aku menunjuk salah bintang yang tidak berkelip di langit. “Benda yang tidak berkelip itu, apa?” Ia memicingkan mata. “Oh, si kecil itu? mungkin yang kau lihat itu Pluto.” “Pluto…” Aku bergumam. Lalu mengangkat telunjukku ke langit membentuk segitiga dari dua bintang di dekat Pluto, menatap empat bintang yang membentuk trapesium. “Kalau itu Nunki, maka yang di sebelahnya itu Ascella. Berarti sejak tadi aku memandang Sagitarius. Konstelasi kecil di sampingnya adalah Corona Australis. Dan awan tipis di dekatnya bukan awan tapi sedikit dari Milki Way. Luar biasa…” Itu Pertama kalinya dalam hidupku bisa melihat sedikit dari galaksi yang membentang di atasku setiap malam.
Kepalaku masih menengadah ke atas dan mulutku terus menggumamkan hal acak. “Sagitarius, salah satu bintang zodiak. Berbentuk seekor centaurus, berdekatan dengan Pluto dan Capricornus. Padahal yang aku lihat hanya sekumpulan titik tidak berbentuk. Aku penasaran, apakah orang dulu menarik garis di antara titik secara acak lalu memberi nama keren kepada mereka?” “Woaahh! Luar biasa, aku tidak pernah tahu kau tahu soal astronomi, Fujimura-san. Kenapa kau bisa tahu sejauh itu?” tanyanya kegirangan. “Aku tidak bisa mengakui bahwa aku pandai dalam astronomi. Semua pengetahuan acakku adalah hasil dari hobi menulisku. Tulisan yang bagus harus mempunyai dasar logika yang kuat. Makanya aku harus tahu soal langit jika ingin menulis soal langit.” “Tunggu sebentar, aku akan kembali.” Ia bergegas lari masuk ke sekolah. Terdengar suara sesuatu yang besar jatuh. Nampaknya ia melompati tangga. Nekat sekali…
Cerpen Karangan: Muh Khairan Katsira Blog / Facebook: Muh Khairan Katsira Sebagai tambahan: Bahasa Jepang Bintang adalah Hoshi. Jadi bintang yang Takechi maksud di akhir adalah Hoshino dan bukan bintang secara harfiah. Lagu yang Takechi dengar di sekolah adalah Hoshi no Yo. Lagu yang Hoshino nyanyikan sebelum bertemu Takechi lagi adalah Ue no Muite Arukou yang dinyanyikan Kyu Sakamoto. Kalimat Soseki yang dimaksud sebenarnya berbunyi “Tsuki ga Kirei desu ne.”